Kurasi Ingatan Cahaya

Sore itu, Bapak Tua duduk di beranda. Rambut putihnya sudah tumbuh berdekatan sejak lama. Bengongnya tidak kosong. Terasa benar pada teduh matanya yang kalem. Beliau menoleh ke belakang ketika menyadari keberadaan saya yang mengamatinya dari belakang. Beliau meminta saya untuk duduk dengan menepuk-nepuk bangku yang ada di sebelahnya. Saya manut.

“Bapak Tua tidak kepanasan duduk di sini? Sinar matahari langsung ke tempat duduk kita.” Beliau menggeleng, dia bilang, saat ini, beliau sedang belajar untuk mengakrabi cahaya. Peluhnya menetes. Saya menunduk.

“Waktu itu, gelaaaap sekali. Sangat gelap. Jelang beberapa langkah, saya hanya melihat gelap. Hitam. Hitam pekat. Saya memutar tubuh saya (sambil ia praktikkan) untuk lihat sekeliling. Tidak ada. Tidak ada apa-apa yang terlihat. Hanya hitam. Hitam pekat.” Bapak Tua ini pernah hilang, entah berapa lama. Bapak Tua selalu cerita, beliau masuk dalam kegelapan. Kemudian, beliau jarang sekali melanjutkan ceritanya. Ini adalah saat langka. Merasa perlu menjaga percakapan, saya malah diam sudah cukup.

“Lalu, saya mengulurkan tangan saya.” Satu tangannya menggapai-gapai ke depan. Satu lagi berpangku pada lengan bangku. “Saya coba meraba apa yang ada di hadapan saya. Saya mencoba meraih atau menyentuh sesuatu. Sambil melangkah. Satu langkah. Dua langkah. Tidak ada apa-apa. Saya hanya bisa menyentuh tubuh saya sendiri. Juga tanah yang menjadi dasar saya berdiri.” Di lengan saya, bulu-bulu berdiri lebih tegak dari biasanya. Dalam imaji mental saya, ada gelap yang belum menyeluruh. Pandangan Bapak Tua tetap melekat ke depan. Entah pada apa.  

“Saya memperhatikan lagi sekeliling. Kali ini lebih pelan. Berusaha fokus pada satu titik. Berharap mata bisa beradaptasi dengan cepat sehingga bisa melihat sesuatu dalam kegelapan. Biasanya, seperti mati lampu, semakin lama, mata kita beradaptasi sehingga bisa melihat sekeliling, kan?” Ia menoleh pada saya. Saya manggut-manggut.

“Namun, tidak ada apa-apa. Tidak ada yang terlihat.” Beliau berhenti. Ada jeda. Saya mau menunjukkan rasa antuasis saya diam-diam, tanpa tekanan. Setelah tiga pertanyaan di kepala yang mau saya lontarkan, saya merasa harus melontarkan apa pun sebelum kehilangan momentum. “Apa yang Bapak Tua dengar?”

“Tidak ada. Sepi. Sepi sekali. Suara tik-tik jam tidak ada. Suara air jatuh juga tidak ada. Hanya gesekan langkah. Hanya gesekan celana ketika saya berjalan. Hanya suara napas. Hanya suara yang saya timbulkan sendiri. Saya berdeham. Kemudian, saya ngomong, “Halo…”, “Halo…” Tidak ada yang menjawab. Saya tidak tahu ini lorong panjang atau ruang lapang. Saya tidak tahu harus ke kiri atau ke kanan atau malah jalan lurus terus-menerus.” Saya memperhatikan keriput di bawah matanya. Saya memperhatikan urat-urat yang bermunculan di tangannya.  Juga rambut putihnya.

“Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah berjalan karena berdiam sama saja dengan menekuni kegelapan. Saya dipaksa percaya dengan sesuatu yang belum pernah ada, terang yang belum kelihatan sama sekali. Bisa ada, bisa juga tidak. Tapi, saya hanya mau percaya bahwa itu ada karena itu adalah penggerak saya. Saya merasa perlu percaya dengan apa yang dikatakan oleh diri sendiri. Tidak ada suara dari siapa-siapa lagi.” Saya merasa hampa, sekaligus sesak yang menyelusup di dada. Teh poci saya tuangkan dalam gelas. Saya baru teringat, itu bukan gelas saya. Padahal, saya tuangkan tehnya untuk saya sendiri. Merasa perlu melakukan sesuatu daripada diam kekalutan. Akhirnya, saya membiarkan teh itu setelah menuangkan. Mati gaya.

