Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Saya, Nails, Kotak-kotak, dan Putih

Baju Nails, jeans usang, dan sepatu vans lusuh. Rambutnya digulung ke atas. Perempuan itu duduk bersama seorang temannya di meja ini yang kebetulan adalah suami saya. Suami saya pakai kemeja kotak-kotak, sepatu kets Nike, dan juga pakai topi dibalik. Saya bisa ada di satu meja dengan Mbak ini karena teman laki-lakinya —yang juga suami saya —   mengajak saya. Ajakan ini semudah dia lupa janjian dengan teman baiknya, tetapi terlanjur bikin janji dengan saya. Padahal, saya sudah memohon-mohon waktunya supaya bisa bicara panjang-lebar macam zaman pacaran dulu. Pernikahan memang tidak semulus ijab kabul. Alhasil, bersatulah kami. Tingkat kelupaan teman laki-lakinya memang melambung tinggi. Bukan hanya janji di antara kami berdua yang bentrok, ada juga satu janji bersama teman laki-lakinya yang lain—yang teman dekat saya juga. Temannya semasa sekolah itu datang menyusul. Untuk yang satu ini, kami sering pergi bertiga, tapi kali ini saya perlu waktu berdua dengan suami saya. Ketika saya

Bolehkah Anda Pergi Tanpa Pernah Kembali dengan Rasa Takut yang Sama?

Merinding. Selanjutnya, tubuhku bergetar. Diikuti air mata. Aku memaksa untuk terus membaca tulisan di hadapan. Menyelesaikan apa yang sudah kumulai. Melawan reaksi tubuh yang tidak tertahan. Memperjuangkan apa yang aku sebut dengan kenyataan. Setiap kata yang kubaca terbayang kembali seakan nyata di hadapan. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Memastikan ada orang yang kukenal di sekitarku. Nihil. Bayangan kakak dan ayah hanya ada dalam tulisan, tidak dalam kenyataan. Gelagapan. Rokok terakhir aku ambil demi menenangkan. Semoga bisa demikian. Semakin kacau ketika tersadar tanganku bergetar tiada henti dan kesulitan menyalakan korek api. Ini kesalahan yang tidak semestinya. Ini tidak masuk akal. Semuanya seharusnya sudah berakhir. Aku mengambil jarak dengan tulisan itu: mendorong kursi satu meter ke belakang, menatap atap-atap. Merelakan aku menangis seperti anak kecil, persis seperti 10 tahun lalu. Aku mulai membiarkan tubuh dan pikiran menanggapinya tanpa disaring dengan akal

Bapak Mau Jalan-jalan

Kanal menelusuri kota dengan memanjang, entah di mana ujungnya. Mungkin juga kanal itu tanpa puan maupun tuan. Pada satu perempatan di Den Haag, ada satu jembatan di atas kanal yang bisa dilalui segala kendaraan, juga pejalan kaki. Sore yang menggelap, begitulah musim dingin menandai, angin berlalu. Bukan lagi bersemilir, tetapi berhamburan memaksa pesepeda mengayuh sepedanya dengan lebih kuat, apalagi pejalan kaki. Ketika melintasinya, saya melihat tiga bapak-bapak yang berhenti di jembatan. Dua dari tiga mengambil gambar. Seorang di antaranya saya kenal betul, dia adalah adik dari Bapak saya. Saya membatin, “Sedang apa dia di sini?” Ternyata, Bapak ada di situ juga dengan pakaian hangat yang melilit. Wajahnya, juga tubuhnya, mendekap sendirian, seperti terakhir kali dia menginjakkan kakinya di Den Haag. Kedinginan. “Bapak, sedang apa di sini? Ini dingin sekali,” setelah saya menghampirinya. “Jalan-jalan saja,” masih dengan gayanya yang seolah tak mau diperhatikan. “Ibu t