Orang Tua dan Anak Muda #1

WARUNG KOPI TEGAR RASA
Itulah nama yang terpampang di papan depan gubuk sederhana yang aku lalui. Aku berdiri di depannya, melongok untuk memastikan situasi di dalam cukup aman dan nyaman bagi pejalan kaki yang sendirian. "Masuk sini, Anak Muda. Jangan ragu untuk minum jika kehausan." Suara itu datang dari meja yang agak di dalam, seorang tua berambut putih agak kehitaman sedikit memanggil tanpa menggerakkan bokongnya sedikit pun. Tidak ada sesiapa lagi selain ia dan perempuan penjaga warung. Aku terpanggil, berjalan mengarah kepadanya. "Apa yang mau dilihat, apalagi dirasakan, jika hanya melongok dari luar saja? Duduk sini. Pesan minum sebelum jalan lebih jauh lagi," ia merayu terus.

"Mbakyu, boleh pesan satu kopi?" Perempuan yang sedari tadi sedang kipas-kipas dengan tatapan kosong berdiri menghampiriku. "Gulanya habis," jawabnya singkat. "Tanpa gula tidak apa-apa," aku balas. "Kopinya juga habis." Aku menolehkan pandanganku kepada Orang Tua. Dia sedang senyum-senyum sendiri sambil melihat gelasnya yang sudah kosong. Perempuan itu menuangkan teh dari tekonya ke dalam gelas kaca bermotif bunga. Memberikannya kepada aku. Tanpa diminta. Tanpa persetujuan. Tapi, toh, aku tidak punya pilihan lain.

"Tidak semua nama itu mewakili apa yang ada. Kadang, hanya warungnya saja yang ada. Kadang, hanya kopinya. Kadang, hanya tegarnya. Kadang juga, hanya rasanya. Kalau beruntung, bisa dapat dua atau tiga dari empat nama yang kamu baca di depan," ia bicara tanpa melihat mata aku sembari membenarkan letak tongkatnya. Aku menghabiskan teh di depan pandangan sambil melanjutkan percakapan, "Kali ini, seberapa beruntung Anda?" "Beruntung hanya untuk orang-orang yang punya pilihan, Anak Muda. Juga bagi yang percaya dengan keajaiban," ia menuangkan cairan dalam satu botol merah marun dengan wajahnya yang dicetak di permukaan ke gelas kosongnya. Ia menyembunyikan botol itu kembali dalam tas lusuhnya. Aku enggan untuk melanjutkan pembicaraan soal keajaiban, apalagi soal wajahnya di botol itu.

"Anak Muda, keajaiban itu hanya ada bagi mereka yang terpuruk. Anak-anak muda sekarang tidak pernah terseok-seok sehingga tidak tidak peduli dengan keajaiban yang dialami setiap hari. Mereka lebih suka dengan keterbatasan-keterbatasan yang kasat mata. Omongan-omongan yang masih bisa diterima oleh akalnya yang belum tentu sehat. Ketika akal tidak sanggup, mereka malah menolak memercayainya," tongkatnya terjatuh. Aku sigap mengambil tongkatnya. "Biarkan. Jangan bantu saya. Mau jadi pahlawan kesorean? Saya menolak menjadi bahan ceritamu kepada orang-orang di perjalanan selanjutnya. Kamu pasti akan bercerita kepada mereka bahwa telah membantu satu orang tua yang duduk sendirian di warung. Saya sudah bosan bertemu dengan anak muda sepertimu," ia mengeluarkan lagi botolnya dan menuangkannya ke dalam gelasku. "Minum. Minum yang banyak. Biar hilang kerut di dahimu itu. Biar kering luka basah itu," ia sama sekali tidak pernah memandang mataku.

"Dari mana kamu, Anak Muda?" ia menyentuhkan gelasnya pada gelasku. Ajakan untuk minum pada waktu bersamaan. Setelah meneguknya hingga habis, aku jawab, "Saya dari Selatan, Orang Tua. Sudah cukup lama saya berjalan..." "Ya, ya, saya juga pernah pergi ke Selatan," ia memotong; ciri khas orang seusianya. "Dulu, zamanku dulu, anak-anak muda di Selatan penuh dengan kesombongan. Masih seperti itu mereka? Mereka berteriak lantang akan kebenaran. Demi kebebasan, kata mereka. Padahal, cara penjelasan mereka akan kebebasan saja masih dibatas-batasi. Tak ada kebebasan sama sekali. Beda dengan zamanku. Semua dipikirkan baik-baik, begitu matang, presisi." Selayaknya orang tua lain, hidupnya berhenti pada saat mereka muda. Demi melanjutkan kehidupan, itu kerap diceritakan berulang kali kepada sesiapa yang dijumpai.

Orang Tua itu melanjutkan kisah perjalanannya dari tahun ke tahun sambil terus menuangkan gelas yang kosong. Semua ceritanya menuduh berulang kali bahwa anak-anak muda seusiaku merusak perjuangannya dengan kemanjaan. Kebutaan yang dibuat-buat oleh seusiaku menjadikan perjuangan mereka-mereka yang seusianya menjadi kalah makna. Aku menggeram. Untuk meredakan angkaraku, kuminum terus setiap tuangannya. Gelas keempat, aku kekembungan. Ia masih terus-menerus meminumnya. Daripada mendapat ceramah lebih panjang soal 'orang tua yang lebih hebat daripada anak muda', aku memegang gelas yang penuh itu di antara paha, memiringkannya supaya airnya tumpah ke bawah. Tatapanku masih seserius itu; ke arah matanya; lekat-lekat.

"Heh! Anak Muda! Kau buang airku?" Matanya melotot. Ceritanya berhenti. Napasku juga. Gelas tegak berdiri. "Tu... Tum.. Tumpah, Orang Tua." Murka tadi lenyap ke mana? Murka yang kelewatan justru mendatangkan ketakutan dalam sekejap. "Kakiku kena airnya," ia mengelap kaki dengan jubahnya yang panjang menjuntai. Saatnya aku mengalihkan perhatian. "Mbakyu, ada gorengan?" Sambil cuek mengangkang, ia bilang, "Ini warung kopi, bukan warung gorengan."


Pilihanku hanyalah berbicara dengan Mbakyu tanpa tahu bagaimana cara berkomunikasi yang menyenangkan, mendengarkan cerita Orang Tua yang sudah mulai diulang-ulang, atau melanjutkan perjalanan dengan sempoyongan. Saatnya percaya pada keajaiban.


   

Komentar