Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2010

jatuh

bukan perhatian berlebih yang kami inginkan, itu hanya akan membuat kami merasa lemah bukan pula acuh yang kami nanti, itu pun hanya akan membuat kami merasa bukan siapa-siapa jangan tunggu pendengaran dari kami, tak ada yang harus kami sampaikan tak pelu dihitung sisa perjuangan kami, itu membuat kami lelah karena masih terlalu panjang kami hanya mau dirasa agar kami merasa tenteram tak perlu tenang karena biasanya hanya bualan mohon juga jangan nyaman karena kami akan kerasan kami belum sampai semua tidak harus berhenti di sini

juang

Dan di sini pun aku berjuang sendirian. Terlalu banyak yang kuanggap musuh di luar ini semua. Tiba-tiba semua memutuskan hubungan sebagai sahabat dan menyerang perlahan-lahan. Bukan berupa tusukan tajam yang rasanya langsung sakit, tapi hanya lecetan panjang di seluruh tubuhku. Terlalu perih dirasakan bahkan jika persentuhan dengan sehelai kapas pun. Hanya ada aku dan apa yang sedang kuperjuangkan.

angkuh

Ke mana lagi aku harus mengadu ketika semua menanggung pedih yang tak berkesudahan? Ke mana lagi aku harus beringkar ketika semua bahkan tak bertahu? Semua orang begitu merasa dewasa. Menjaga masalah dirinya yang dilipat rapi dan disakukan sehingga tak terlihat. Berlaga ada untuk orang lain dan menyampingkan apa yang bergelut dengan kasar pada otak yang menusuk-nusuknya hingga pusing bermalam-malam. Penjagaan ketat pada apa yang ada di sakunya itu hanyalah sebagai satu bukti nyata. Bukan bukti untuk orang lain, sama sekali tidak, meskipun itu yang selalu dikatakan berulang-ulang. Bukti itu untuk dirinya sendiri agar ia merasa bisa melewati segala sesuatu dengan baik-baik saja. Tanpa perlu orang lain. Tanpa perlu seperti cerita orang lain. Mereka sungguh tidak menginginkan untuk merangkak di tengah jalan raya, maka mereka simpan dalam saku itu. Tak ingin berpatah tulang karena telah dijatuhkan dari apa yang baik-baik saja pada awalnya. Tapi, sayangnya, tidak selamanya ia tergeletak diam

terkikis

Malam ini banyak mengajarkan. Ketika merasa dijadikan sebagai subjek, sesungguhnya bukan berarti seutuhnya menjadi subjek. Justru, tanpa sadar, mengobjekkan diri sendiri. Itu semua tanpa sadar. Semua utuh digerogoti perlahan-lahan. Terlalu kecil gigitannya hingga sama sekali sakit tak tersadar. Hingga satu hari, terbangun dalam keadaan setengah utuh. Bukan siapa-siapa. Bahkan, bukan apa-apa.

geram

Sepulang dari kantor, dalam perjalanan, kuperhatikan sekelompok anak berseragam putih abu-abu yang sedang duduk-duduk. Beragam sekali ekspresi mereka siang itu. Adikku, nanti, semua yang terjadi pada saat ini akan sangat berarti pada hari nanti. Ah, aku terlalu kedewasa-dewasaan. Sama saja dengan orang-orang yang belagak dewasa. Beri pesan ini-itu yang akan dijawab dengan pergi. Aku jadi ingat betul ekspresimu siang itu ketika kita masih sama-sama berputih abu-abu. Kau datang dengan geram. Tak pernah kulihat kau seperti itu. Peluh keluar dari dahimu. matamu begitu berbicara tentang kekejaman. Tanganmu terus mengepal menahan apa yang berusaha membludak dari dalam. Tak berapa lama, kau menghilang. Lama sekali. Sekembalinya kau, sungguh perubahan besar terjadi pada dirimu. Banyak bentuk yang menyenangkanmu kau tinggalkan. Tanggung jawabmu terkuak setiap saat. Sungguh, kami merasa aman berada di dekatmu. Pelindungmu begitu menghangatkan dan memanjakan kami. Ah, kau sungguh pecinta wanita.

