Postingan

Menampilkan postingan dari 2006

jadi, manusia?

pohon saja mampu bertahan bahkan pucuknya pun masih menjulang ke atas berlomba-lomba mendapat sinarnya dan jadi tempat sembunyinya embun kupu-kupu saja bebas terbang melelangkan keindahannya tanpa ada yang mampu menjadi paling tinggi setelah sekian lama menarik satu per satu benang kepompongnya udara saja terus bergerak beri sedikit ruangnya untuk jadi sejuk yang kasat mata tak terlihat bukan berarti tak ada

pertanyaan

tengah malam memberikan satu pertanyaan lagi. ketika kita sudah berhenti untuk mencari jawaban atau hanya sekadar beristirahat, apakah selalu hadir orang-orang lain yang menawarkan jwaban? hingga kita berhenti beristirahat dan mencari pilihan. pilihan mungkin bukan jawaban. atau justru menambah kawan pertanyaan-pertanyaan dahulu. 030706

books are everywhere, light is turning on, there i am, do nothing

aku hanya ingin jujur. itu saja. bahkan untuk jujur pada diri sendiri saja, aku masih enggan. siapa tahu jujur malah mematahkan semangat, mengenggankan kehidupan. terlalu mudakah untuk mendirikan benteng ini? tak usahlah menyalahkan waktu--sesuatu yang masih belum pasti eksistensinya. apa yang pasti? sudahlah, kejujuran juga bukan berarti benar. apakah kebenaran yang aku cari? masih saja mencari sesuatu yang masih belum jelas eksistensinya. kenapa begitu tergila-gila pada eksistensi? simpan untuk alasan tetap hidup. 020706

mata|hari

mata|hari adalah pameran karya-karya anak desain komunikasi visual Universitas Pelita Harapan. Tiga ruang di Galeri Nasional ini menjadi tempat karya-karya yang menawarkan banyak rasa. Secara subjektif, perjalanan dalam tiga ruangan ini menyajikanm identitas dari masing-masing kreatornya yang ditunjukkan melalui cara dan media yang berbeda-beda. Ternyata, manusia yang mempunyai pemikiran berbeda-beda mempunyai pengalaman yang sama. Karya-karya mereka menunjukkan persamaan rasa yang pernah dialami oleh pengunjung, setidaknya saya. Di ruangan pertama, terdapat bentukan tubuh manusia yang kepalanya diganti oleh televisi berukuran 14 inch. Televisi itu menampilkan wajah dari tubuh di bawahnya dan mengekspresikan apa yang terjadi di dalam kepala atau pikirannya. Kepala yang terlihat berada di dalam sebuah kotak sebagai batasan dan terbentur-bentur menandakan kerumitan hidup. Manusia mengalami kepenatan dalam hidupnya walaupun dengan alasan yang berbeda-beda. Masih di dalam r

kayuhan

sore pun datang kembali berdiri di samping jalanan setapak yang tercaci malam kemarin menawarkan berbagai rasa hanya saja hujan menghanyutkannya ke sungai tak bersepi hingga membaur dan mengeluarkan aroma tak hambar kaki pun lunglai berjalan tangga terlalu tinggi dan tujuan masih harus melewati jalan berbatu banyak pedagang yang menjajakan air segarnya langsung dari kaki gunung--katanya ternyata gunung pun masih berkaki hanya saja gunung sudah menjulang tinggi berada di hamparan angkasa pundak pun masih dipisahkan leher kepala jadi sulit bersandar pada pundaknya sendiri hanya saja matahari memang tak memberikan waktu untuk berehat selamat sore, bintang, kau masih bersembunyi dan menunggu perputaran bumi untuk hadirmu

perjanjian modern

bukankan perjanjian yang dibutuhkan semua orang? perjanjian tentang sesuatu yang belum dapat dilihat atau dirasakan perjanjian bahwa AKAN ada yang lebih baik pada jenjang waktu selanjutnya entah karena ketidakpuasan dengan yang tergenggam atau bisa saja sekadar mencari rasa dan penglihatan yang berbeda bukankah perjanjian itu yang dicari semua orang? mengembara dan terlunta untuk temu perjanjian seonggok perjanjian yang menarik harapan membiarkan si pendamba menari-nari di atas keinginan yang belum disentuhnya bukankan perjanjian itu hanya ada di kitab suci-kitab suci? dijanjikan karena mampu diciptakan konon begitu kabarnya dan kita mengacu pada kitab suci-kitab suci yang sering dibicarakan dimana-mana membuat perjanjian menerima perjanjian dan mampu bertahan hidup dengan perjanjian bernapas atas dasar angan- angan yang belum pernah disapa perjanjian yang dilakoni dan didasari oleh kepuasaan, pembenaran terhadap diri sendiri merasa paling mengenal diri sendiri dan segalanya demi diri

bergerak menyamping

mengapa masih dipertanyakan pula tentang garis batas yang kita diami? biarkan saja dan tak usah melangkah maju ataupun mundur biar kita tetap di garis batas ini berlarian ke samping, sampai ujung garis batas yang belum kita temukan mari bermain-main dengan garis batas itu sendiri memang banyak mereka yang melewati kita, melewati garis batas bahkan banyak pula yang berlari mundur mereka punya cara masing-masing bilang kita salah karena mereka selalu memaju atau memundur tak pernah bisa lama menyamping dan kemudian sesuatu yang selalu dilakukan dianggap benar dan sesuatu yang di luar itu menjadi salah anggapan untuk kita itu hanyalah korban dari kestabilan mereka apakah iya mereka yang stabil? padahal kita selalu di garis batas, bergerak menyamping sebenarnya enggan juga dikategorikan stabil karena kestabilan mengurangi makna yang terkandung apa memang kita--setidaknya aku--sudah berkurang maknanya? yah, yang jelas kita sama-sama mencari kenikmatan dan aku sedang menikmati permainan gari

