Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2010

pulang

Malam tadi, saya bangun tergagap. Keresahan memenuhi kamar. Langsung saya toleh kiri-kanan, memastikan di mana sebenarnya kenyataan berada. Semua lengkap seperti sebelum saya tinggalkan. Namun, rasa lega belum bisa meluluhkan kecemasan.Saya biarkan saja seolah tak peduli. Bunga tidur kadang memang begitu jahat daripada apa yang sebenarnya. Tiga jam setelah terbangun, saya coba mencernai bunga-bunga itu. Hanya ada saya dan kakak perempuan saya di antara empat bersaudara itu. Ibu, kakak, dan saya sangat telrihat panik di dalamnya. Ayah kesakitan, tetapi--seperti pada kenyataan--bersikap seperti tak apa-apa. Masih bersedia menyetir untuk kepindahannya dari RS Harapan Kita ke RS Pondok Indah. Di perempatan Antasari, setelah dibujuk-bujuk, akhirnya ia meminta saya untuk menggantikannya. Bunga belum selesai. Sesampainya, seorang adiknya marah-marah kepada Ibu karena dianggap tidak mempunyai waktu. Saya pun berani menerobos posisi hierarkis yang dipegang teguh dalam budaya Jawa kami. Saya tan

ketibaan

hari yang begitu biasa akan tiba tak ada lagi kebiruan di sudut kamar harapan melenyap dijemput kekecewaan. hari yang begitu biasa akan tiba

kemanusiaan

"Trus, trus" "Ya gitu, deh, jalanin aja." "Iya... Jalanin aja, lah, ya, daripada daripada..." "Nanti juga ketauan ujungnya." "Banget.. Capek soalnya. Setuju banget." "Takut sih, tapi gimana lagi?" "Nggak usah takut, lah..." "Tapi, nanti gimana?" "Siapa yang tahu, sih, nantinya gimana?" "Itu yg bikin takut. Emang lo gak takut?" "Fear is a friend who's misunderstood..." "Jadi, harus dibikin mengerti, dong?" "Nggak harus, sih. Dipahami saja." "Jadi, cuek aja, nih?" "Cuek bukan berarti ignorant." "Jadi, apa dong yang tepat?" "Lo yang lebih tahu, lah." "Tapi, manusia cenderung butuh rekonfirmasi." "Tapi, individu nggak selamanya harus menyerah pada kemanusiaan."

balon udara

Biarkan kita berbincang lewat tawa untuk menutupi ketakutan yang membara. Ceritakan lagi kisah yang sudah pernah terungkap agar rasa sakit ini tak terlihat jelas. Tak perlu ada kejujuran untuk menutupi rasa bersalah. Aku pun ada di sini karena kebohongan besar yang sudah mendarah daging. Diterbangkannya kita untuk melihat pemandangan. Namun, kita hanya bisa menikmatinya dengan menutup mata. Tak ada cara lain. Yakin bahwa pemandangan dalam citra mental lebih bagus daripada yang terlihat di atas sana. Pejaman ini mengurangi gemetar tubuh akibat ketinggian yang ditakutkan. Saat itulah, ia memanggil, memintaku untuk melihatnya. Tak ada cara lain untuk berkomunikasi dengannya, aku harus melihatnya. Bahasa isyaratlah pilihan yang tertinggal, sisanya kabur. Aku harus membuka mata di atas sana dan memandangnya di bawah. Nyata. Jelas. Tubuhku kaku, melebihi gemetar ketakutanku. Ia pun mengisyaratkan, "Jangan takut jatuh. Aku ada di sini. Bukan untuk menunggumu jatuh, tapi kehidupanku mema

media sosial

Melihat media sosial seperti melihat foto-foto dalam kehidupan orang lain. Apa yang dianggap penting, menarik, dan memainkan perasaan mereka. Hal-hal sepele sampai berkepentingan begitu dieksploitasi dan disebar maknanya. Seketika saja, saya lupa dengan rekaman kecil-kecil dalam kehidupan saya sendiri. Semua tercecer berserakan di mana-mana. Bahkan, tak sedikit yang harus saya pancing berulang kali untuk mengartikan kembali simbol-simbol yang saya buat saat itu. Mungkin, saya kurang suka dengan eksploitasi. Dasarnya mungkin ketakutan akan penilaian orang yang membekas dan mempengaruhi dalam bersikap dan berperilaku. Jadinya, sibuk berdiam diri untuk mengobservasi. Repot kasih nilai ini-itu atas apa yang saya lihat. Pada saat yang sama, merasa belum melakukan apa-apa. Jauh dari kata hebat seperti yang terlihat pada foto orang lain melalui tulisan dan gambarnya. Kereta mungkin sudah terlalu jauh dan meninggalkan saya sejak lama.