sepuluh kain putih

Sepuluh lapis kain putih kau cari di setiap laci yang ada di kamarmu. Bahkan, baju-baju yang ad adi lemari atau bahkan sepreimu kau akalkan juga agar terkumpul genap sepuluh. Awalnya, kau hanya butuh lima, tetapi ternyata belum lengkap menutup. Kau cari dua lagi. Masih terlihat juga dari luar. Sampai akhirnya kau memerlukan sepuluh helai kain. Memang, sepuluh pun bukan berarti tak terlihat dari luar, tapi setidaknya segala bau busuk dan cairan hitam yang keluar sudah bisa tersingkirkan, meskipun tak sepenuhnya. Peluhmu melantai. Tenagamu habis terkuras. Belum saatnya berhenti di sini, pikirmu. Kau lari keluar. Jalan kaki menuju tempat kami berdua. Tak ingin naik transportasi umum agar tak banyak orang tahu. Tak juga kau jinjing di dalam tas, tapi kau taruh di kedua telapak tanganmu. Kau jaga betul karena tak mau kehilangan sebenarnya. Bersama peluh tak terhitung dan garis hitam pada bawah kelopakmu, kau sudurkan kepada kami. Tanpa kata-kata. Tanpa air mata. Senyum saja. "Apa

tas kamu

Gambar
Aku ingat betul dengan segala kebiasanmu, termasuk kamu dan tas kamu. Tas itu tak pernah kamu tinggalkan, selalu kau bawa ke mana-mana. Aku sadar betul sejak pertama kali kita bertemu. Tas itu sudah kumel sekali, tapi tanpa malu kau punggungkan. Aku selalu penasaran isi tasmu waktu itu. "Isinya senyum. Setiap orang yang melihatnya pasti tersenyum," jawabmu tanpa penolakan. Malam kesekian, tas itu kamu buka di hadapanmu. Aku ingat betul malam itu. Kamu banyak cerita tentang mantanmu. Panjang sekali ceritanya dan bara itu masih menyala pada semangatmu. Banyak kisah lucu yang kau ceritakan dengan senyum, seolah mengajak pendengar ikut tersenyum. Itulah kebiasaanmu lainnya. Selalu bersemangat ketika menceritakan mantanmu. Tapi, aku lupa apa isi tasmu. Aku rasa aku sama sekali tidak melihatnya. Kebiasan lainnya adalah menyiapkan pernak-pernik untuk dipakai di tasmu itu. Kadang, kau ikat pita. Lain waktu lagi, kau taruh pin. Beberapa kali pula kau tanya aksesoris yang bagus untuk d

sayap

Tahan sebentar luapan amarah itu, salurkan saja pada rintik hujan yang tak mereda sedari lalu. Lambatkan langkah untuk berlari di tengah kegersangan yang menyendiri. Bukan maksudku untuk melenyap di antara ketiadaan seharimu. Aku sedang berkutik dalam ruang gelap tak beralamat. Sibuk meramu berbagai bahan kimia yang dibagi-bagi dalam tabung-tabung. Pada saatnya nanti, kubawakan satu tabung untukmu. Ramuan itu dapat menumbuhkan sayap yang bisa membawa terbang. Terbangan itu dapat terlalu tinggi dan terlalu jauh sehingga dapat melenyapkan dalam sekejap. Sabar sebentar, aku akan datang. Berikut sayap pesanan.