dia yang penuh janji

entah apa yang masih membuatmu masih di situ? bukankah sudah kujelaskan beberapa alasan yang sangat logis untuk segera beranjak dari situ? bukannya aku terganggu tapi suatu saat nanti kau yang akan terganggu walau aku tak akan peka terhadap saat itu aku masih di sini walaupun sudah berpindah tempat dari sejak kita bertemu namun aku sedang kerasan di sini setelah mengalami masa-masa adaptasi yang cukup berat aku menikmati tempatku sekarang tak apa kalau maasih ada di situ entah kapan aku beranjak dari sini walau aku beranjak belum tentu ke sana bisa saja aku merayap ke tempat tak bernama

my dear cousin

Aku mengosongkan beberapa hari terakhir untuk ada di sana. Mungkin tidak ada di sampingnya tapi aku ada di sana untuk dia, tak dapat dihindari untuk keluarga dia. Yakinlah, semua untuk dia. Aku enggan membicarakan hari-hari itu kembali. Tapi hari ini aku harus meluangkan sejenak waktu untuk berkisah tentang hari-hari itu. Semoga saja ini dapat menenangkan malam-malamku karena sejak malam itu, bayangannya selalu hadir. Jujur, aku sama sekali tidak tahu apa yang harus aku lakukan, pikirkan, bahkan aku rasakan ketika pertama kali berada di rumah sakit itu. Aku masuk dan tak lama segera keluar dari kamar itu. Aku tidak tega. Sungguh, aku langsung membuang segala pikiran tentang apa yang pernah terjadi dan berdoa. Yakinlah, hanya untuk dia. Aku memohon segala maaf dan mengikhlaskan apa yang harus diikhlaskan. Yakinlah, hanya untuk dia. Siapa tahu, bisa membantu kepergian yang semestinya. Dua hari. Lebih lelah dari latihan fisik walaupun keringat yang dikeluarkan tak seberapa. Hanya pikiran

orang-orang gak bermutu

belum mengistirahatkan pikiran dari kemaren. kemaren, setelah melepas sedikit tawa dengan orang sekitar, berniat pulang saat matahari terik. namun, bertemu orang, singgah--yang niatnya sebentar karena hanya bertegur sapa--dan akhirnya terlarut dalam percakapan (atau bisa dibilang diskusi, entahlah) hingga senja menjelang. banyaknya masukan membuat perjalanan ke rumah terasa singkat. tiba di rumah, hanya memasukkan sedikit makanan karena keharusan. kemudian, berangkatlah pergi mencari secuil pengalaman. memang kadang apa yang diingini suka didukung oleh alam sekitar. kesukaan mengajar sedang berkurang belakangan ini. dan belakangan ini pula, banyak murid yang harus membatalkan pelajaran. di satu sisi, senang juga karena tidak perlu berpura-pura di dalam sana. di sisi lain, saya menanti rupiah-rupiah sebagai pengganti kekalapan membeli buku di waktu lalu. tapi yang kemarin kejadiannya sedikit berbeda. setelah mengalami kemacetan menuju kuningan--yang penuh dengan perkantoran itu-- akhirn

Sayang, Bodoh

“Terus…?” “Ya udah.” “Masa gitu doang?” “Ya emang cuman gitu. Emang kamu maunya gimana?” “Enggak tauk." "Yakin gitu doang?” Lelaki itu diam tapi menatap dengan tatapan yang lekat. Tatapan yang penuh dengan pertanyaan yang tak perlu jawaban. Selalu. Ini selalu terjadi. Apa yang kulakukan selalu terasa patut dipertanyakan. Cerita yang tidak ditambal oleh kebohongan pun masih dipertanyakan. Kadang, aku ingin saja bercerita. Cerita yang kukarang atau kukutip dari salah satu cerita. Aku yakin. Cerita itu juga akan berhenti dipertanyakan bila kututup dengan tatapan seperti ini. *** Sayang, malam ini kamu di mana? Apakah kau masih di atas sana ? Duduk di singgasana duka di atas sana . Berdiam diri di sana dan menunggu aku nikmati dari bawah sini. Kemudian, kita hanya perlu sama-sama duduk. Kamu di sana . Aku di sini. Kata-kata membisu namun pikiran kita sedang b
Serpihan-serpihan Tidak kutemukan setetes air di lautan lepas Tidak kurasakan rintikan hujan ketika hujan menderas Tidak kulihat sejumput rumput pada luasnya padang rumput Tidak kuraba jengah di tengah jenuh Pantangku untuk mengiba. Bisa saja kulihat wajah yang lain dan kujiplak pada wajahku. Mereka kira panca inderaku masih berfungsi dengan adanya. Harus akui, kadang mereka lebih menyukai kepura-puraan. Hanya melihat apa yang mau mereka lihat. Hanya merasa apa yang ingin dirasa. Kalau begitu, mau mempunyai keinginan terbesar. Aku terlalu kerasan tinggal di dunia kepura-puraan ini Hingga tak bisa kutemukan diriku lagi Diri ini sudah usang dan berdebu, terduduk di pojok gudang Apakah mau juga yang bertanggung jawab? Atau mungkin memang tak ada pilihan lain lagi? Tak jua kutemukan sosok prajurit pantang menyerah sampai titik penghabisan Tak lelah bertanya walau banyak yang belum terjawab Tak butuh tameng, hanya keberanian menhadapi kenyataan yang bertu

