Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2014

Surat untuk Bapak

Bapak, Bapak ingat sewaktu sering mengantarkan saya ke sekolah setiap pagi? Karena keculunan, saya sempat setengah memohon untuk Bapak turun dan bilang keterlambatan saya kepada guru, tapi Bapak menolak. Bapak bilang, “Kalau saya terlambat, saya juga harus menanggung risikonya.” Waktu itu juga pernah, saya masih duduk bermalas-malasan di kursi, padahal saya sudah bilang akan pergi kencan. Bapak bilang, “Ayo, siap-siap. Lebih baik menunggu daripada ditunggu.” Sekarang, saya selalu bolak-balik lihat jam kalau terlambat, kaki pun ikut goyang-goyang. Oh, apakah ini awal mula saya kerap menunggu pun saya sudah lama tidak kencan? Bapak ingat sewaktu sering menjemput saya latihan basket yang hampir setiap hari? Bapak selalu masuk pada awalnya dan melihat saya disuruh berlari-larian tanpa henti. Akhirnya, Bapak kerap memilih untuk ada di depan saja. Kemudian, bapak menunggu sendiri sampai saya selesai membasuh dan sedikit bercanda dengan teman-teman. Bapak duduk sembari

Sabatikal

Rindu bukan main. Seorang teman bilang, "Rindu tak mesti diadu." Terbaring lunglai tanpa kedatangan yang tergopoh-gopoh. Ia mendekam di dalam sekam. Tak perlu dipastikan, apalagi ditemukan. Rindu itu seperti panggilan dari belakang, kataku. Membuat yang dipanggil tersenyum-senyum tanpa menolehkan kepalanya. Terus berjalan.  Kata ayahku beda lagi. Rindu adalah pertanda dari ketergila-gilaan. Dan, itu menggairahkan. Bersamalah dengan orang yang menggairahkan, begitu pesannya. Tapi, Ayah, rindu ini bukan untuk kebersamaan. Ini semata perayaan akan kesemuan. Benar, kan? Rindu tak perlu diadu. Temanku menolehkan kepalanya menghadapku. Nantinya malah bisa ada menang atau kalah. Sementara, rindu hanya memunculkan apa yang tidak pernah ada. Mengadunya hanya membuatnya semakin tidak ada. Benar. Aku jawab tegas, rindu memang hanya sementara. Sisanya juga. Berarti, rindu tak serta-merta penantian. Dengan senyumnya yang aduhai, ia bilang, rindu hanya untuk yang diam-di