Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2007

ohya

waktu bukan jaminan mutu tidak bisa dijadikan tolak ukur yang pasti untuk penentuan

sial

ketika menjalani sesuatu dalam jangka waktu panjang kemudian muncul pertanyaan yang akan kembali menancap dasar apa itu berisi perasaan, sekadar kebiasaan, atau sudah menjadi sesuatu yang memang sudah seharusnya? saudara dekat pun menjawab, "perasaan diikuti kebiasan dan kebiasaan diikuti perasaan" dan semuanya akan terjawab ketika berakhir

last child

Entah hanya terjadi pada saya atau ini juga menjadi pengalaman anak terakhir lainnya. Bisa saja karena saya mempunyai 3 kakak. Bisa saja karena usia saya terpaut jauh dengan kakak-kakak saya, bahkan kakak di atas saya persis. Bisa saja karena pengalaman waktu kecil ketika kakak-kakak saya menjadi orang yang pasti lebih benar, lebih pintar, dan lebih hebat. Jadi, ketika saya berumur 12 tahun, segala pendapat saya kurang matang, banyak hal yang tidak dipikirkan oleh saya. Ketika saya berumur 12 tahun, segala pendapat yang keluar dari saya selalu dianggap pendapat "anak kecil"--dirasa tidak memikirkan dampak positif dan negatifnya. Ketika saya berumur 12 tahun, segala permintaan dari saya dianggap hanya berupan keinginan, bukan kebutuhan. Saya terima semua itu karena saya sadar, saya belum tahu apa-apa tentang dunia. Ketika itu, yang saya hanya tahu bahwa dunia adalah tempat kita berbagi tawa, mempunyai keluarga yang akan selalu memberikan kehangatan, menikah adalah impian set

just like us

Seberapa beda gua ketemu orang-orang? Hmm. Kali ini, gua ketemu ama orang-orang yang justru nggak beda, tapi kadang dibedain ama masyarakat. Abis kesasar di Jakarta Timur di daerah Cilangkap, Setu sana, akhirnya gua nemuin tempat Gerkatin Pusat. Apa, sih, Gerkatin? Pertama kali ngeliat lambangnya, gua kira itu lambang partai, hehe. Taunya itu lambang organisasi Gerakan Kesejahteraan untuk Tunarungu Indonesia. Hari itu juga gua langsung ketemu ama orangorang tunarungu. Mereka ngajarin bahasa isyarat buat gua ama dua orang lainnya. Ternyata, mereka masih punya sabar ama semangat yang banyak banget. Sama sekali nggak beda, punya kehidupan yang sama ama manusia normal lainnya. Bahkan, mereka punya keinginan kuat berbuat sesuatu untuk Indonesia. Hehe. Emang, sih, nggak bakal ngerasa apa-apa kalo cuma baca--dalam soal apapun, ya. Tai, kalo udah punya pengalamana langsung, baru punya hubungan batin yang cuman bisa dirasain. Kayak kejadian hari itu. Gua punya rasa yang beda dengan orang-orang

im an alien

Dinner with my family And my sister in law’s family How can I be an alien there? Of course I can Then, I made my world there Didn’t listen to their stories—same old stories Just me, myself, and my dream Do they care? Why should they? It’s my world

research is a guilt?

“Kalau kamu tertarik, saya mau mengajukan kamu menjadi salah satu dari 4 kandidat yang akan diberangkatkan ke Hong Kong, walaupun nantinya akan diseleksi kembali menjadi 2 orang saja. Sebelum berangkat, kamu akan dipertemukan dengan 5 orang tuna rungu di Indonesia untuk belajar bahasa isyarat sebagai bekal. Di Hong Kong, kamu akan diberi pendidikan S2 dan biayanya sudah ditanggung. Kemudian, kamu juga akan bekerja dan akan diberikan biaya pula. Sepulangnya, kamu bersama 5 orang tuna rungu tersebut harus membuat penelitian di pusat penelitian UI untuk membuat kamus bahasa isyarat bahasa Indonesia. Kalau memang maish tertarik, saya akan memberikan e-mail kamu kepada Profesor di Hong Kong supaya bisa menghubungi kamu langsung.” Pak Umar selesai menjelaskan via telepon siang itu. Ini berita besar buat gua dan gua cuman bisa duduk terdiam di pantry kantor. Akhirnya, ada konfirmasi ulang dari Hong Kong. Gua simpen cerita ini buat orang-orang spesial. Tapi, pas gua sampein. Mereka, kok,