Teras Depan

Dua kursi rotan yang dicat putih dihalangi oleh satu meja kecil dengan asbak yang penuh dengan puntung rokok dan gelas-gelas sisa minum. Aku duduk di bangku yang lebih dekat dengan pintu keluar. Kepala ini terlalu berat untuk menopang tanpa bantuan dinding dan kepala kursi bahkan tanganku pun masih harus ikut serta menopangnya. Isinya kosong. Mungkin justru kekosongan adalah hal yang paling berat untuk kepala ini. Pria tinggi dengan baju corak barong Bali itu mengistirahatkan tubuhnya pada kursi satu lagi. Aku hanya melirik sekilas. Peduliku jauh dari sosok yang terduduk itu. Diamku pun tak mampu lagi diam hingga ia berteriak, “Aduuuuuuuuuuhhh!!!!” dan diakhiri dengan helaan napas tanpa maksud mengiba. Teriakan si diam mendapat respon yang sama namun diisi dengan intonasi yang lebih tenang dan pelan, “Aduh”. Aku menoleh, entah untuk apa. Salah satu respon spontan barangkali. “Gue temenin ngomong aduh-nya.” Pria itu masih duduk dan baru kuperhatikan posisi tangannya sama denga

Senja Kurang Makna

Lihatkah kau senja kemarin petang? Indah, bukan? Bagiku keindahannya memudar kemarin Atau rasa kagumku saja yang sudah memudar karena saatnya sudah lewat Sudah lebih dari 24 jam Waktu hadir untuk menghitung, haha… Masih saja! Atau senja merupakan diksi yang sudah terlalu banyak digunakan oleh pengarang Dan ‘terlalu banyak’ itu mengurangi rasa yang tercipta Sudahlah Mungkin aku saja yang menemani senja kali itu dengan acak adul Luka yang terluka di atas luka Seharusnya cipta pedih yang memedihkan pedih Atau justru sebaliknya Menanggalkannya sakingnya Tak kusangka belum juga menemukan apa yang kutemukan Masih di sini sejak kini Apa lagi yang harus kulakukan? Mengharuskan harus? Atau beri sedikit kebebasan pada bebas? Masih saja mengais kejelasan Padahal satu-satunya hal yang jelas adalah ketidakjelasan Tiap saatnya kita ditinggal setidaknya satu pertanyaan Sengaja disisa untuk pertahanan Sudah saat kesekian namun pertanyaan belum ju

the sun is shining

hey, bangunlah! pagi sudah menyapa dari tadi, matahari menantimu untuk kembali dinikmati, jangan hanya memicingkan mata, beri sedikit kesempatan pada sinarnya agar tampak melalui matamu, apakah mimpi tadi malam terlalu indah untuk ditinggalkan? alam menyajikan kemungkinan adanya keindahan itu pada dunia bila kamu mau bangun, hey, bangunlah! entah pada siapa senyum ini ada kalau kamu belum mau menyadarkan diri, warna-warni bunga itu tak mau muncul tanpa senyummu, dan kamu masih saja ingin melanjutkan mimpi. mimpi tidak salah, sayang, hanya ada saatnya, tidak selalu setiap saat, banyak yang harus ditertawakan ketika kamu bangun nanti. bagi denganku tawa itu jika kamu tak keberatan jika sudah bangun dari mimpi indahmu atau mungkin alam menjanjikan bagi tawa di dalam mimpi saja

alam bersamaku

Setelah sekian lama akhirnya aku bisa merasa seperti hari ini. Aku menempati momen yang terdiri dari potongan-potongan momen. Tiap potongan diisi oleh energi positif, setidaknya berisi. Segala resah ataupun sepi mendadak bersembunyi entah di mana. Aku rasa, nyaman yang mengusir mereka. Sampai pada ujung malam hadir potongan momen yang harus menghentikan potongan lainnya. Mungkin itu adalah penutup ideal yang lain. Kehadiran telah tiada namun banyak nyaman yang tercecer dan kupungut satu per satu untuk bekal momen-momen selanjutnya. Akhirnya, aku berkarib dengan alam. 5 mei untuk 4 mei

versus

Banyak orang yang menggemari apa yang sedang digemari oleh banyak orang. Perhatian dan pada akhirnya menjadi kegemaran timbul dari apa yang terlihat dari cerminan orang banyak; bukan dari hasil pemikiran. Hal ini sudah menjadi sesuatu yang membudaya akibat semakin mudahnya orang berinteraksi dengan orang lain. Dari sisi lain, orang yang menggemari sesuatu akibat pemikirannya sendiri atau sebagai sikap kontranya terhadap hal 'kebanyakan' membentuk komunitas sendiri. Substream ini kemudian ditemukan oleh orang-orang kebanyakan dan kemudian masuk ke dalamnya sampai akhirnya substream ini menjadi mainstream. Substream ini menjadi sesuatu yang biasa dan menjadi bagian dari 'kebanyakan', bahkan kadang menjadi bagian dari sesuatu yang tadi ditentangnya. Ketika komunitas substream berusaha untuk membuka pikiran orang-orang dan kemudian pikiran itu berhasil mempengaruhi orang-orang tersebut, substream itu hilang dan mulai berubah menjadi mainstream. Ketika itu terjadi, di amnaka

