tsunami dan dandelion
Kakak saya pernah bilang, keluarga itu seperti susunan kartu. Jika satu kartu jatuh, kartu lain pun tak bisa tegak berdiri sendiri. Namun, prinsip itu selalu terbukti salah. Setelah jatuh untuk kesekian kalinya, kami tak pernah diam begitu saja. Membiarkan diri kami jatuh terlalu lama. Keinginan kami untuk segera bangun lagi sambil mendorong kartu lain begitu besar.
Dan, tak pernah sekali pun kami membiarkan salah satu kartu tetap terjatuh. Maka, saya tak setuju dengan prinsip itu. Kartu tak ada kemampuan untuk bangkit lagi. Sementara keluarga kami, tak berhenti bersikeras untuk mendirikan kartu-kartu itu lagi. Kami memulainya dengan sungut yang seolah tak berkehabisan. Tumpukan abu dan batang rokok memenuhi asbak. Jam sudah tak kami hiraukan. Kami harus mengelupas segala luka yang sudah mengering untuk menghilangkan bekasnya. Padahal, kami yakin bahwa bekas itu tak pernah hilang. Kami akan semakin tertarik dalam pusaran ini.
Saya jadi ingat mimpi saya bertahun-tahun yang lalu; tak lama sebelum ada pusaran hebat yang menerjang keluarga kami juga. Mimpi saya itu berlatar belakang tempat di pinggir pantai. Malam hari. Suara ombak semakin tidak wajar. Dan, ternyata benar, ombak itu semakin besar dan semakin tinggi; menghajar habis tempat penginapan kami. Kami sudah lari ke lantai dua, tetapi ombak masih sanggup menggapai kami. Satu dari empat bersaudara kami berpegangan pada tiang. Semua sibuk saling memegang tangan supaya bisa bertahan tanpa terbawa arus yang sangat kencang. Suara air terdengar kencang dan begitu dekat. Teriakan nama masing-masing dari keluarga kami terdengar nyaring. Sungguh, saat itu, kami hanya bisa menyelamatkan diri dengan berpegangan tangan. Tak ada cara lain. Tak ada lagi yang bisa diselamatkan. Dan, dengan cara itu, kami bertahan.
Mimpi itu saya miliki sebelum saya mengenal kosakata tsunami. Konsep tsunami belum pernah saya dengar karena itu terjadi sebelum tsunami Aceh. Maka, saat saya melihat di televisi tentang tsunami Aceh, saya ingat betul pada mimpi itu. Membekas. Tak pernah susah untuk dipanggil kembali ingatan itu. Kini, Jepang baru saja dilanda tsunami. Dan, mimpi itu tidak hanya diingat kembali. Saya dan keluarga saya dipaksa untuk merasakannya lebih dalam. Mengalaminya.
Pasukan dandelionku, bergabunglah. Terjangan angin kali ini tak selesai hanya dalam 127 jam. Saling berteriaklah memanggil nama kakak-adik serta orang tua kita setiap saat supaya tetap tahu kehadirannya masih di samping kita. Teriakkan nama saya kencang-kencang--Amalia. Teriakkan nama mereka, Denstra, Cynthia, Bimo, Ap, dan tentu saja Am.
Dan, tak pernah sekali pun kami membiarkan salah satu kartu tetap terjatuh. Maka, saya tak setuju dengan prinsip itu. Kartu tak ada kemampuan untuk bangkit lagi. Sementara keluarga kami, tak berhenti bersikeras untuk mendirikan kartu-kartu itu lagi. Kami memulainya dengan sungut yang seolah tak berkehabisan. Tumpukan abu dan batang rokok memenuhi asbak. Jam sudah tak kami hiraukan. Kami harus mengelupas segala luka yang sudah mengering untuk menghilangkan bekasnya. Padahal, kami yakin bahwa bekas itu tak pernah hilang. Kami akan semakin tertarik dalam pusaran ini.
Saya jadi ingat mimpi saya bertahun-tahun yang lalu; tak lama sebelum ada pusaran hebat yang menerjang keluarga kami juga. Mimpi saya itu berlatar belakang tempat di pinggir pantai. Malam hari. Suara ombak semakin tidak wajar. Dan, ternyata benar, ombak itu semakin besar dan semakin tinggi; menghajar habis tempat penginapan kami. Kami sudah lari ke lantai dua, tetapi ombak masih sanggup menggapai kami. Satu dari empat bersaudara kami berpegangan pada tiang. Semua sibuk saling memegang tangan supaya bisa bertahan tanpa terbawa arus yang sangat kencang. Suara air terdengar kencang dan begitu dekat. Teriakan nama masing-masing dari keluarga kami terdengar nyaring. Sungguh, saat itu, kami hanya bisa menyelamatkan diri dengan berpegangan tangan. Tak ada cara lain. Tak ada lagi yang bisa diselamatkan. Dan, dengan cara itu, kami bertahan.
Mimpi itu saya miliki sebelum saya mengenal kosakata tsunami. Konsep tsunami belum pernah saya dengar karena itu terjadi sebelum tsunami Aceh. Maka, saat saya melihat di televisi tentang tsunami Aceh, saya ingat betul pada mimpi itu. Membekas. Tak pernah susah untuk dipanggil kembali ingatan itu. Kini, Jepang baru saja dilanda tsunami. Dan, mimpi itu tidak hanya diingat kembali. Saya dan keluarga saya dipaksa untuk merasakannya lebih dalam. Mengalaminya.
Pasukan dandelionku, bergabunglah. Terjangan angin kali ini tak selesai hanya dalam 127 jam. Saling berteriaklah memanggil nama kakak-adik serta orang tua kita setiap saat supaya tetap tahu kehadirannya masih di samping kita. Teriakkan nama saya kencang-kencang--Amalia. Teriakkan nama mereka, Denstra, Cynthia, Bimo, Ap, dan tentu saja Am.
Komentar
Posting Komentar