Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2006

rasa apa

ternyata si rasa masih ada di situ sudah lama aku tidak menyadari keberadaannya atau mungkin ketika itu aku memang sedang tidak mau melihatnya ia tidak lelah menunggu di sudut sana apakah? ataukah jera menemaninya atau malah sudah mulai gerah dengan udara pojok maka ia menampilkan dirinya mencoba memperkenalkannya kembali ah, sudah lama tak kulihat ia samakah? berubahkah? ataukah sisa memar sebelumnya masih terlihat? hahaha,,, kadang ia dengarkan juga omongan orang pilihan berani mulai melintas di kepalanya maka ia kembali berdiri menawarkan diri dengan senyumnya yang tulus semoga (ketika malam merindukan)

what is GOD for you?

"gue mau gak beribadah aja ah kayak lo-lo pada" Kalimat yang sedikit sensitif ini terucap dari seorang teman yang--kalau kata orang banyak--sangat beriman. Kalimat tersebut terucap karena cobaan berat yang diterimanya. Kata ia ataupun banyak orang, orang yang sangat dicintai Tuhan akan mendapat cobaan lebih banyak. Sebagian besar masyarakat menganggap Tuhan adalah Yang Maha Baik-baik. Semua sifat yang baik akan dikategorikan sebagai sifat Tuhan. Apakah adil masih tercantum di dalamnya? Sepengetahuan saya, adil masih termasuk dalam kata yang maknanya positif. Jadi, Tuhan yang Maha Adil. Pernyataan tersebut berkontradiksi dengan pernyataan sebelumnya, yaitu Tuhan memberikan cobaan yang lebih banyak bagi umatnya yang "lebih dicintai-Nya" ataupun yang "lebih mencintai-Nya". Saya tidak menyalahkan kalimat pertama di atas. Menurut saya, kalimat tersebut hanyalah ungkapan dari bentuk pertahanan manusia (self-deffense mecanism). Sebagian manusia berdoa, bersyuku

kressekian

Aku masih tertunduk menanti hari dan hari dan hari. Aku masih menjalani padang pasir kering untuk mencari oasis yang dapat melegakan dahaga ini. Aku tahu tubuh ini kurang cairan. Sudah beberapa lamanya tidak ada cairan yang masuk. Tenagaku sudah berkurang banyak untuk menyakinkan diri bahwa aku masih mampu terus berjalan dan berjalan dan berjalan. Apakah aku masih punya sekian banyak tenaga lagi? Dan aku masih tertunduk ketika menyadari harum air yang kucari. Ah, cipratannya sudah mulai merintik bahkan lebih kecil daripada rintikan hujan. Kesegaran melintas. Apakah aku benar sudah dekat dengan oasis? Ataukah ini hanya galonan air minum milik perantau lain? Aku membimbang dan mengharap dan menunggu. *** Tak jua kutemukan alasan yang membuatku merasa apa yang kurasa. Batasnya semakin menyaru antara objek dan subjek sehingga sulit untuk menganalisa. Aku hanya ingin ada di situ walau tanpa jawaban atas esok. Ka

stasiun akhir adam dan hawa

Kasih, sudahkah kau bercinta hari ini? Cintaku baru saja datang. Wajahmu tampak lelah, Dewi. Aku tidak pernah lelah bercinta, kasih. Hari ini sudah jutaan kali aku bercinta. Dengan siapa? Tidak perlu dengan siapa-siapa. Apa maksudmu datang ke sini? Untuk menggores segaris luka pada hati ini? Mengapa kau rusak emosi dan aura percintaan kita, Kasih? Aku? … Tidakkah kau lihat peluhku ini? Ini sudah tetesan kesekian. Aku lihat. Bahkan aku mau merasakannya nanti ketika tubuh kita bercinta. Ini peluh penantian percintaan itu tapi entah apa rasamu hingga tak menunggu untuk merasakannya bersamaku. Jiwaku selalu di sini menanti percintaan yang tak pernah redup itu. Tapi kau telah bercinta jutaan kali sebelumnya. Bagaimana rasanya? Indah. Tidak ada yang lebih indah aku rasa. Hebat. Aku kagum dengan apa yang kau ucapkan. Aku serasa butiran debu saja di sini. Kasih, mengapa kau begitu sinis petang ini? Wanita, malam masih terlalu panjang. Hentikan malam ini dengan membisikkan teman bermain percint

just go out from my room, damn it!!!