coffee and you

Here, here, just come here silently.. Hear this music. Wait here, I'll make you a cup of coffee so you don't have to worry what we're gonna talk about. It's nothing. We won't talk. Just do what we need to do. Do it like it supposed to be, sun won't sleep tomorrow just to wait for us. That's the deal. Here, here. We're nowhere. We're nothing. But, if you come, we're definitely sure where we are and who we are. We know what we do if someone understands. We know ourself then. I know it's you. Here, here. Here's the coffee.

Maumu saja

Belakangan, ia terasa seperti terpojok. Dianggap menghilang dari dunia yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Saya tahu, sangat tahu, ia mengasingkan diri untuk menjalankan sesuatu yang dinamai tanggung jawab pula. Persetan dengan tanggung jawab, katanya. Semua sibuk minta waktu, teriak menuntut komitmen, kata-kata sarkastik pembuang uang. Ia pun sudah berusaha meninggalkan apa yang dimiliki. Hampir setiap hari, fesesnya penuh dengan sisa mie instant. Bangkai pisang pun menjadi satu-satunya makanan sehat. Tapi, maaf, itu bukan bagian dari tanggung jawab dia, pikir mereka. Saya sudah kasih tahu dia berkali-kali, semua orang pasti menagih haknya, temasuk, waktu, pikiran, dan kerja keras. Hidupmu pun bagian dari hak mereka, jawabku. Ia membisikkan perlahan bahwa identitasnya melenyap. Orientasi hidupnya terkikis sedikit demi sedikit, entah karena apa. Bahkan, mungkin karena kepercayaan orang, bisiknya. Atau, ketakutan yang tak kunjung lelah. Malam itu, ia dihampiri temanku yang lain.

menjadi sepatu

Dia itu seperti pemancing yang hanya mendapat sepatu usang. Ya, saya bahkan menilai diri saya waktu itu sebagai barang yang sangat tak berharga. Dibuang begitu saja dan sama sekali menjijikkan, dipenuhi kotoran yang saya anggap tak bisa hilang. Dia mengelap sepatu itu perlahan-lahan. Membelikan tali yang baru sekaligus menyemirnya hingga tampak lebih baik lagi. Sepatu itu dijemur hingga kering tanpa pernah ditinggalkan dari sampingnya. Dia rela mati-matian membela sepatu itu. Apa pun. Ia bahkan meminta izin untuk membawa sepatu itu bermalam dengannya. Sampai pada akhirnya, ia rela menjadi sepatu sebelahnya. Sekarang, kami berguna. Kami menjadi sepasang sepatu baru yang nyaman. Dia bahkan sampai lupa seperti apa saya waktu pertama kali ditemui.

harmonis bukan keharusan

"Mereka tidak harmonis, tetapi terus bersama atas dasar banyak hal. Saya justru belajar banyak dari situ. Mereka tetap orangtua saya." Saya pun meneteskan air mata tanpa kamu lihat.

komitmen dari ibu

Pagi kali ini dibuka dengan berbeda, walaupun apa-apa di sekeliling tak berubah. Kopi, rokok, dan ibu yang selalu tak pernah tampak mengeriput di mataku. Entah apa yang mengantarnya pada topik pagi itu. Tak dijelaskan langkah sebelumnya, langsung sampai tujuan. Komitmen, katanya. Semua orang butuh komitmen untuk tidak mendengar apa yang dianggap benar oleh sekitarnya, lanjutnya. Percaya pada komitmen. Itulah yang disampaikan begitu saja. Sebenarnya, masih banyak lainnya, tapi--maaf--tidak sesuai dengan apa yang aku percayai. Jadi, aku tidak mendengar sisanya. Mungkin, aku langsung mengaplikasikan nasihatnya. Tidak mendengar apa yang--bahkan--ibu anggap benar karena aku sudah berkomitmen untuk percaya bahwa tidak seperti itu "seharusnya". Dalam setiap perkenalan, aku percaya itulah tempat dan saat untuk mengenal. Bukan mengenal orang, tapi konsep yang dipahami. Sejauh mana perkenalan itu membawa suatu bentukan baru hasil rekonstruksi. Betul memang, hasil rekonstruksi itu yang

ceritakan lagi

Ayo, ceritakan lagi semuanya. Kisah masa kecilmu, patah hatimu, prestasimu, saat berkesanmu. Jangan kehabisan. Cari terus. Kalau sudah lelah mengingat, karang saja. Buat itu semua semeyakinkan mungkin. Jangan lupa untuk menciptakan dampak ketertarikan. Ungkap suatu kenyataan yang masih bisa menyenangkan. Kalau benar-benar habis, kamu mesti siap ditinggalkan. Saya ini hanya pendengar. Mungkin itu satu-satunya yang bisa saya lakukan.

