Postingan

Tawar-menawar dengan Waktu

Gambar
Satu pemandu pernah bercerita tentang Kala yang selalu ada di atas tiap pintu. Ia ada di sana karena bagian tubuhnya sudah habis dimakan... oleh dirinya sendiri. Dia terkenal sebagai orang yang rakus--atau mungkin hanya kesulitan menghapus kelaparannya. Setelah disajikan berbagai macam makanan, ia masih minta lagi dan lagi dan terus-menerus sampai kehabisan dan makan tubuhnya sendiri. Sayangnya, ia tidak bisa makan kepalanya sendiri. Itu kemudian menjadi pesan berantai antargenerasi. Setiap orang tidak bisa makan kepalanya sendiri, kepala temannya masih mungkin. Bukan hanya itu, ia diabadikan di atas pintu sebagai pengingat kapan harus berhenti. Ini perkara waktu. Cerita berkembang, manusia yang berjalan di bawah Sang Kala ditafsir ada di bawah kendala Kala atau waktu.  Waktu menjadi salah satu faktor dalam pengambilan keputusan. Besar juga perannya. Orang yang merasa punya waktu masih lama bisa punya banyak pilihan. Orang yang merasa waktunya sudah tinggal sedikit lagi malah kerap men

Tembok Tai Dai

Gambar
Ada satu tembok tinggi menghadang. Dari semen. Sebagian sudah retak-retak. Tapi masih kokoh, jauh dari rubuh.   Tok-tok-tok. Tembok semen diketuk-ketuk hanya untuk berulang kali meyakinkan seberapa tebalnya tembok menghalang. Ingatan tentang tembok-tembok berlin yang berhamburan mengelabuinya. Siapa tahu tembok ini tidak perlu martil, kematian, pembunuhan, kerinduan, dan perayaan untuk dirubuhkan.   Duk-duk-duk. Berkali-kali, ia membenturkan kepalanya ke tembok. Tidak kencang. Penakut juga ia untuk merasa kesakitan. Tapi, mau merasa berani dengan semangat menyakiti diri sendiri. Mungkin kepalanya bisa lebih kuat untuk merubuhkannya. Rubuhnya surau kami, ia teringat cerita itu. Bukan cerita, hanya judul. Ia sama sekali tidak ingat ceritanya. Ia hanya ingat buku itu diberikan oleh temannya ketika ia keluar musholla di kampus dulu. “Biar lebih sering datang ke musholla,” pesannya kala itu.   Sejak itu, ia merasa ritual hanyalah bagian dari transaksi. Penghargaan agar kem

Kekacauan Covid

Gambar
Tertelan karbon dengan emisi yang terus dipupuk Tertimbun utang dengan tagihan yang tak terbayar Tertinggal vaksin tanpa bukti Di mana lagi guna mesti disuap? Negara seakan semakin tua Bukan lagi mengurus, melainkan menuntut untuk balas budi Tarian dan obrolan tak lagi melatih hasrat Kita terjerembab dalam kematian yang terus tertunda Kita dibiarkan hidup Diajak membara Dengan api yang terus terpadam Apa lagi guna hidup? Ketika banyak pelan-pelan mengundurkan diri dari kehidupan Sebagian dipecat tanpa persiapan Yang bertahan mengeruk keuntungan Jualan yang pasti hanyalah cara bertahan hidup Berada dalam pusaran ghoib Apa saja dipercaya daripada kehilangan pegangan Mati juga bukan pilihan Dia jadi produk keamanan Sedangkan kami tak sanggup membeli kematian Hasrat mati sudah sirna sejak kehidupan tak berani menjanjikan apa-apa Pulang ke rumah lewat jalan belakang Ruang tamu jadi kumpulan pembunuh

Bicara di Depan Publik

Gambar
Tet, tet, teeeetttt, tet, tet, tet. “Masuuukkk! Gak dikunci.” Hanya orang-orang dengan tingkat keakraban lemah atau baru datang pertama kali yang saya bukakan pintu.   Saya mendengar: suara pintu dibuka, suara tas bergesekan dengan daun pintu bersamaan dengan langkah sepatu. Dia pasti pakai Vans hitamnya, saya hapal suaranya. Saya juga mendengar “Duh” kecil. Itu pasti dia kesulitan masuk. Ada banyak barang di belakang pintu: rak sepatu dan gantungan baju yang beralih fungsi jadi gantungan macam-macam, mulai dari baju, celana, jaket, syal, tas, masker, sampai kantung belanja.     Saya cukup mengingat kebiasaan orang-orang masuk pintu tempat saya tinggal, meskipun saya membelakangi pintu masuk, duduk bersandar di sofa menghadap televisi dengan volume kecil.     Saya memperhatikan suara lagi: tas yang ditaruh lantai dekat rak sepatu, bangku ditarik, sepatu yang dilempar ke rak sepatu, pintu kamar mandi terbuka, air keluar dari keran wastafel, dan air dari shower. Ah, kebia