basah

tak ada lagi kekeringan di negeri ini semua berkebasahan segala cara dilakukan untuk menjadikan lahan basah tak segan-segan mereka berceloteh dengan nada bangga bahasa tinggi yang dielu-elukan atas nama perlindungan namun, kami tak merekah layaknya binatang yang mengeluarkan durinya untuk berlindung nasionalisme kami dijaga ketat takut ada celah untuk menguapkannya mereka hanya butuh hujan berkepanjangan untuk membelokkan kami pada kepentingan praktis teoritis terlalu mengelana konon semua embun sudah berjuta kali mendengar rintih selalu setia hadir untuk mendengarkan kembali rela menghilang demi memulai perjuangan

pembuka pintu

Dulu, ketika belum banyak perubahan yang terjadi, perempuan itu suka berdiam diri di kamar depan. Kadang ia menonton film atau mendengarkan musik dengan volume kecil atau membaca tanpa suara apa pun. Ia menantikan adanya suara pintu depan yang begerak. Ketika suara itu terdengar, biasanya ia tersenyum simpul. Kemudian, keluar untuk membukakan pintu dan pindah ke kamar belakang bersama si pembuka pintu tadi. Diceritakannya kisah tak penting hari itu sampai terlalu lelah untuk pindah kamar. Atau, dipilihnya film yang sama sekali bukan seleranya. Menontonlah mereka film si pembuka pintu sampai terlelap. Sekali-kali, ketika kantuk sudah tak tertahan, tersadar betul selimutnya dibenarkan untuk melindunginya dari dingin dan sengatan nyamuk. Pembuka pintu pun selalu menunggunya tertidur pulas untuk menelepon pacarnya tengah malam di luar setelah mematikan lampu kamar belakang. Ketika pagi datang, biasanya mereka masih berada di satu kasur yang sama. Sekarang, sudah banyak perubahan terjadi. F

abu rokok

Saya terburu-buru membuang puntung dan abus rokok yang sudah menggunung di dalam asbak. Itu pun kulakukan diam-diam. Tak ada seorang pun yang boleh melihatnya. Bukan karena ada yang melarang dan aku takut ketahuan, hanya saja aku tak mau ada yang tahu. Ikut kubuang pula rasa bersalah yang terlihat kotor dan akan menyakitkan nantinya. Itu semua semata-mata aku tak mau lagi diingatkan akan rasa bersalah mengotori paru-paru. Apakah pada dasarnya orang selalu membuang rasa bersalahnya untuk tak terlihat lagi oleh dirinya sendiri? Untuk kemudian bisa melakukan lagi. Bukan sama sekali tanpa rasa bersalah, hanya mengurangi rasa cemas. Walaupun begitu, pada akhir nanti, bukan berarti sesal tak pernah datang. Napasku hanya sebentar. Biarlah aku terkejar oleh waktu yang menyempit untuk melakukan banyak.

35 tahun

Hari ini Ibu saya meminta pulang; memohon saya untuk membatalkan jadwal mengajar saya sore ini. Saya pun begitu ketakutan akan berita yang nantinya diterima. Tak mau sendiri, saya hubungi kakak-kakak saya yang lain. Kemacetan dan kederasan hujan saya terabas. Sesampainya di rumah, formasi sudah lengkap, tentu saja kecuali kakak saya yang pertama karena terlalu dan selalu sibuk. Ibu saya menjelaskan cerita pagi tadi kepada kami. Hari ini adalah hari di penghujung Mei. Artinya, hari terakhir ayah berada dalam jabatan struktural di kantornya. Sudah selama 35 tahun, ayah selalu pulang pergi ke kantor yang sama di tempat yang sama pula. Tentu saja, dari bukan apa-apa sampai menjadi apa-apa. Hari ini pula, saya belajar untuk menjadi apa-apa. Ibu pun memutar di hadapan kami sebuah video yang dibuat oleh rekan kerja dan anak bimbingan ayah saya di kantor. Begitu detil video itu. Semua diawali oleh kantor ayah saya di bilangan Gatot Subroto yang hampir tak berubah bentuknya sejak saya pertama k