Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2014

Dari Abu Menjadi Abu

Biarkan saya menjadi abu Ada setelah pembakaran Proses berkepanjangan Ditinggal sesudah keakraban Tak apa saya jadi abu Diam-diam jadi kawan Ramai-ramai selalu ditentang Setidaknya kesendirian menjadi mitos Dengan bungkus baik-baik saja Penuh pesona atas nama kemandirian Kenapa kita tak jadi abu? Menjadi puing-puing yang mudah dilupakan Pun begitu berarti dalam ingatan

Ini Jembutku, Mana Jembutmu?

Okeh, ini tentang jembut. Apakah Anda pernah lihat jembut? Jembut sendiri tentu saja pernah lihat, pun ada juga beberapa orang yang memilih dengan penuh kesadaran untuk tidak melihat jembutnya sendiri. Bagaimana dengan jembut orang lain? Saya sudah bosan dengan misuh-misuh orang tentang penampilan, gaya bicara, bahkan pola pikir—pun ini hanya segelintir. Tapi, tidak ada satu pun yang datang dengan menjadikan jembut sebagai topik. Kebanyakan mereka bicara tentang sesuatu yang ada di luar, berkoar-koar tentang banyak hal yang tidak bikin gentar. Kemudian, apa? Wacana besar selalu diumbar seolah menjadikan mereka yang paling benar. Apa iya dalam kehidupan sehari-hari mereka sudah bertingkah baik? Baik pun belum tentu benar, setidaknya itu yang dikatakan Pram dan saya percaya betul. Apa dengan ngegerundel tentang hal-hal kecil yang dianggap sebagai indikasi sesuatu yang besar dan dipandang dengan begitu serius kemudian menciptakan suatu ke

Oleh-oleh dari Rumah Seni Cemeti

Gambar
Laki-laki setinggi kurang lebih satu meter. Bertelanjang dada dan juga kakinya, bercelana pendek, dan tak ada bulu di sekujur tubuhnya—entah di dalam celananya. Itu membuatnya ia terlihat seperti anak-anak. Di punggungnya, terpikul layaknya tas ransel berupa sangkar burung. Dipenuhi dengan burung-burung, mungkin merpati, berwarna putih. Burung-burung yang ada di bawah sangkar tergeletak, mati. Beberapa burung yang masih hidup bertengger di jeruji sangkar. Beberapa burung sejenis juga ada yang bertengger di atas sangkar. Oh iya, apakah saya sudah menyebutkan kepalanya juga mengenakan topeng kepala burung berwarna hijau? Saya melihatnya di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta. Terusik selama beberapa malam ke depannya, saya memutuskan kembali lagi untuk melihat ulang. Entah buat apa. Saya hampiri dan melihat dari jarak yang sangat dekat. Kemudian, bertanya dengan berbisik-bisik, takut si anak laki-laki berkepala burung itu mendengar, “Ini karya siapa?” Saya ini tak a

tukar-tukar

mari kita pulang malam ini biar aku bisa jadi dia dia bisa jadi kamu dan kamu bisa jadi aku kenapa kita tak pulang saja malam ini? menggenggam segala kekalahan yang sudah terlanjur menenteng kemenangan yang nyaris tak berarti memikul harapan yang bahkan entah untuk apa akrab ini bukan sesering-seringnya intim ini juga begitu jarang  diadu-adu dalam pertemuan tapi, kita tak jua bisa berkelak sampai bisa saling bertukar hingga serupa  dalam berbeda

kesementaraan

akhirnya, aku tahu apa yang membuat kita bertahan kita punya persamaan satu-satunya di antara sekian perbedaan sama-sama jatuh cinta mengambilnya dari kumpulannya membakarnya dengan menyulutnya kemudian, menghembuskannya untuk menghilang kita sama-sama jatuh cinta dengan kesementaraan kekekalan hanyalah kebohongan makanya, waktu kita habis dengan berbatang-batang abu-abu menumpuk tanpa menunjukkan keusangan kita jatuh cinta pada rokok karena kita akrab dengan kesementaraan bisa jadi, kesementaraanlah yang mengakrabkan kita

Do You Think You Can Help Me?

berminggu-minggu tak muncul kabarnya malam itu, ia hadir dalam bentuk teks “aku butuh terang” alasan dan tujuan tak kutanyakan kami sering menyesal dengan pertanyaan “kapan bisa bertemu?” aku jawab tanpa peduli baris sebelumnya “nanti malam, setelah semua lelap” semalaman tanpa suntuk, kami berjalan dalam perjalanan, diam-diam, aku cari terang malam itu tidak ada yang jarang semua seperti sering  gelap melanda dan harapan menetes jatuh “besok bisa jumpa pagi?” dia menggeleng “siang?” tak ada jawaban, aku anggap tidak “cari senja?” “aku ada urusan” pilihan kami hanya malam bermalam-malam kami bersua tak ditemukan pula yang ia butuhkan bagaimana cari terang dalam gelap? padahal, kebalikannya bisa begitu mudah tinggal memejamkan mata malam selanjutnya, aku menolak tak mungkin ada terang malam-malam sudah kami cari sampai hampir ujung kota berminggu-minggu tak muncul kabarnya malam ini, ia hadir dalam bentu