Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2006

Sayang, Bodoh

“Terus…?” “Ya udah.” “Masa gitu doang?” “Ya emang cuman gitu. Emang kamu maunya gimana?” “Enggak tauk." "Yakin gitu doang?” Lelaki itu diam tapi menatap dengan tatapan yang lekat. Tatapan yang penuh dengan pertanyaan yang tak perlu jawaban. Selalu. Ini selalu terjadi. Apa yang kulakukan selalu terasa patut dipertanyakan. Cerita yang tidak ditambal oleh kebohongan pun masih dipertanyakan. Kadang, aku ingin saja bercerita. Cerita yang kukarang atau kukutip dari salah satu cerita. Aku yakin. Cerita itu juga akan berhenti dipertanyakan bila kututup dengan tatapan seperti ini. *** Sayang, malam ini kamu di mana? Apakah kau masih di atas sana ? Duduk di singgasana duka di atas sana . Berdiam diri di sana dan menunggu aku nikmati dari bawah sini. Kemudian, kita hanya perlu sama-sama duduk. Kamu di sana . Aku di sini. Kata-kata membisu namun pikiran kita sedang b
Serpihan-serpihan Tidak kutemukan setetes air di lautan lepas Tidak kurasakan rintikan hujan ketika hujan menderas Tidak kulihat sejumput rumput pada luasnya padang rumput Tidak kuraba jengah di tengah jenuh Pantangku untuk mengiba. Bisa saja kulihat wajah yang lain dan kujiplak pada wajahku. Mereka kira panca inderaku masih berfungsi dengan adanya. Harus akui, kadang mereka lebih menyukai kepura-puraan. Hanya melihat apa yang mau mereka lihat. Hanya merasa apa yang ingin dirasa. Kalau begitu, mau mempunyai keinginan terbesar. Aku terlalu kerasan tinggal di dunia kepura-puraan ini Hingga tak bisa kutemukan diriku lagi Diri ini sudah usang dan berdebu, terduduk di pojok gudang Apakah mau juga yang bertanggung jawab? Atau mungkin memang tak ada pilihan lain lagi? Tak jua kutemukan sosok prajurit pantang menyerah sampai titik penghabisan Tak lelah bertanya walau banyak yang belum terjawab Tak butuh tameng, hanya keberanian menhadapi kenyataan yang bertu

Teras Depan

Dua kursi rotan yang dicat putih dihalangi oleh satu meja kecil dengan asbak yang penuh dengan puntung rokok dan gelas-gelas sisa minum. Aku duduk di bangku yang lebih dekat dengan pintu keluar. Kepala ini terlalu berat untuk menopang tanpa bantuan dinding dan kepala kursi bahkan tanganku pun masih harus ikut serta menopangnya. Isinya kosong. Mungkin justru kekosongan adalah hal yang paling berat untuk kepala ini. Pria tinggi dengan baju corak barong Bali itu mengistirahatkan tubuhnya pada kursi satu lagi. Aku hanya melirik sekilas. Peduliku jauh dari sosok yang terduduk itu. Diamku pun tak mampu lagi diam hingga ia berteriak, “Aduuuuuuuuuuhhh!!!!” dan diakhiri dengan helaan napas tanpa maksud mengiba. Teriakan si diam mendapat respon yang sama namun diisi dengan intonasi yang lebih tenang dan pelan, “Aduh”. Aku menoleh, entah untuk apa. Salah satu respon spontan barangkali. “Gue temenin ngomong aduh-nya.” Pria itu masih duduk dan baru kuperhatikan posisi tangannya sama denga

Senja Kurang Makna

Lihatkah kau senja kemarin petang? Indah, bukan? Bagiku keindahannya memudar kemarin Atau rasa kagumku saja yang sudah memudar karena saatnya sudah lewat Sudah lebih dari 24 jam Waktu hadir untuk menghitung, haha… Masih saja! Atau senja merupakan diksi yang sudah terlalu banyak digunakan oleh pengarang Dan ‘terlalu banyak’ itu mengurangi rasa yang tercipta Sudahlah Mungkin aku saja yang menemani senja kali itu dengan acak adul Luka yang terluka di atas luka Seharusnya cipta pedih yang memedihkan pedih Atau justru sebaliknya Menanggalkannya sakingnya Tak kusangka belum juga menemukan apa yang kutemukan Masih di sini sejak kini Apa lagi yang harus kulakukan? Mengharuskan harus? Atau beri sedikit kebebasan pada bebas? Masih saja mengais kejelasan Padahal satu-satunya hal yang jelas adalah ketidakjelasan Tiap saatnya kita ditinggal setidaknya satu pertanyaan Sengaja disisa untuk pertahanan Sudah saat kesekian namun pertanyaan belum ju

