Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2014

Salju dan Temaram

Satu-satunya yang menyelamatkan kita adalah temaram. Di bawah lampu di ujung jalan itu, kita berdiri saja menggigil. Sekitar lain gelap. Mobil-mobil yang masih tampak akibat ketemaraman diejek salju yang terus turun. Itu jejak salju yang berlalu ketinggalan. Membuat dingin semakin menusuk. Apakah yang berlalu kemudian meninggalkan jejak kerap semakin menikam? Tapi, dari mana kita tahu itu sudah berlalu? Ini salju saja terus turun, yang sudah diam menetap, seolah menolak untuk hilang dalam kecairan.   Tangan kita ada di dalam kantung-kantung masing-masing. Ini usaha untuk cari hangat yang hampir sudah tak mungkin. Tapi, masih ada usaha lain yang jauh lebih semu. Kita sama-sama mengernyitkan badan, juga terus menghembuskan napas lewat mulut. Itu asap dingin ingin saja diubah jadi asap hangat. Dalam ketakberdayaan, kesemuan seringnya jadi harapan palsu. Seperti temaram ini.  Seperti Sitor yang pernah bertanya kepada Chairil, mana yang lebih sedih: nenek terhuyung tersenyum atau p

Penonton Luka

Setiap malam, ia menyirami tanaman di depan kamarnya sambil menyanyikan satu dua larik dari tembang yang lewat di kepalanya--tembang yang jarang didengarkan dalam volume besar jika ada orang lain. Setelahnya, dia siram juga luka yang belum tentu penuh duka. Saya kadang dibiarkan untuk melihatnya. Dirawat benar lukanya, dengan penuh hati-hati. Hati-hati yang saya maksud adalah membersihkan kulit di sekitar luka dan mengamatinya dari jarak yang sangat dekat. Setelahnya, ditiup-tiup luka itu, "Biar cepat kering," jelasnya tanpa ditanya. Dipandanginya lama-lama luka itu, mungkin ingin tahu dia seberapa membaik atau memburuk lukanya. Bisa jadi, lukanya begitu-begitu saja. Lalu, dia akan lempar senyum kepada saya. Lebar. Selebar senyuman yang baru dapat kata rindu dari sang pujaan di pulau seberang. Mungkin benar, sebagian orang hidup dari luka. Dan, saya hanya bisa melihat betapa dia begitu merawat lukanya. Lain kali, saya akan menyanyikan satu atau dua larik dari tembang kenang

kereta

mari kita pergi ke stasiun. duduk di bangku sembari menunggu kereta yang belum siap berangkat. kamu akan cerita tentang rumah dan aku balas cerita tentang mimpi. pada saatnya kereta akan melaju, kita akan teringat ada resah yang belum dibagi. kita akan menunggu kereta selanjutnya karena enggan pulang dalam kegusaran. namun, kita tak pulang-pulang. ternyata, kita sama-sama hidup dalam resah. kemudian, kamu akan cerita tentang mimpi dan aku akan cerita tentang rumah. kereta sudah menunggu. kereta terakhir malam ini.

Terlilit Sembelit

Ujung sebelah sana dipegang Yang sebelah sini juga Tanpa aba-aba, kedua ujung memilin berkelindan Ujung sana ada di atas, diputar di ujung, kembali lagi melalui jalur bawah Serong kanan, serong kini Melilit di atas, juga di bawah Terus-terus saja Tak ada simpul mati Sampai jadi tenunan kuat Pun ada rongga di tengah-tengah Tak terburai jika ditarik-tarik Ibu datang dengan pertanyaan, “Itu apa?” “Gelisah, Bu” “Masih ada?” tanyanya lagi “Kuhabiskan biar Ibu tak kebagian”