Entah ini sudah yang keberapa kali. Aku terbangun. Kulempar pandangan ke sekeliling mencari sosok manusia lain yang kukenal. Kakakku masih tertidur tepat di sebelahku. Aku lihat handphone. Tidak ada message. Tidak ada missed called. Aku lihat jam digital di layer handphone. 02.16 am. Ah, mengapa matahari masih terlalu lama memunculkan dirinya? Aku tersentak dan terduduk di tempat tidur kakakku. Panik. Mencari sosok manusia lain yang kukenal. Untung saja, masih kudengar dengkuran kakakku. Aku berbaring kembali. Mencari bantal dan menaruhnya di atas kepalaku. Berharap aku segera memasuki dunia lain. Mata terpejam tapi pikiran tak pernah bisa diam. Aku cari handphone. Tidak ada message. Tidak ada missed call. Namun, waktu telah mengubah jam digital menjadi 02.59 am. Bukan message yang kunanti. Bukan telepon yang kunanti. Aku hanya menanti kenikmatan memejamkan mata dan memeramkan pikiran. Tidur nyenyak. Aku terbangun. Aku mendengar suara keletak-keletok. Tanganku mengepal kuat. Kurasakan

gloomy

detik berandai detik berharap detik menanti detik terus berjalan Awan gelap bergerak perlahan menutupi matahari yang sedang bekerja. Entah matahari yang kelelahan atau awan gelap itu yang sudah muak untuk bersembunyi. Kebetulan angin yang mengantar mereka. Mulanya angin sepoi-sepoi tapi tampaknya mereka sudah tidak sabar sampai akhirnya angin bertiup lebih kencang. Tiupannya menggoyangkan daun-daun di pohon itu seolah menyampaikan kabar kedatangan awan gelap tersebut. Mungkin goyangan itu sebagai salah satu penyambutan mereka atau malah cara mereka berontak. Namun, pohon ranting tanpa daun itu masih tegak dan keras kepala. Yang jelas, aku masih duduk di sini. Entah dengan siapa aku duduk di situ. Cukup memperhatikan helai demi helai daun yang tak rela jatuh dari pohonnya. Daun-daun itu hanya tidak sadar bahwa ada orang yang sedang menikmati jatuhnya mereka. Pikiranku terhenti. Aku hanya bisa menikmati suasana suram yang dikepit mendung. Angin menjadi lebih sejuk. Dinginnya menusuk tapi

sekarat

AAAAAAAaaahhhhhhhhhhhhhhhhhh……………………. Aku pengen memaki namun entah apa yang dimaki. Aku ingin berteriak namun entah mau berteriak dimana atau apa yang mau aku teriakkan. Aku hanya tahu aku muak. Muak. Muak dengan semuanya. Mungkin aku hanya muak pada diriku sendiri tapi enggan untuk menyalahkan diri. Jadi, aku merasa semua orang ikut berperan serta untuk membuatku semakin muak. Semua salah. Semua tidak pada waktu dan tempatnya. Aku di bawah kontrol diriku. Pikiranku masih sempat bekerja sedikit dan sesaat. Ia juga sudah berada di bawah kontrol emosiku. Tidak seharusnya aku menuntut terlalu banyak pada dunia ini. Aku tahu tapi masih saja kulakukan walau kadang itu hanya keinginan semata. Hanya bentuk ketidaksetujuanku pada saat ini. Biasanya aku hidup di dalamnya bahkan bangga di dalamnya. Aku mulai menyalahkan orang-orang di sekitar. Mereka tidak mengubah sikap dan perlakuan mereka terhadapku tapi mereka tetap masih salah di mataku. Aku tahu akan hal itu tapi emosiku saja yang sedang