Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2013

Pelancong #1

Apakah saya sudah pernah bilang bahwa saya ini bukan pelancong? Pun demikian, saya suka saja menjadikan tempat saya sebagai tempat kediaman para pelancong. Mereka bisa beristirahat, bahkan bermalam, setelah perjalanan jauh. Kemudian, mereka dapat melanjutkan perjalanan jauh lainnya.  Namanya juga pelancong; seringnya tak menetap lama. Pun lama, pada akhirnya, mereka akan pergi juga. Memang, kepergian mereka tak selalu akan beperjalanan lagi. Ada juga pelancong yang memutuskan pulang setelah mampir di pondok saya. Setidaknya, mereka sempat menceritakan perjalanannya kepada saya. Ketika berada di tempat saya, sebagian pelancong hanya duduk di beranda, minum teh panas dan berkisah sedikit. Tak sempat bermalam, di tengah percakapan, mereka berhasil menemukan tempat lain yang lebih nyaman untuk menghabiskan waktu lebih lama. Biasanya, mereka hanya singgah untuk menunggu ajakan atau jawaban dari teman lama atau teman baru yang rawan penolakan. Selain itu, ada pula pula yang berla

Bangun Tidur

Gambar
Bangun tidur merupakan saat penting yang—setidaknya bagi saya—bisa menentukan rasa selama sehari penuh. Butuh waktu yang bisa begitu kilat dan juga bisa terlampau lama untuk beranjak beraktivitas dari bangun tidur. Bagi sebagian orang, bangun tidur tidak semudah itu, pun tak sesebentar itu. Perhatian lebih dalam fase bangun tidur ini menggetarkan saya untuk memperdalam beberapa fase bangun tidur. Berikut laporan asal-asalannya tentang enam fase yang terjadi mulai dari bangun tidur sampai benar-benar bangun. Pertama . Bangun dan tidur lagi. Apa yang lebih enak daripada bangun tidur dan tahu masih ada waktu untuk tidur lagi? Bagi sebagian orang, termasuk saya, alarm diatur sampai bunyi dua kali. Alarm pertama adalah petanda untuk bangun dan mengingatkan diri bahwa masih ada kesempatan untuk tidur lagi. Alarm macam itulah yang terjadi pada fase ini. Pada malam setelah kekacauan akibat ketidaksadaran, ini adalah fase paling menentukan. Biasanya, akan ada kekhawatiran-kekhawatiran

Penawar

Tanganmu menggeliat ke atas Tendanganmu melunta-lunta Kembang kepis terlihat di dada Dalam perkenalan yang tak pernah terjadi Peduliku ini luar biasa Aku mau melakukan banyak hal Tanpa ingin apa-apa Selama kamu bisa melangsungkan apa-apa Terimalah kami segala manusia dewasa jumawa Ketaksanggupan ini bukan ukuran atas apa pun Semua yakin atas rasa kepadamu Terlalu bersungguh-sungguh Hingga tak mungkin terelakkan Sepulangnya dari pertemuan denganmu yang begitu sembunyi-sembunyi Aku hanya perlu tenang yang tahan lama Tak ada penawar malam ini Aku akan diam-diam menawarkanmu Selamat berhangat, kekuatan

Surat Samudra #6

Kepada Samudra, kamu ada tanpa hadir. Di tengah teriknya matahari, saya berkumpul di suatu balai di Desa Tenganan. Ada Pak Mangku duduk di depan. Tepat ketika ia dan yang lain menjelaskan filosofi desa bahwa semua sebaiknya seimbang dari empat penjuru mata angin, saya melihatmu pada sorot matanya. Ketenangan.  Saking tahu dan peduli, ia seakan bergeming. Orang melihatnya sebagai ketakpedulian akan arus. Saya melihatnya sepertimu: penerimaan. Bahkan, lebih jauh, pemahaman sekaligus pemakluman. Tutur katanya begitu kharismatik. Apalagi, ia juga mengatakan bahwa sumbernya di tengah. Tengah pun tak perlu begitu literal. Perputaran yang terus-menerus pun menjadikan tengah sebagai sumbu, poros. Inikah kenaifan saya? Merasa berputar-putar dan ingin keluar, padahal perputaran itu justru cara saya menjadikan tengah sebagai sumbu. Samudra, sungguh kamu bisa hadir melalui cara apa pun. Teduh mata orang lain. Tutur kata orang lain. Saya merasa bertemu denganmu siang ini, menjawab rin

Dalam Entah, Kami Berejawantah

Ia datang tanpa mengaku-aku. Justru, merekalah yang mengaku begitu dekat, berebut mengenalnya. Kami melipir dan melebur menjadi Aku. Mereka bilang Ia adalah cahaya. Sementara itu, dekat ini begitu terasa dalam gelap tanpa gemerlap. Ucap mereka, Ia adalah suara yang kadang berbuah bisikan. Sepi merajalela dalam akrab yang tak kunjung reda. Apakah Ia adalah lihat? Pejaman ini membuat Aku—yang tadinya kami—terasa semakin kerasan berdiam dalam cakap mendalam. Tengoklah, kata seseorang, Ia menjelma tenang. Kupernah bergetiran bersama dalam intim yang tak tertepi. Aku ada tanpa mengaku. Tersudut tanpa merasa terpojok. Berdiam bukan untuk bertahan, hanya menyerap segala yang ada. Perjalanan Aku—yang merupakan perubahan dari kami—berejewantah menjadi entah. Dalam entah, kami menyesap menjadi Aku.

Batal #2

Seorang kurir datang menghampiri meja si penanya dan memberikan sepucuk surat. Tertulis, “Hari ini, kencannya batal saja, ya.”

Batal #1

Perempuan itu merapikan segala yang ada di meja. Asal saja semua dimasukkan. Sesekali melirik jarum detik yang tak pernah berhenti, apalagi menunggunya. Gerakannya mengajak suara gaduh. Seseorang di sebelahnya teralihkan dari apa yang ada di hadapannya. Menolehkan kepalanya ke samping sembari mencari tahu keributan apa yang terjadi di meja sebelah. “Belum berangkat juga?” tanyanya sopan menutupi pertanyaan lain yang lebih penting dari makna sebenarnya, seperti “Kapan pergi sehingga di sini tidak gaduh?”. “Sudah aku batalkan,” jawab perempuan itu tanpa senyum dan tanpa menatap. “Memangnya, perasaan bisa dibatalkan?” tanggapan si penanya. Perempuan itu menghentikan segala aktivitasnya. Dalam ketertegunan, ia mendamba peluk yang menenangkan. Semua orang di ruangan yang sama tetap melanjutkan aktivitasnya. Setidaknya, gaduh sudah tak berkumandang lagi.