Buruh Development


Bangunan itu berlantai-lantai semampai. Masih ada ruang di depan setiap pintu lantai bawah, pun dipenuhi dengan rak sepatu, jemuran pakaian, maupun perkakas rumah tangga. Orang-orang tinggal di dalam rumah-rumah yang tersusun padat.  Ketika melalui lantai paling bawah, saya beberapa kali menemui kakek atau nenek yang sedang melangut di kursi roda di terasnya. “Morning,” begitu saja saya menyapa. Mereka diam saja. Atau, hanya melihat saya yang terus berlalu. “Masuk dalam kategori setting film horor ala Wong Kar Wai atau mungkin Joko Anwar,” saya mbatin.

Saya menuju satu bilik nomor 26. Ruang ini sebenarnya seluas dengan beberapa rumah di tempat itu yang digabungkan. Orang-orang di dalamnya pun berbeda dengan penghuni yang saya lalui ketika berjalan di dalam bangunan itu, mulai dari cara berpakaian yang jauh lebih rapi dan orang-orang yang terlihat lebih muda. Ruangan-ruangan di dalamnya pun dipenuhi dengan perangkat canggih terkini. Bilik ini merupakan tempat kerja dari beberapa organisasi yang mengaku bergerak di bidang sosial. Pagi itu, saya ada janji untuk bertemu salah satunya. Saya terlambat 7 menit dari janji awal. Sekitar 60 menit ke depannya dihabiskan untuk penjelasan tentang akses layanan aborsi aman.

Sesuai standar—entah standar mana, pertemuan itu ditutup dengan jabat tangan. Tujuan saya selesai hari itu di negara itu. Pertemuan dengan organisasi lain dibatalkan beberapa hari sebelum keberangkatan, pun mereka bekerja di bilik yang sama. Saya berjalan meninggalkan gedung yang membuat bulu kuduk saya berdiri—sepertinya demikian, saya tidak bisa lihat tengkuk sendiri. Cukup banyak film hantu yang saya tonton dengan setting serupa.

Hantu cenderung dilihat sebagai sosok menakutkan, pun kerap terus berulang diceritakan. Sebisa mungkin perjumpaan dengannya dihindari, pun kadang ada penglihatan tanpa rencana. Tidak terlihat bukan berarti tidak ada, sering menggerayangi dalam tidur-tidur yang membuat pemimpi bangun terengah-engah tanpa merasa istirahat. Belum lagi, cerita tentang hantu yang turut bersembunyi di bawah selimut; hantu yang tetap ada di hadapan orang yang baru sadar dari pingsan karena melihatnya; juga hantu yang sama-sama teriak dan berlari ketakutan ketika saling melihat. Pun, hantu yang paling menyeramkan adalah hantu yang bersemayam. Dalam diri sendiri. Pernahkah Anda menyadari menjadi seseorang yang selalu Anda sebut keji dan sebisa mungkin dihindari?

Saya pernah merutuk hantu development akibat setuju dengan Arturo Escobar (2007). Bergerak—kalau terlalu payah seperti saya untuk mengaku bekerja—di dunia development rentan masuk dalam sistem dominan. Escobar (2007) pernah cerita soal asal-muasal postdevelopment dari kritik poststructuralist. Katanya, ada empat hal yang bisa memanggil hantu development. Pertama, sebagai wacana historis, development adalah sesajen bagi kelahiran expert sesaat setelah Perang Dunia II. Mereka bertebaran di Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk mengungkapkan kenyataan untuk mengkonstruksi Dunia Ketiga—yang sekarang sudah sering disebut dengan Global South. Mereka mendefinisikan development sebagaimana mereka memaknainya sehingga development yang dilakukan hanya mereplikasi Western Development. Itu saja pembahasan bagian pertama karena hanya itulah yang saya tahu. Saya bahkan tidak ada keinginan untuk menelusurinya lebih lanjut. Payah.