Empat Serangkai

Nama saya Si Empat karena Ibu saya punya 4 anak dan saya anak terakhir. Si Pertama dan Si Kedua sudah menikah. Dan sejak itu, mereka tidak tinggal bersama orangtua saya. Jadi, tertinggalah saya dan Si Tiga. Tapi, sekitar 2002—2004, anak Ibu saya seperti nambah 2. Yang kelima namanya Si Lima. Awalnya, dia teman Si Tiga. Si Lima seringkali menginap di rumah saya, hampir setiap hari, bahkan. Mulai dari hanya menonton DVD, maen CS, gun-bound , ngotak-ngatik motor, ampe akhirnya punya hobi yang sama ama Si Tiga, fotografi. Anak keenam, Si Enam, teman saya pada mulanya. Wah, saya dan dia sudah berteman sejak beberapa tahun sebelumnya. Tapi, saat itu adalah tahun-tahun intensif dia ada di rumah saya, walaupun tanpa ada hubungan rasa. Oh iya, perlu atau tidak, sekadar informasi, hanya saya yang perempuan. Mereka Si--Tiga, Si Lima, dan Si Enam--berjenis kelamin laki-laki. Dulu, hampir setiap hari kami meluangan waktu bersama, entah hanya untuk makan bersama, menonton DVD, atau ‘cela-celaan’. Ha

Jakarta = Rubbish

Hari Sabtu seharusnya jadi hari paling pas untuk bangun siang dan berleha-leha—apalagi malemnya abis deadline atau abis merayakan deadline dengan ‘minuman menyegarkan’ ( yeah, tell me about it, guys ). Tapi, buat gua, hari Sabtu bukan saatnya bangun siang. Kayak biasa, gue tetep bangun pagi dan pergi ke apartemen bergengsi di Pakubuwono ( ouch, I named it ) buat mencari secuil penghasilan lain, sekaligus nyelurin hobi ngajar. Hehe. Hari itu, Alastair—anak Kinyi—nggak bisa ikutan belajar soalnya ada masalah dengan lehernya setelah maen ‘Superman-Superman-an’ ama adiknya—Cian. (Wow, ternyata, terlalu imajinatif juga nggak bagus—seenggaknya nggak bagus buat orangtuanya, hehe). Alhasil, gua lebih banyak ngobrol ama Kinyi. Dan, dia ngajakin ngobrol tentang kemacetan di Jakarta ( hmm, favourite topic for foreigners who live in this capital city, really after 2 years experience I can tell you about it ). Jadilah ada pertanyaan dari dia, “ What will Jakarta be in next 10 years ?” ( Yes, Sir,

gender di mata orang awam seperti saya

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan kebudayaan. Berbagai macam kebudayaan daerah membentuk kebudayaan nasional. Dalam kehidupan sehari-hari, unsur-unsur budaya tradisional masih terlihat. Salah satunya adalah unsur-unsur yang berhubungan dengan gender. Gender hadir akibat adanya struktur sosial. Struktur sosial di Indonesia yang kuat mengakibatkan beberapa kalangan beranggapan bahwa tidak adanya masalah gender di Indonesia. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan teknologi dan meluasnya informasi, masyarakat Indonesia pun berkembang. Berbagai macam informasi diterima dan disesuaikan dengan budaya setempat, termasuk dalam hal gender. Hal ini menyadarkan masyarakat Indonesia akan adanya stereotipe gender yang mendiskriminasikan salah satu gender, dalam hal ini perempuan. Kebudayaan tradisional Indonesia mendukung adanya stereotipe perempuan dan laki-laki. Rendahnya tingkat pendidikan perempuan—walaupun sebenarnya hal ini juga akibat dari pengaruh stereotipe perempuan dalam ma