Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2013

Selamat Kalah

Kita berempat bertemu di suatu dangau Selepas perjuangan tak menang sengau  Masing-masing taruh senjata di meja Tak ada ancaman di muka Setiap bercerita perjuangan dengan malu-malu Tak pakai kucing Sudah habis ia kita terkam untuk dimakan bersama Saking laparnya Musnah sudah perikehewanan kita Dua di antara kita memilih untuk lapar saja Pasang raut muka sengit di antara dahaga yang mereja Hei, kita sama-sama baru kalah Kamu kalah perang Dia kalah suara Dia kalah cinta Dan, saya kalah cepat Jangan cari kekalahan lain di dangau ini Kembali ke cerita Kisah-kisah itu berbalas manggut Pun, itu bukan berarti manut Dalam hati tetap bersungut Punyaku jauh lebih kelut Tiba-tiba, dia lempar belut Kita bertiga kaget lompat-lompat Dia juga loncat Tapi, dia kegirangan Maka kita saling menatap Dan turut terbahak Ya, kita sudah lupa cara berguyon  Tapi dendam tak hilang kesumat Setelah lirik-lirik tajam Saling beranggapan kode tertangkap kode Senjata di tengah

Langit Rasa Penghujan, Hati Rasa Kemarau

Baiklah. Aku sudah siap mengatakan keterbataan—malam atau pagi atau kapan lah itu—dengan lantang kali ini. Jika kamu bertanya-tanya, maka jawabannya adalah iya. Segala pertanyaan yang ada dalam benakmu—yang sudah bisa kuterka—menyimpan jawab: iya. Itu semua benar. Kecuali satu. Satu saja. Pertanyaan yang pernah aku ajukan itu bukanlah paketan. Bukan serta-merta menjadikan aku dan kamu seperti ini. Tapi, sekarang, aku sudah salah tingkah. Aku begini, kamu anggap begitu. Aku begitu, kamu anggap begini. Kamu pun terlihat salah langkah. Padahal, kalau kamu mau tanya dan kemungkinan besar aku jawab iya, aku dan kamu bisa lebih santai daripada ada di pantai. Bukankah pantai itu lebih menyenangkan daripada riuh kota yang bisu? Banyak malam terisi dengan semu, bukan? Tunggu dulu, malam aku dan kamu juga tak kalah semu. Setidaknya, aku dan kamu sepakat untuk menyemukan malam dan bertingkah sebiasa mungkin untuk pertemuan berminggu-minggu setelahnya. Maka, jawabnya adalah iya. Tapi,

Masa Ini Masa' Itu?

Apa yang tak sirna oleh kala? Apa saja yang tetap lekang tanpa terpikir ‘tuk hengkang? Saya meragu menjawabnya. Tak akan ada jawab yang unggul walau sudah meratap. Padahal, ini sekadar pembenaran yang seringnya justru jauh dari kebenaran. Kita kerap melupa akan rasa yang lengkap. Hanya potongan-potongan momen yang membias. Dicoba dipanggil lagi rasa, tetapi terlepas. Kita justru cipta rasa baru dari potongan-potongan itu yang justru hanya berupa pembenaran. Penciptaan untuk membuat keadaan kini terasa lebih baik. Itulah ingatan saya. Hanya momen, tanpa rasa. Namun, saya tidak cukup puas. Penasaran muncul dan tak ambul-ambul. Satu-satunya kejujuran adalah saat itu sendiri. Dan, itu terselip dalam tulisan-tulisan saya yang lalu. Rasa saya sembunyikan serapi mungkin dan juga kadang sembarangan menonjol tanpa memihak. Perjalanan rasa ternyata begitu panjang. Terang saja, ini menahun. Kisah tentang rasa itu terserak. Berantakan di mana-mana dan saya dengan tekun memungutnya sat

