Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2015

perkemahan

orangtuaku tinggal di kemah dengan paku tenda yang rentan juga atap yang siap mengucurkan air kala hujan ibu sibuk memanaskan tungku dari kayu bakar yang selalu padam bagaimana dengan ayah? terduduk diam di ambang kemah nyaris kalah dengan keadaan kakakku menyiapkan barisan mengambil tas tanpa isi mencium tangan kedua orangtuaku sambil bilang, "aku berangkat dulu ke kota mencari apa yang bisa dicari" beda pula dengan satunya datang dari belantara hutan membawa satu kaleng bekas berkarat "bu, ini lumayan untuk minum nanti" diletakkannya kaleng itu di bawah tenda yang bocor satunya menghampiriku yang sibuk menggali lubang entah buat kotoran atau jenazah keduanya sama saja, sama-sama belum ada dia mengangkat bahu ketika saya tanya, "mas, apakah ini lebih baik daripada kematian?" Den Haag, 22 September 2015

Memanusiakan Manusia

Objektif. Itulah yang sering orang gadang-gadang sebagai modal utama dalam hal berargumentasi atau sekadar memberikan penilaian. Pertanyaannya adalah seberapa bisa kita untuk menjadi objektif? Lebih penting lagi, seberapa penting kita untuk menjadi objektif? Jangan-jangan, objektif hanyalah penyangkalan terhadap diri sendiri. Pertanyaannya adalah siapakah yang dikeluarkan dalam bingkai objektivitas? Tentu, diri sendiri. Seakan-akan subjektif menjadi begitu keji. Bukankah dalam nyaris semua hal, pengalaman, pandangan, juga kepercayaan diri sendiri mempunyai pengaruh signifikan dalam berargumentasi, menilai, juga bahkan berkarya? Subjektivitas sudah digarap sebagai metode utama, apalagi di kalangan feminis, postdevelopmentalist, juga seniman. Subjektivitas mungkin persoalan memanusiakan manusia kalau bisa disederhanakan secara asal-asalan. Bukan hanya memanusiakan pelaku yang punya emosi dan pengalaman masing-masing sebagai sebut saja pendebat, peneliti, atau seniman, tapi juga

“Apalah relasi antara ruang dan makna?”

Saya belum muak bicara tentang ruang. Lupakan sejenak tentang jarak yang mencelahkannya. Namun, pertanyaan semacam itu bukan yang sekali atau dua kali terlontar, bahkan dalam diri saya sendiri kadang. Coba, kalau Anda sedang punya keinginan untuk buang-buang waktu dan tahan dengan kebosanan, Anda boleh menemani saya dalam ruang ini untuk bercerita. Sebelum berlanjut, ini bukan cerita menyenangkan melulu. Saya punya pengalaman terhadap berbagai ruang, mungkin Anda juga. Nyatanya, tidak perlu menjadi orang yang asyik atau menarik untuk bisa berada di beragam ruang. Ini tentang salah satu ruang selama 6 tahun, termasuk satu tahun tidak berada di ruang itu. Jadi, apakah ruang selalu sesuatu yang bisa dilihat? Atau, selama bisa membayangkan dan merasakan ruang yang sama, itu masih bisa disebut ruang? Apalah relasi antara ruang dan makna. Pesimis. Itu mungkin awal mula kehadiran di ruang itu. Banyak hal saya percaya tidak akan terjadi, bahkan tidak melihat ada kemungkinan untuk

Pejuang #1

Mas, apakah kamu pernah menilai segala apa yang kau lakukan merupakan bagian dari perjuangan? Banyak orang tahu, juga istrimu yang tak lagi lugu, bahwa kamu menolak segala bentuk perlakuan yang tidak memanusiakan manusia, bahkan jika itu tidak terjadi kepada dirimu. Tapi, apakah benar setiap bangun pagi, kau akan berkata: "Hari ini, aku akan berjuang!" Saya melihat guratan urat di lehermu ketika kau berteriak lantang. Kamu seperti orang marah, Mas. Atau, kau mungkin memang sangat marah. Kemarahan itu membuatmu mengakrabi segala tantangan. Tak ada yang jadi penghadang. Tapi, mereka juga tak segan untuk membuatmu hilang. Inginkah kau melepas keluarga dengan ucapan selamat tinggal yang layak, Mas? Kata-kata yang memang disadari akan diberikan untuk terakhir kalinya, bukan sekadar perpisahan ala Jakarta-Den Haag. Tidak diragukan bahwa apa yang kau lakukan memang diperlukan. Tapi, apakah itu perjuangan, Mas, sejak semula? Atau, itu menjadi perjuangan ketika baramu tak mati-m