the sun is shining

hey, bangunlah! pagi sudah menyapa dari tadi, matahari menantimu untuk kembali dinikmati, jangan hanya memicingkan mata, beri sedikit kesempatan pada sinarnya agar tampak melalui matamu, apakah mimpi tadi malam terlalu indah untuk ditinggalkan? alam menyajikan kemungkinan adanya keindahan itu pada dunia bila kamu mau bangun, hey, bangunlah! entah pada siapa senyum ini ada kalau kamu belum mau menyadarkan diri, warna-warni bunga itu tak mau muncul tanpa senyummu, dan kamu masih saja ingin melanjutkan mimpi. mimpi tidak salah, sayang, hanya ada saatnya, tidak selalu setiap saat, banyak yang harus ditertawakan ketika kamu bangun nanti. bagi denganku tawa itu jika kamu tak keberatan jika sudah bangun dari mimpi indahmu atau mungkin alam menjanjikan bagi tawa di dalam mimpi saja

alam bersamaku

Setelah sekian lama akhirnya aku bisa merasa seperti hari ini. Aku menempati momen yang terdiri dari potongan-potongan momen. Tiap potongan diisi oleh energi positif, setidaknya berisi. Segala resah ataupun sepi mendadak bersembunyi entah di mana. Aku rasa, nyaman yang mengusir mereka. Sampai pada ujung malam hadir potongan momen yang harus menghentikan potongan lainnya. Mungkin itu adalah penutup ideal yang lain. Kehadiran telah tiada namun banyak nyaman yang tercecer dan kupungut satu per satu untuk bekal momen-momen selanjutnya. Akhirnya, aku berkarib dengan alam. 5 mei untuk 4 mei

versus

Banyak orang yang menggemari apa yang sedang digemari oleh banyak orang. Perhatian dan pada akhirnya menjadi kegemaran timbul dari apa yang terlihat dari cerminan orang banyak; bukan dari hasil pemikiran. Hal ini sudah menjadi sesuatu yang membudaya akibat semakin mudahnya orang berinteraksi dengan orang lain. Dari sisi lain, orang yang menggemari sesuatu akibat pemikirannya sendiri atau sebagai sikap kontranya terhadap hal 'kebanyakan' membentuk komunitas sendiri. Substream ini kemudian ditemukan oleh orang-orang kebanyakan dan kemudian masuk ke dalamnya sampai akhirnya substream ini menjadi mainstream. Substream ini menjadi sesuatu yang biasa dan menjadi bagian dari 'kebanyakan', bahkan kadang menjadi bagian dari sesuatu yang tadi ditentangnya. Ketika komunitas substream berusaha untuk membuka pikiran orang-orang dan kemudian pikiran itu berhasil mempengaruhi orang-orang tersebut, substream itu hilang dan mulai berubah menjadi mainstream. Ketika itu terjadi, di amnaka

ditambah satu hari lagi biar jadi special

Jenuh pada teori energi dan akhirnya menyalahkan alam. Alam sedang tidak berkarib denganku. Banyak yang tertumpuk dan kegagalan atas perjuangan di depan mata. Sekat mulai hilang padahal entah apa yang merubuhkannya. Apakah hati? Hatiku masih bersembunyi. Apakah masa depan? Sibuk membicarakan hal yang tidak pasti. Apakah diri ini? Manusia yang sibuk dengan dirinya sendiri dan mendamba keduniawian. Apakah ketentraman hati? Selalu berkelak padahal tahu arah. Maka aku ingin bersimpuh. Tidak memohon. Tidak memaki. Hanya bersimpuh. Adakah sendiri yang menyemangatiku untuk menyelesaikannya satu per satu. Adakah sendiri yang menahan kesakitan di kepala bahkan sekarang sudah mulai menjalar ke bagian perut yang menyeri. Adakah sendiri yang mengingatkan untuk bermanja dengan kopi, buku, dan istirahat. Adakah sendiri yang membangunkan diri untuk memulai hari lagi. Adakah sendiri untuk menjadi manusia mandiri dan menikmati sepi di tengah keteraturan yang memadat.