Kalian, Sang Pengejar

Sepulangnya nanti, aku dan kalian akan menjadi individu-individu yang begitu berbeda. Aku menyimpan amarah yang luar biasa terhadap ketidakadilan yang membabi buta; atas perlakuan-perlakuan yang mengatasnamakan kedewasaan. Kedewasaan yang dielu-elukan banyak orang seakan berdiri dengan tegar untuk menerima segala. Pemakluman akan segala sesuatu meraja lela dengan semaunya tanpa mempertimbangkan rasa yang makin terasah. Ingatkah kalian akan malam-malam yang penuh dengan omongan yang jauh dari picisan? Kaum-kaum yang begitu haus dengan percakapan bernas dengan posisi yang sama rata sama rasa. Malam itu, kawan-kawan, tidak berarti kita sedang berbicara yang menyisihkan rasa dari hadapan kita. Kita sama-sama memendam rasa yang dikekang sedalam-dalamnya. Jika kita berteriak lantang menuntut keadilan yang justru awal mula dari ketidakadilan, kita sama saja tak pernah adil pada diri kita sendiri. Merelakan diri untuk berdiam menekan rasa atas nama kelangsungan wacana yang sungguh sul

Sedangnya Sudah atau Akan? Oh, Sedangnya Akan Sudah

Ini bukanlah awal dari akhir. Tak ada pula akhir dari awal. Kita adalah proses antara di antah-berantah. Segala yang pernah telah menjadi sudah. Semua yang akan tetap di angan-angan. Sedang adalah penjedaan. Memberi ruang untuk jarak yang memang sudah berjarak. Sedang juga sendiri yang juga sudah menjadi hari-hari. Segala ingat akan jadi lupa. Pun, lupa nanti akan terbersit dalam ingatan. Maka, sudahlah. Segala terang semakin silau. Seluruh gelap justru membuka selimut demi cari terang dalam ruang lain yang entah ada atau tidak. Seringnya, kita lebih percaya pada kekosongan daripada isi yang penuh dengan kehampaan. Tak ada layar penutup panggung, juga tak ada lagu akhir. Panggung dibiarkan demikian saja. Penonton yang masih menanti akan diam di tempatnya. Penonton lain lebih memilih keluar dan membicarakan akhir dengan semau mereka. Para pemain berdiam di belakang, masih menunggu aba-aba untuk keluar yang entah dari mana dan dari siapa dan entah bilamana. Sebagian lagi tak

Segala Luka

Saya begitu ingin meninggalkanmu tanpa kesanggupan. Bukan untuk luka, justru untuk ingatan baik-baik saja. Meskipun berkali-kali ada yang berbisik bahwa ini hanya akan jadi luka. Tapi, toh, segala luka akan baik-baik saja.

Hari Ini adalah Esoknya Kemarin

Perjalanan kali ini membuka mata saya lebih lebar lagi. Cara-cara hidup yang nyaris tidak pernah terlihat sebelumnya berserakan seperti makanan kucing. Saya melihatnya sebagai kerusakan yang tersistematis, tetapi mereka hanya memandangnya sebagai cara hidup sehari-hari. Bertahan hidup untuk hari ini, itulah yang mereka lakoni. Esok hari begitu nisbi, cenderung mitos bahkan, pun keyakinan itu terang terkoyak selama berpuluh tahun. Esok selalu hadir dengan mengubah diri menjadi hari ini. Esok selalu datang tanpa pernah berjanji. Namun, mereka hanya percaya janji. Bima, 10 November 2013

Jubah

Kamu tidak mungkin terjebak dalam lupa. Hanya pendaman yang menetap di dinding ingatan. Tak sulit untuk menemukannya lagi di antara lupa yang disengaja. Gemetar itu dan degap itu terasa betul jika dikeruk. Takut menubuhi, mengguncang segala indera yang padahal sudah di antah-berantah daripada waktu kelam itu. Kamu terlalu lelah untuk menyangkal yang sudah-sudah. Tumbuh dari gelap yang berjubah. Siapakah yang mengenalimu kini? Unuk meragu sambil merengek berani tetap saja tampil seadanya. Raja Ampat, 2 November 2013