ditambah satu hari lagi biar jadi special

Jenuh pada teori energi dan akhirnya menyalahkan alam. Alam sedang tidak berkarib denganku. Banyak yang tertumpuk dan kegagalan atas perjuangan di depan mata. Sekat mulai hilang padahal entah apa yang merubuhkannya. Apakah hati? Hatiku masih bersembunyi. Apakah masa depan? Sibuk membicarakan hal yang tidak pasti. Apakah diri ini? Manusia yang sibuk dengan dirinya sendiri dan mendamba keduniawian. Apakah ketentraman hati? Selalu berkelak padahal tahu arah. Maka aku ingin bersimpuh. Tidak memohon. Tidak memaki. Hanya bersimpuh. Adakah sendiri yang menyemangatiku untuk menyelesaikannya satu per satu. Adakah sendiri yang menahan kesakitan di kepala bahkan sekarang sudah mulai menjalar ke bagian perut yang menyeri. Adakah sendiri yang mengingatkan untuk bermanja dengan kopi, buku, dan istirahat. Adakah sendiri yang membangunkan diri untuk memulai hari lagi. Adakah sendiri untuk menjadi manusia mandiri dan menikmati sepi di tengah keteraturan yang memadat.

malam komplit pake telor

Aku hanya ingin bersua. Itu saja. Menutup malam dan mengawali pagi yang masih terlalu pagi bersama-sama. Sungguh, tubuh ini sudah terlalu lunglai untuk melawan hari. Aku butuh dibagi sedikit saja energi. Namun adanya berkata lain. Energiku semakin tersirap habis hingga terlalu sulit untuk mengutupkan matanya yang sudah ingin rebah. Tak usah dicari sang terdakwa karena semuanya punya kebenaran masing-masing. Cukup alam saja yang menyesatkan malam ini. Dan tak usah ulang akhir malam seperti ini lagi. Itu saja.

silakan sayang saja

kemudian kami melanjutkan hidup masing-masing aku hanya terduduk kehilangan perjanjian dan sisanya tampak begitu menikmati silakan hanya aku tak sempat berbiasa kemudian aku memutuskan untuk beranjak bukan untuk jauh, hanya mengamati dari jauh dan segala lakunya masih penuh perjanjian sayang saja hanya aku tak bisa dibagi sekali lagi kedatangannya tak pernah tiba kepergiannya pun tak pernah beranjak rasa tak seberapa, hanya lebih yang berkelebihan
Akhirnya aku tahu siapa yang harus aku maki hari ini. Diri ini. Tidak pernah menghadirkan diri di antara yang mencari. Tidak pernah menyediakan diri kala butuh mencari. Hingga akhirnya enggan untuk mengucapkan maaf bahkan menuliskannya. Sudah terlalu sering kata itu muncul dan khawatirnya akan menjadi sesuatu yang berkurang maknanya. Dan aku hanya bisa resah ketika senja menggugah. Ketika malam menggantikan pun, aku masih resah dan berangsur penuh makian pada diri ini.

where's desire? (mungkin ar lbh tau, huakakakakak --> peace, ar!)

duduk di sini kembali jatuh cinta gagal putus cinta terlalu jauh di belakang terlalu banyak rasa yang harus dirasa terlalu banyak hati sudah merasa tumpukan keinginan yang harus dijejaki keenggenan kaki untuk berkaki akhirnya,keinginan hanya sekedar keinginan aku butuh gairah tampaknya dia tersesat entah di mana aku lelah mencari mungkin saat ini duduk di sini kembali (malam yang seperti biasanya)

must not like this!!!

menyebalkan!!! Udah lewat 4 bulan tapi ternyata masih aja kayak gini. Dikira sudah terlupa terlalu jauh nyatanya masih aja suka hadir dalam mimpi. Tadi malam dia hadir lagi pada mimpiku yang kesekian setelah kejadian itu. Sebelumnya dia juga masih suka dateng di mimpi atau bayangan. Gak mau kalah ama kejadian dalam satu malam. Gak mau kalah ama alam bawah sadar. Gak mau kehilangan logika lagi. Gak mau nggak pernah ngerasa nyaman lagi. Gak mau ketakutan terus. Gak mau nggak bisa mikir yang lain. gak mau inget kejadian itu lagi. gak mau nangis mulu. Gak mau nggak berani sendirian lagi. gak mau. gak mau. gak mau. Aku takut.

mumet

aku enggan berceloteh! hingga kata-kata dan segala macam bentuk pemikiran itu tersedak di dalam dan menyerikan pala. kenapa tak ada siapa-siapa di sini? sebenarnya ada dia, ada dia, ada dia, ada dia, ada merekalah, hanya aku saja yang enggan untuk menghadirkan semua saat ini. maaf, bukan saya angkuh. mungkin sedikit angkuh. sudahlah, tak ada kata yang bisa dirangkai lagi.

proses menuju Tuhan

Apakah gue terlalu menyamaratakan perbedaan? Padahal banyak orang yang ingin menarik satu garis tegas di antara perbedaannya. Bahkan, kadang gue menerima area abu-abu tanpa pemenang dan tanpa pengalah. Gue berpijak pada kebenaran masing-masing dan berusaha menghargai hal itu. Gue sangat menghargai perbedaan tapi bukan berarti gue harus kayak mereka tau mereka kayak gue. Gue tidak beranggapan kalo gue bener, malah sekarang gue masih dalam proses dalam pencarian kebenaran itu sendiri. Dalam hal ini, kayaknya gue enggak sendirian. Gue enggak mau merasa lebih tinggi daripada Tuhan dengan menentukan dosa atau tidak bahkan kadang sekedar benar atau salah.

