Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2012

Renyah

Tawa renyahnya justru yang menjawab dering telepon kesekian. Saya dengar sepenuh hati dan malah membalas tawanya.  Kemacetan di kota besar sering kali membuka kesempatan untuk bertegur sapa dengan orang-orang lain maupun diri sendiri. Pagi itu memilih kami untuk saling berhubungan. Saya mendahului geriknya untuk menelepon duluan.  "Mungkin, kamu kira kita tidak sedekat itu, padahal kita dekat sekali." "Tahu dari mana?" "Saya tahu karena kita sangat dekat. Saya merasakannya." Tidak ada cerita lagi pagi itu. Kami hanya berbagi tawa selama seperbagian perjalanan. Cerita bertumpuk yang sudah dipersiapkan buyar dalam sekejap. Saya merasa paham yang mendalam tanpa harus berbagi. Saya menertawakan pagi ini. Dia juga. Dia menunggu saya untuk bercerita sekian lama. Saya menunggu saat untuk bercerita sekian lama. Pada saatnya, tidak ada cerita, hanya tawa.

Surat Samudra #3

Kepada Samudra, Kamu ada tanpa hadir.   Apakah hadirmu utuh? Maaf, saya lancang bertanya. Saya tahu bahwa banyak hal tidak perlu dipertanyakan lagi. Bukankah pertanyaan akan menggiring kita pada suatu pernyataan semu dan perasaan nyata? Saya teringat pembicaraan saya dan kamu di beranda sore itu yang diiringi sunyi. Katamu, seserpih pun masih merupakan keutuhan. Utuh atas bagian yang kecil itu. Lagipula, katamu lagi, apa yang utuh di dunia ini? Semua luka per nah tertinggal dan berbekas. Mungkin saja, seserpih akan menjadi utuh dengan serpihan lainnya. Ah, sering kali manusia begitu tergila-gila dengan keutuhan.  Samudra, saya tahu kamu ada. Apakah ada serta-merta hadir? Apakah hadir serta-merta ada? Apakah kamu akan menjadi tujuan saya? Apakah saya justru bertemu dengan kamu di ujung padang rumput tak berbatas? Apakah kita hanya saling berpapasan untuk terus ada tanpa pertemuan lagi? Apakah malam-malam ini kamu hadir? Samudra, hari ini saya mempunyai banyak pertanyaan. Kamu

mari berbual

Bukankah kita tinggal dalam keresahan? Antara kabut dan asap saja tak bisa lagi dibedakan Menolak lupa tetapi sering lupa Antisakit kerap saling menyakiti Kalau begitu, mari berbual saja Nyatakan terang ketika cahaya hanya setitik Katakan berhati saat rasa sudah hambar Bual memang lebih berterima bagi hati Selalu mengajak melangkah dalam pelesapan hidup Iya, hidup sering kali menciptakan lubang Ketika berada di atasnya, kita melesap Masuk tertimbun dalam kecelakaan hidup Berharap uluran tangan dapat membebaskan kita Keraguan ini milik siapa? Milik keyakinan, bisik empunya tangan

Jalan Harapan

Bagi saya—mungkin saya hanya satu-satunya, jalanan itu merupakan jalan harapan. Setiap kali melintasi jalanan itu, harapan saya membuncah tak karuan. Setiap masuk di ujung jalan, saya selalu menepiskan harapan. Sudahlah, harapan hanyalah harapan, tak akan berkelebihan jika terlaksana sekali pun. Selalu demikian ucapan saya. Selalu juga, sepanjang jalan, harapan seolah menepis untuk disingkirkan. Hadir begitu saja, tanpa persetujuan. Sepanjang jalan, hati saya selalu risau. Tatapan saya tebar. Tak ada yang bisa mengalihkan perhatian saya sepanjang jalan itu. Di jalan itulah, saya acap berpapasan dengan dia. Dalam diam. Tanpa mata yang berbalas tatap. Tidak pernah lebih lama dari lima detik. Begitu sekejap. Rasanya tak lenyap hingga hinggap pada bulan. Tak selalu, hanya terjadi dalam hitungan ruas jari dari sekian banyak kesempatan. Hanya terjadi di jalan itu. Ketika terjadi, tak ada sesuatu yang berlebihan pun. Semua terasa begitu cukup. Singkat cukup. Diam cukup.