tenggelam

“Aku mau tenggelam.” “Mau ketemu apa di dasar?” “Sesuatu yang belum pernah dilihat.” “Di atas juga banyak yang belum pernah dilihat.” “Iya, tapi aku bisa terbang, tidak bisa berenang.”

profesor

“Prof, saya mau ganja satu garis.” “Saya kirim setelah saya revisi.” “Saya tidak punya apa-apa.” “Asal kamu bersumpah mengerjakannya setiap hari.” “Baileys caramel ada juga, Prof?” “Itu bisa berguna bagi kaummu di negara ini.” “Makanya, saya mau jadi profesor.” “Habiskan dulu itu semua untuk melatih cara berpikir.”

perbedaan adalah persamaan

Kami ini hanya penikmat. Mencari segala bentuk untuk disesuaikan dengan kain pelapisnya. Perbedaan dielu-elukan merupakan kebohongan besar. Justru persamaan menggiring kami kepada sesuatu yang disebut dengan penerimaan. Penerimaan pun selalu menggandeng pengakuan. Dalam pengakuanlah kami bisa bernikmat. Sementara sibuk berkoar-koar soal menerima perbedaan, pada saat yang sama malah mencari keserupaan. Identik dalam konsep agar merasa didukung. Dukungan pun membutuhkan pengakuan sebelumnya. Koaran itu seperti saja dua muka yang bisa dibolak-balik. Menentang pemikiran yang sama. Sibuk berdebat tentang sesuatu yang sudah sependapat. Kami ini hanya penikmat. Perdebatan merupakan langkah awal untuk menjadi pemenang, merasa lebih tinggi daripada yang lainnya. Bukan kebenaran yang kami nikmati. Pengakuan untuk menjadi lebih menciptakan suatu rasa yang sama seperti yang mereka alami saat menyeruput kopi di pagi hari. Penikmat kopi juga, bukan?

tutup mulut

Dalam tangan ini, dia berbicara banyak. Mencari perlindungan dari ketakutan sehari-hari yang tak pernah diungkapkan. Tak pernah terkatakan kekhawatiran yang menggebu-gebu. Resah itu datang dari tiap kata yang tertulis dalam papan-papan yang dibawa saat demonstrasi. Laporan-laporan yang tak berjelas sumbernya membawanya pada sesuatu yang melelahkan. Tak ada cara untuk lari dari sistem yang sudah terporak-porandakan. Pidato itu apa isinya? Formalitas atas fungsi yang patut dipertanyakan. Semua sibuk berkata, berteriak, bertangis, dan berdiam. Tapi, siapa yang didengarkan? Berlomba menjadi besar untuk dilihat, belum tentu didengar, apalagi diperhatikan. Tutup mulut, keluhan itu asalnya dari hati. Ditumpahkan melalui anggapan ketiadaan yang dianggap maha pada saat kesadaran tiba. Menunggu kesadaran tak ada gunanya.

sinar tak tergapai

Meja kayu bundar berukuran kecil di depan. Empat kursi kayu secara terpisah mengelilingi meja itu. Tidak semuanya terisi. Beberapa saja. Biasanya juga begitu. Terisi semua acap kali terlalu sesak. Menghamparlah tetinggian pohon yang masih saja digoyang angin terpelan. Kucari satu titik yang menggoda untuk ditelusuri lebih jauh. Masih itu-itu saja titiknya. Kilapan lampu di atas julangan tinggi. Tatapanku membeku seolah tidak mengacuhkan kelihaian pucuk-pucuk yang sering kali menutupi. Kemudian, pucuk itu membiarkanku melihatnya lagi. Menutupnya kembali. Lebih terang sekejap, redup pada milidetik selanjutnya. Dibiarkan saja aku terpukau oleh kesederhanaan. Justru kompleksitas ada dalam kesederhanaan. Diganggu dengan mesra lagi dengan cahaya kuning yang menyamar menjadi siluet pohon. Berkali-kali. Terus saja begitu. Suatu kerutinan tidak selalu membosankan. Sedang apa penghuni lainnya? Ah, paling memelukku. Sinar yang tak tergapai lebih mempesona.