Surat untuk Mereka

Buat: Mama dan Papa Berpuluh tahun sudah kau menipuku. Berusaha menutup panggung kehidupan dengan layar kau ciptakan. Layar pengganti. Kau tutup kejamnya hidup dengan kelembutan yang menyelimut. Kau samarkan beratnya hidup dengan sejuta perhatian. Kau buka kehangatan agar dinginnya kehidupan tak terasa. Kau rahasiakan itu semua selama berpuluh tahun. Hingga saatnya kehidupan mulai memaksakan kehadirannya. Bahkan, kau suka menipu diri sendiri, bukan? Mengajarkan berani padaku padahal berani itu terasa berat kadang dan kau tak mau aku menopang itu. Mengajarkan sendiri padaku padahal sendiri itu terlalu banyak menyita air mata. Aku rasa sudah cukup, Ma, Pa. Aku sudah terlalu kerasan tinggal di dunia yang penuh dengan asumsi yang kau ciptakan. Namun, pada akhirnya aku berdiri di sini. Sudah beberapa tahun ini aku mengintip kehidupan dari belakang jendela ini. Pintu itu sudah terbuka. Aku mulai menginjak kehidupan. Bukan karena aku tak betah di dunia itu, melainkan memang sudah seharusnya a

tidurlah

Akhirnya malam ini tiba juga Malam yang kunantikan sejak awal yang kita cipta Malam ini yang menjawab akhir yang ideal untuk kita Tapi akhir yang diciptakan oleh malam Apakah ini akhir yang kita ciptakan? Mungkin kita terlalu banyak berteman dengan malam Dan pagi tak kan terisi lagi Dan alarm berfungsi sebagaimana mestinya Membangunkan orang tanpa membagi sedikit energi positif untuk memulai hari Tidurlah Malam terlalu malam Pagi terlalu pagi

Jalan Mampang

Sepanjang perjalanan tadi aku membuat surat untuk orang-orang yang hampir sebagian besar sehidupku bersamaku. Kemudian, aku bacakan pada lampu jalan ditemani kemacetan malam. Kubaca tiap katanya dengan sungguh. Maknanya kuisi dengan kemampuan ingatan sehidupku. Jalan panjang Mampang menjadi pendengar yang baik malam itu. Lampu merah-lampu merah pun hanya bisa memberikan sinarnya pada mataku yang mulai kalah menahan isakan. Aku terisak-isak di dalam sana. Napas pun susah untuk dihembus atau pun dikeluarkan. Marka jalan mengiyakan ketika kukatakan mereka masih menjadi yang terpaling. 6 april 2006
Hari ini begitu banyak energi negatif yang berkeliaran. Dan hari ini juga tubuhku terlalu lemah untuk menangkal energi-energi itu. Tubuhku berontak dengan menjelma kepala yang menyakit. Begitu lemah, hingga air mata terlalu manja minta keluar. Sepertinya ada sesuatu yang luput dari perhatianku. Mencoba mencurinya dengan menebarkan energi-energi negatif itu tapi entah. Alam pun tak dapat dimintai penjelasan. Bulan purnama terlalu lama sudah dan masih lama belum. Kemana harus kucari ketidakjelasan ini? Malam sudah larut namun masih banyak yang tersisa.

singkat

hari ini begitu singkat!!!!!!!!! Semua perjumpaan terasa begitu singkat. Mungkin alam memang membiarkannya seperti itu biar kesan tertinggal. Tapi aku mau lebih lama. Biar senyum tersimpan sampai cukup menemani di hari ke depan. Aku rasa,,, tawa ini lebih lama lagi tersimpan.
Ah,,, pagi ini indah. Pagi ini sudah dimulai sejak malam tadi. Aku terpaku di dalam perahu dan terdiam mengikuti arusnya. Dayung pun kadang kupakai bila kusudah tak sabar dengan arus yang menenang. Sejak semalam burung perkicit mulai menyerukan suara yang khas. Rasanya suara itu dibuat khusus untuk terdengar di telingaku. Dan ia tak bosan bertengger di dahan sana. Tanpa melihatku. Namun, aku menganggap adanya untukku. Kalau boleh kuberucap pada-Mu, Tuhan, terima kasih atas perjanjian yang kau tepati melalui dia. Sungguh, Kau adalah sosok yang penuh janji, Tuhan.

stand up applause

Siang tadi kita bersua di antara keramaian. Hari ini kau tunjukkan aku cara menjadi manusia sosial. Sanggup menekan keras keinginan yang kau impikan atas nama kebersamaan. Kau bungkam keinginan itu biar kesempatan bicara lebih banyak. Kali ini kau memenuhi janjimu dengan cara lain. Maaf, aku tadi hanya duduk terdiam. Sibuk memendam suara tepukan tangan dalam hatiku. Diam-diam kubelajar cara menkmati hidup darimu.