“Yang tertinggal hanya ingatan. Tapi, itu tidak membuat saya jadi tahu apa yang perlu saya lakukan. Saya menoleh ke belakang, hasil ingatan akan dari mana saya bisa datang. Tidak terlihat apa-apa. Bekas cahaya pun tidak ada. Saya merasa perlu mengkurasi ingatan saya sendiri. Saya hanya perlu ingatan yang bisa membuat saya terus bergerak. Ternyata, itu membuat saya jadi tahu. Ingatan hanya bisa dikurasi dengan nilai. Nilai-nilai saya blas hilang. Seperti tidak ada artinya. Tidak ada gender. Tidak ada ras. Tidak ada agama. Tidak ada apa-apa. Kemanusiaan tidak berlaku dalam kegelapan. Kemiskinan begitu berjarak. Sisanya kelaparan. Begitu nyata lapar itu.” Saya menelan ludah. Terbersit untuk masuk ke dalam mengambil air minum karena cerita ini bisa jadi masih panjang, tetapi itu seperti mempertaruhkan keberlanjutan cerita langka. Bapak Tua masih tidak menyentuh tehnya. Juga tidak menawari saya. Saya menelan ludah lagi.

“Lama-lama, saya tidak merasakan apa-apa. Tepat ketika saya sadar bahwa saat itu, saya tidak memiliki apa-apa dan memang tak pernah memiliki sesiapa. Kosong.” Beliau menatap saya. Lekat. “Seperti kegelapan,” lanjutnya. Saya merasa perlu mengangkat suasana menjadi tidak sebegitu kelamnya. Hidup sudah sedemikian rupa untuk terus merayakan kekelamannya. “Tapi, Bapak Tua hebat, ya, tidak pernah kalah dengan keadaan.”

“Karena tak ada pilihan lain. Mau bunuh diri, saya pernah. Tapi, kan, tidak bisa. Kecuali mati kelaparan. Atau, mati karena menyerah. Melawan keadaan malah membuat langkah semakin berat. Mengumpatnya malah mempercepat lelah. Saya coba cara lain. Mencoba mengenal kegelapan. Mengakrabinya. Apa yang gelap bisa tawarkan kepada saya? Juga apa yang saya bisa tawarkan kepada gelap? Ingatan yang sudah dikurasi itu mungkin yang menyelamatkan saya.

Saya ternyata pernah belajar bahwa mati bukan pilihan. Artinya, tidak ada pilihan lain selain mati. Hanya mati tok. Saat itu, saya tidak bisa memilih untuk mati. Saya juga pernah belajar bahwa keajaiban bisa datang. Lewat tuhan. Saya berdoa. Sembahyang untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.” Kedua tangan Bapak Tua menyatu di depan dadanya. Kedua jempolnya saling memutarkan diri. “Ada keajaiban setelahnya, Bapak Tua?” Kali ini, saya memang mau tahu betul.

“Saya kemudian jalan terus. Jauh. Jauh sekali. Sepanjang jalan, selagi mengurasi ingatan, saya menimbang-nimbang diri saya. Saya hanya perlu sarinya. Banyak hal yang belum relevan dengan saat itu, saya matikan ketika datang. Hanya hal penting dan relevan yang saya biarkan. Tidak mudah. Seperti berkelahi terus-menerus dengan diri saya. Lagi-lagi, saya juga merasa perlu untuk mengakrabi diri saya sendiri.” Pertanyaan saya belum terjawab. “Lalu, keajaiban datang, Bapak Tua?” Saya teguh bertanya ulang. Mungkin, pertanyaan saya juga dikurasi ingatan bahwa keajaiban bisa menyelamatkan.

“Ajaibnya, saya sering mencium satu aroma. Aroma khas. Entah dari mana. Padahal, kegelapan tidak punya aroma. Kadang mirip dengan bau tanah basah. Kadang mirip dengan lembab. Mungkin, itu juga hasil kurasi ingatan saya. Aroma itu mungkin juga tidak ajaib sama sekali. Hanya saya menciptakan makna pada sesuatu yang tidak ada. Sekadar untuk bertahan.” Saya menutupi kekecewaan saya. Enggan mengulang pertanyaan yang sama.

“Jadi, yang membuat saya bertahan justru keadaan. Tidak ada pilihan. Pilihan hanya ada bagi kaum-kaum yang beruntung. Bagi mereka yang memliki sesuatu. Bagi mereka yang masih percaya dengan waktu.” Saya membetulkan letak kerah kemeja saya. Hanya karena tidak tahu lagi apa yang bisa ditanggapi. Ini terlalu kelam.

“Tidak mudah untuk melihat terang kemudian. Awalnya cahaya setitik. Kemudian mulai berkembang biak seperti galaksi. Senang, tapi juga tidak mudah. Saya terlalu mengakrabi kegelapan. Tapi, saya tahu, cahaya akan selalu ada. Setidaknya dalam ingatan. Mulai saat itu, saya merawat ingatan baik-baik. Kurasi dengan tekun. Setiap pagi dan sore, saya selalu duduk di beranda. Mengakrabi terang.” Segelas teh masih belum disentuh. Bapak Tua duduk di beranda. Rambut putihnya sudah tumbuh berdekatan sejak lama. Bengongnya tidak kosong. Terasa benar pada teduh matanya yang kalem.

Komentar