Kedua, development juga memanggil ruh perlengkapan institusi terlembaga yang terjelma dalam organisasi-organisasi development internasional, juga perencanaan nasional, agen development, dan proyek-proyek lokal atas nama development. Mereka seolah-olah mengaku atau diberikan pengakuan punya keleluasaan untuk lebih tahu apa yang dibutuhkan orang-orang. Hanya karena mereka punya akses pada data, informasi, modal, kenalan, pengetahuan, dan nama besar, suara-suara orang—yang katanya mereka mau bantu—malah tidak jadi prioritas. “Pengalaman beberapa orang tidak bisa dijadikan patokan untuk kebijakan banyak orang,” begitu kebanyakan argumentasinya. Mereka bicara dengan angka atas nama rasio yang sudah jadi andalannya. Sayangnya, statistik yang sudah susah payah mereka pelajari demi gelar dan jabatan itu kurang menggali bentuk-bentuk ketidakadilan di belakangnya. Lembaga-lembaga itu kemudian menjadi elit-elit berbungkus humanitarian.

Ketiga, development menjadi mantra bagi timbulnya profesionalisasi persoalan development dan institusi development. Bagi saya, orang-orang yang mengaku ahli ini mungkin punya pengetahuan yang sebenarnya itu-itu saja; mereka hanya ikut workshop dengan tema serupa beberapa kali. Workshop-nya pun bukan menyajikan tema berbeda; plek-ketiplek sama, sebut saja dasar-dasar diskriminasi gender atau kesehatan reproduksi dan seksualitas (hanya karena tidak berani menaruh kata aborsi di dalam surat undangan—bukan tidak berani, hanya kurang efektif untuk advokasi). Materinya sama hanya bentuk presentasinya saja yang berbeda. Sertifikat yang dikumpulkan membuatnya menyandang gelar ahli, padahal pengetahuannya mandek. Seperti saya. Kemudian, ahli-ahli ini bersama institusi development menghubungkan pengetahuan dan praktik melalui sistem untuk menjalankan investigasi dan proyek. Escobar (2007) bahkan menghubungkannya dengan kapitalis modern.

Terakhir, development menjadi jimat dari bentuk peminggiran. Ini dia yang paling mengerikan bagi saya. Development meminggirkan pengetahuan, suara, dan kekhawatiran orang-orang yang dilayaninya. Presentasi yang diakui hanya dilakukan oleh mereka yang bicara tidak dengan bahasa ibu sehingga lebih mudah dipahami oleh orang-orang asing. Laporan juga, termasuk komunikasi melalui surat elektronik yang menuntut adanya koneksi internet di daerah-daerah terpencil.

Di area perbelanjaan Orchard, saya duduk sembari menunggu penerbangan malam. Seharian di negara tetangga hanya untuk pertemuan satu jam. Uang yang dikeluarkan untuk perjalanan demi satu rapat itu cukup untuk mengirimkan paket aborsi aman untuk setidak-tidaknya lima sampai sepuluh perempuan yang membutuhkan. Belum lagi, perjalanan saya sudah berkontribusi pada sampah karbon. Ya, ya, ya, saya tahu ada saja orang yang akan bilang bahwa pertemuan itu bisa membuka akses kepada lebih banyak perempuan. Eh, mungkin itu bukan orang lain, tapi pembenaran dari diri saya yang belum bisa menerima bahwa saya merawat baik-baik hantu yang selalu saya rutuk.

Kengerian saya sudah tidak melekat pada ruang atau bangunan tadi. Ketakutan saya sudah menjadi bagian dalam diri saya. Hadir dalam mimpi-mimpi tak berpuan. Mengetuk-ketuk tiap malam dengan pertanyaan, “Apa yang sudah dilakukan?” Saya merasa sudah menjadi orang yang saya sebut keji. Saya menyemayankan hantu yang terus saya rutuk dan diam-diam saya menjadi. 

Bacaan
Escobar, Arturo. (2007) "'Post-Development' as Concept and Social Practice", in A. Ziai (ed.) Exploring Post-Development: Theory and Practice, Problems and Perspectives, pp. 18-31. London: Routledge.


 


Komentar