inginterkutuk

ah,,, aku merindu kalian belakangan ini bagi kisah ditanggap tawa dan hina yang menyenangkan mengulang cerita yang sama tanpa pernah jera apa yang kalian lakukan di sana sua dunia yang lebih berwarna-warnikah atau semakin banyak nyaman yang menawarkan warna apapun yang kalian lihat kita masih menjadi warna dasar yang selalu menjadi unsurnya walau tanpa waktu dan kesempatan izin sebentar kirim aku senyum yang menghangatkan aku yakin masih ada energi yang tersimpan di alam ini untuk kita tempati

Padi

Aku jatuh cinta. Kali ini dengan kumpulan ilusi di udara arau di suatu tempat yang tak berbatas. Kumpulan itu kuisi dengan sosok pelindung. Keras. Dingin. Namun, sekaligus menyejukan. Entah dari mana ilusi itu datang. Kadang kuisi pikirannya dengan segala kekayan ilmu. kadang ditambah angkuhnya agar ia menjadi sosok yang kuat dan tegas. Kadang kurombak lagi ilusi itu dan dibungkus dengan kesederhanaan. Ilusi ini lebih cepat berganti karena aku telah menjauhkan diri dari impian pangeran yang baik hati. Ah, aku cipta manusia. Manusia yang mendominasi. Manusia dominan. Dan aku pun tetap manusia. Manusia yang ingin punya kekuasaan. Kuciptalah ilusi pemikiran duniawi. Salah satu dari manusia kebanyakan. dan aku pun menjadi Sang Puteri; dikelilingi kekaguman akan sesuatu yang baru diketahuinya. Tetap saja, kutambah ilusi itu dengan kelebihan yang lebih. Aku juga inginmenikmatnya. Toh, itu kunci utamanya. Kenikmatan. Kusebut ilusi itu dengan Padi. Kupilih Padi karena padi adalah sumber makana

tanpa harap

Tak banyak yang kuharap darimu. Malah aku mau mulai mencoba untuk tidak berharap. Ada yang berpikir bahwa harapan adalah satu-satunya alasan manusia untuk tetap bertahan di dunia ini. Namun, ada juga pemikiran bahwa manusia selayaknya tidak punya keinginan untuk tetap berada di titik keseimbangan. Jadi, manusia akan merasa damai sampai kapan pun. Sekarang aku hanya menikmatimu. Melihatmu hanya sebagai manusia—atau seperti yang dikatakan sebuah buku; hanya 4 elemen utama yang bersatu: bumi, angin, air, api—tidak lebih. Hanya elemen lain yang memberikan energi positif pada diriku. Dan terus terang, aku membutuhkan enerfi positif itu. Tapi, aku mencoba mengerti kebutuhanmu sebagai manusia kebanyakan. Aku mencoba menyeimbangkannya. Toh, aku pikir itu memang salah satu pemikiran yang ingin aku capai. Keseimbangan. Beranjaklah dari sini Siapa tahu aku masih bisa ada di situ Membagi energi-energi yang mungkin tidak berpengaruh

Ruang Pascatindakan di RS Harkit

Orang di sebelah sudah sebulan dirawat di rumah sakit ini. Ketika ditanya keluhannya, bapak tua itu tidak bisa menjawab. Katanya, dokter menyuruh saya untuk dikateter. Apa benar ia tidak mempunyai keluhan? Satu bulan merupakan jangka waktu yang cukup lama untuk bertanya pada diri sendiri dan merasa apa yang tubuh rasa. Mungkin saja bapak itu tubuhnya sudah terbiasa dengan rasa yang dulu ia keluhkan. Namun, sekarang itu sudah menjadi rasa yang biasa karena sudah lama terbiasa. Mungkin juga bapak itu sedang menentang tubuhnya. Perkataannya dijadikan sugesti untuk dirinya sendiri agar tidak merasakan apa-apa; tanpa keluhan. Mungkin juga bapak itu sudah menyerah pada kehidupan. Ah, mungkin saja bapak itu terlalu sibuk mengurusi pikiran keluarganya. Ia bertoleransi pada keluarga yang selalu merasa cemas dan menunggunya di rumah sakit selama sebulan. Ia harus menghilangkan keluhannya agar dokter lebih cepat mengizinkan dia untuk kembali ke rumah. Mungkin bapak itu sudah pasrah. Ia menyerahka

sepiku

apa yang harus disebut dengan kita? kita terlalu abstrak atau hanya sekedar samar tak pernah berani melangkah ke area merah dan sungkan untuk mundur ke area biru benarkah kita terlanjur kerasan di area merah kebiru-biruan ini? tak ada seorang pun yang dapat memandu kita itu sebabnya ini semua hanya bekisar kita dan alam alam pun hanya dapat memanjakan kita beri kita sehelai benang untuk menggantung kata-kata bahkan kadang kata-kata itu berubah jadi sunyi dan teraduk dalam kopi racikan kita mungkin hati telah kita letak dan lupa arah kembali kemudian senja membuat kita belajar tertawa dengan hati yang kosong tak peduli mendung meninggalkan kita dengan derai air matanya kita hanya ada dengan cara kita di dunia kita apa masih butuh pengertian orang lain?