Dikejar Tentara

Gambar
"Berikan satu pelukan supaya saya bisa pulang." "Kamu tidak punya jalan pulang. Jalanmu sudah dihadang tentara." Berdiri dia, mengambil jaket abu-abu tuanya yang digantung di gagang pintu depan. Setelah mengenakannya, ia duduk di kursi teras, menarik sepatu di bawah kursi itu. Memakai kaus kaki dan memasukkan kakinya dalam sepatu. Pertama yang kanan, kemudian yang kiri. Sambil mengikat tali sepatu kanannya, "Harus segera beranjak dari sini sebelum kau terseret-seret." Saya menyandarkan bahu di daun pintu, "Jadinya ke mana?" Ia beralih ke tali sepatu kiri, "Bukannya sebaiknya hanya saya yang tahu? Kalau mereka tanya, kamu betul-betul tidak tahu; tidak perlu berpura-pura." Saya masih saja diam di daun pintu, "Dari mana saya akan tahu kamu baik-baik saja?" Ia melirik saya sebentar, "Kemungkinan besar tidak ada yang lebih baik dari hari ini," kemudian melihat sepatunya lagi. Ia berdiri sambil mengambil tasnya ya

Berakhir Sudah Kesepianmu, Bapak Tua Sapardi Djoko Damono

Gambar
"Sapardi meninggal," saya mengguncang-guncang kekasih saya yang masih mengorok. Ini kebiasaan saya setiap pagi menjelang siang. Beritanya bisa apa saja, mulai dari berita kali sudah berak pagi itu sampai kebingungan mau pesan makan apa siang itu.  "Kamu sedih?" dengan suara parau. "Nggak, kesepiannya sudah berakhir, dia sudah menyiapkannya," jawaban asal. Jika seseorang begitu sering membayangkan sesuatu, apakah ia memang mempersiapkannya? Ah, mungkin tidak juga. Mungkin juga terlalu gegabah untuk menjawab pertanyaan itu dengan mengatasnamakan orang lain. Apalagi untuk Si Bapak Tua yang satu ini. Terlepas dari kematian merupakan obsesinya atau bukan, ia sudah membayangkan kematian sejak lama. Di dunianya. Puisi adalah dunianya. Begitu lah ia ingin dikenang, katanya dalam wawancara yang pernah saya baca entah di mana. Ini contoh tidak baik untuk argumen kuat; sumber tidak jelas. Di dalam dunianya itu, ia begitu akrab dengan kematian. Ia p

Pro-life atau pro-choice?

Gambar
Itu bukan pertanyaan macam truth or dare yang jadi seseruan kalau lagi kumpul bareng. Itu pertanyaan yang memerlukan tingkat keakraban tertentu untuk bisa ngobrol mengelupas nilai satu per satu. Mana ada sesuatu yang bebas nilai? Memang, pertanyaan tersebut identik dengan nilai seseorang terjadap aborsi. Umumnya, mereka yang mendukung aborsi disebut pro-choice . Mereka yang menolak disebut sebagai pro-life . Saya kenal dengan seseorang yang tiap kali dengar kata “ pro-life ” selalu nyeletuk, “ Pro-life tapi setuju hukuman mati?” Saya sudah mendengar pertanyaan dia yang sama persis di beberapa kesempatan: workshop berbau development , tongkrongan dengan bir di antaranya, dan kumpul-kumpul di taman belakang. Pertanyaan valid itu memang sering jadi argumentasi orang-orang yang mendukung aborsi. Mereka disebut atau—untuk memberikan agency—menyebut dirinya pro-life karena memandang fetus atau janin di dalam tubuh perempuan atau orang hamil (karena tidak hanya perempuan ya

Teknologi Digital Meringkas Alur Akses Aborsi Aman

Gambar
Teknologi digital memungkinkan perempuan dan orang dengan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) untuk merenggut kembali otonomi terhadap tubuhnya sendiri. Keputusan terhadap tubuh perempuan—dan non-confirming gender —banyak ditentukan oleh hal di luar dirinya sendiri. Sumber informasi dibatasi. Pendidikan formal tentang kesehatan reproduksi di sekolah banyak memangkas hak dan kesehatan seksualitas dan cenderung menakut-nakuti alih-alih memberikan informasi utuh. Kebanyakan media memberitakan kejadian dengan sudut pandang moral dan nilai yang dominan sehingga memojokkan perempuan dengan pilihannya. Orangtua mengatur tubuh anaknya, seperti melakukan sunat perempuan atau menindik telinga anak perempuannya. Ditambah, hukum mengatur apa saja yang boleh dilakukan perempuan terhadap kesehatan seksualitas dan reproduksinya, seperti kapan kapan boleh mengakses kontrasepsi dan aborsi dan bagaimana caranya. Hukum itu juga membuat tenaga medis dan kesehatan memberikan layanan hanya sesuai

Akrab: Aman dan Percaya

Gambar
“Hai! Sudah berapa hari di ruangan itu-itu saja?” Seorang teman lama yang entah kapan terakhir kali kami bertukar cerita kehidupan menyapa. Pesan bertukar tanpa mempersilakan canggung di antara jeda. Salah satunya terlihat dari tidak adanya pertanyaan “kenapa?” atau “ada apa?” untuk menghentikan pertanyaan di kepala kenapa tiba-tiba menghubungi. Mungkin hubungan pertemanan ini tidak diliputi kecemasan. Kami lantas saling beradu cerita tentang keadaan masing-masing. Kadang, bahkan sering kali, tidak saling menanggapi, hanya saling menimpali cerita masing-masing. Kami bahas soal korona yang menggerogoti mental, hampir menyikat habis tabungan, dan merampas hak perempuan yang sedang mengalami kehamilan tidak diinginkan. Tapi juga merasakan kelegaan karena tak perlu bertemu orangtua. Ia   nyaris menutup pesannya dengan meminta saya tidak sungkan mengirim pesan kepadanya ketika keinginan untuk lompat dari lantai atas menyergap sebelum didului korona. Belum sempat dibalas, dia suda