setelah berbicara dengan sepi di perjalanan pulang

Besok ap check-in di Harapan Kita. Dan gua baru pulang pergi ama anak basket tengah malem gini. Sebenernya sempet ngerasa nggak enak juga tapi lama-lama mikir alesannya. Kayaknya belom ada alesan yang tepat. Penyakit adalah penyakit. Tubuh adalah tubuh. Keluarga adalah keluarga. banyak orang yang menyatukan semuanya. "Anggota keluarga gue sakit dan yang namanya sakit itu nggak bisa dipisahin ama tubuh karena penyakit itu ada di dalam tubuh." (Kacau bahasanya! Di dalam satu kalimat terdapat berapa topik yang terbagi atas berapa kalusa tuh? Alaah!) Pemikiran seperti itu emang benar juga. Tapi hari ini gue coba cari pemikiran baru dan hasilnya gue mau misahin itu semua. Penyakit adalah penyakit. Tubuh manusia hanya sebagai wadah. Ketika manusia tidak sakit, penyakit itu tetap ada. Penyakit ada di antara manusia tanpa manusia sadari dan tanpa manusia lihat. Penyakit bisa masuk ke dalam tubuh manusia ketika pikiran manusia lebih banyak ion negatifnya. Salah satu faktor yang ngeduk

huhu,,,

rindu kangen

UU Tata Krama Penindak Hukum Indonesia

3 jam menunggu jaksa yang mengundang datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Itu adalah salah satu kasus yang dilempar kepada masyarakat untuk menentukan wajar atau tidaknya, sopan atau tidaknya, atau yang lebih makro bagaimana sistem hukum di Indonesia. Saya hanyalah satu orang awam yang tidak paham akan hukum. Namun, ketika saya harus berhubungan dengan sistem hukum di Indonesia, saya sangat tidak tertarik. Jaksa sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi salah satu panutan baru datang 3 jam kemudian setelah saksi datang. Cukup banyak yang dapat dipaparkan dari hasil pengamatan selama 3 jam tersebut ditambah mengantri sidang selama setengah jam dan sidang itu sendiri selama kurang lebih 15 menit. Semua terdakwa menggunakan kemeja putih lengan panjang, celana panjang, dan peci. Entah peci itu sebagai lambang salah satu agama atau sudah menjadi bagian dari pakaian nasional sejak Presiden Negara kita yang pertama selalu menggunakannya. Masih ada satu lagi yang seragam di

linting dan vodka

ingat malam itu? seseorang baru saja datang bawa setumpuk kertas tipis dengan potongan kecil-kecil tidak lupa juga sebuah bungkusan yang dilapisi kertas coklat kita semua mulai duduk melingkar menahan dinginnya lantai di malam yang hampir tengah eh, tapi masih ada yang tetap duduk di kursi itu bersender dan memainkan kunci-kunci gitar hingga melantunkan lagu lagu yang dikenal kita tentu maka kita bersenandung di tengah hinaan dan tawa robek saja kertas pembungkus itu lalu gulung biar aku yang memisahkan biji-bijian ini alah! terlalu banyak biji dalam bungkusan ini dari mana asalnya ini??? serpih demi serpih dipilin hingga halus ck, masih saja teledor untuk menjatuhkannya ke lantai bukan apa, hanya serpihan itu juga dapat dinilai dengan uang ia menumpuk dua potongan kertas tipis menaruh serpihan di atasnya "ayolah, anak yang mempunyai jiwa seni!" "Anak yang nggak pernah cabut waktu prakarya!" digulung, digulung, atau ada satu kata berkelas kata verba yang mewakili k

hidupku kapan berakhir?

ketika ia memutuskan untuk mengakhiri hidup ini aku hanya duduk di sebelah orang kesayangannya tak bisa berbuat apa-apa sekedar mengelus pundaknya namun tangisnya malah membesar ketika ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya aku hanya membalas pesannya menanyakan siapa yang akan menyetir mobilku dan menemaniku selama perjalanan dan itu kita anggap sekedar gurauan ketika ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya aku hanya tertawa berusaha memberikan kesan itu bukan hal yang luar biasa sekedar bagian dari keinginan manusia di waktu senggang mungkin ketika aku memutuskan untuk mengakhiri hidup aku membaginya dengan kata-kata tanpa jawaban tanpa gurauan hanya kata-kata ketika aku memutuskan untuk mengakhiri hidup aku tidak mau beralasan menyerah pada hidup ketika saatnya tiba aku hanya mau mati karena mau mati

rasa apa

ternyata si rasa masih ada di situ sudah lama aku tidak menyadari keberadaannya atau mungkin ketika itu aku memang sedang tidak mau melihatnya ia tidak lelah menunggu di sudut sana apakah? ataukah jera menemaninya atau malah sudah mulai gerah dengan udara pojok maka ia menampilkan dirinya mencoba memperkenalkannya kembali ah, sudah lama tak kulihat ia samakah? berubahkah? ataukah sisa memar sebelumnya masih terlihat? hahaha,,, kadang ia dengarkan juga omongan orang pilihan berani mulai melintas di kepalanya maka ia kembali berdiri menawarkan diri dengan senyumnya yang tulus semoga (ketika malam merindukan)

what is GOD for you?

"gue mau gak beribadah aja ah kayak lo-lo pada" Kalimat yang sedikit sensitif ini terucap dari seorang teman yang--kalau kata orang banyak--sangat beriman. Kalimat tersebut terucap karena cobaan berat yang diterimanya. Kata ia ataupun banyak orang, orang yang sangat dicintai Tuhan akan mendapat cobaan lebih banyak. Sebagian besar masyarakat menganggap Tuhan adalah Yang Maha Baik-baik. Semua sifat yang baik akan dikategorikan sebagai sifat Tuhan. Apakah adil masih tercantum di dalamnya? Sepengetahuan saya, adil masih termasuk dalam kata yang maknanya positif. Jadi, Tuhan yang Maha Adil. Pernyataan tersebut berkontradiksi dengan pernyataan sebelumnya, yaitu Tuhan memberikan cobaan yang lebih banyak bagi umatnya yang "lebih dicintai-Nya" ataupun yang "lebih mencintai-Nya". Saya tidak menyalahkan kalimat pertama di atas. Menurut saya, kalimat tersebut hanyalah ungkapan dari bentuk pertahanan manusia (self-deffense mecanism). Sebagian manusia berdoa, bersyuku

kressekian

Aku masih tertunduk menanti hari dan hari dan hari. Aku masih menjalani padang pasir kering untuk mencari oasis yang dapat melegakan dahaga ini. Aku tahu tubuh ini kurang cairan. Sudah beberapa lamanya tidak ada cairan yang masuk. Tenagaku sudah berkurang banyak untuk menyakinkan diri bahwa aku masih mampu terus berjalan dan berjalan dan berjalan. Apakah aku masih punya sekian banyak tenaga lagi? Dan aku masih tertunduk ketika menyadari harum air yang kucari. Ah, cipratannya sudah mulai merintik bahkan lebih kecil daripada rintikan hujan. Kesegaran melintas. Apakah aku benar sudah dekat dengan oasis? Ataukah ini hanya galonan air minum milik perantau lain? Aku membimbang dan mengharap dan menunggu. *** Tak jua kutemukan alasan yang membuatku merasa apa yang kurasa. Batasnya semakin menyaru antara objek dan subjek sehingga sulit untuk menganalisa. Aku hanya ingin ada di situ walau tanpa jawaban atas esok. Ka

stasiun akhir adam dan hawa

Kasih, sudahkah kau bercinta hari ini? Cintaku baru saja datang. Wajahmu tampak lelah, Dewi. Aku tidak pernah lelah bercinta, kasih. Hari ini sudah jutaan kali aku bercinta. Dengan siapa? Tidak perlu dengan siapa-siapa. Apa maksudmu datang ke sini? Untuk menggores segaris luka pada hati ini? Mengapa kau rusak emosi dan aura percintaan kita, Kasih? Aku? … Tidakkah kau lihat peluhku ini? Ini sudah tetesan kesekian. Aku lihat. Bahkan aku mau merasakannya nanti ketika tubuh kita bercinta. Ini peluh penantian percintaan itu tapi entah apa rasamu hingga tak menunggu untuk merasakannya bersamaku. Jiwaku selalu di sini menanti percintaan yang tak pernah redup itu. Tapi kau telah bercinta jutaan kali sebelumnya. Bagaimana rasanya? Indah. Tidak ada yang lebih indah aku rasa. Hebat. Aku kagum dengan apa yang kau ucapkan. Aku serasa butiran debu saja di sini. Kasih, mengapa kau begitu sinis petang ini? Wanita, malam masih terlalu panjang. Hentikan malam ini dengan membisikkan teman bermain percint

just go out from my room, damn it!!!

Entah ini sudah yang keberapa kali. Aku terbangun. Kulempar pandangan ke sekeliling mencari sosok manusia lain yang kukenal. Kakakku masih tertidur tepat di sebelahku. Aku lihat handphone. Tidak ada message. Tidak ada missed called. Aku lihat jam digital di layer handphone. 02.16 am. Ah, mengapa matahari masih terlalu lama memunculkan dirinya? Aku tersentak dan terduduk di tempat tidur kakakku. Panik. Mencari sosok manusia lain yang kukenal. Untung saja, masih kudengar dengkuran kakakku. Aku berbaring kembali. Mencari bantal dan menaruhnya di atas kepalaku. Berharap aku segera memasuki dunia lain. Mata terpejam tapi pikiran tak pernah bisa diam. Aku cari handphone. Tidak ada message. Tidak ada missed call. Namun, waktu telah mengubah jam digital menjadi 02.59 am. Bukan message yang kunanti. Bukan telepon yang kunanti. Aku hanya menanti kenikmatan memejamkan mata dan memeramkan pikiran. Tidur nyenyak. Aku terbangun. Aku mendengar suara keletak-keletok. Tanganku mengepal kuat. Kurasakan

gloomy

detik berandai detik berharap detik menanti detik terus berjalan Awan gelap bergerak perlahan menutupi matahari yang sedang bekerja. Entah matahari yang kelelahan atau awan gelap itu yang sudah muak untuk bersembunyi. Kebetulan angin yang mengantar mereka. Mulanya angin sepoi-sepoi tapi tampaknya mereka sudah tidak sabar sampai akhirnya angin bertiup lebih kencang. Tiupannya menggoyangkan daun-daun di pohon itu seolah menyampaikan kabar kedatangan awan gelap tersebut. Mungkin goyangan itu sebagai salah satu penyambutan mereka atau malah cara mereka berontak. Namun, pohon ranting tanpa daun itu masih tegak dan keras kepala. Yang jelas, aku masih duduk di sini. Entah dengan siapa aku duduk di situ. Cukup memperhatikan helai demi helai daun yang tak rela jatuh dari pohonnya. Daun-daun itu hanya tidak sadar bahwa ada orang yang sedang menikmati jatuhnya mereka. Pikiranku terhenti. Aku hanya bisa menikmati suasana suram yang dikepit mendung. Angin menjadi lebih sejuk. Dinginnya menusuk tapi