cerita tentang sunat perempuan

Satu kakakku memilih pergi ke salah satu mal dengan keluarganya demi menyenangkan anak-anaknya yang sudah merengek sejak beberapa hari lalu. Sementara itu, keadaan rumah dipenuhi dengan dua kakakku yang lain beserta keluarganya. Aku sendiri duduk saja di bangku itu sambil membuka-buka buku agama yang hampir tidak pernah kusentuh. Kali ini, kuharus membukanya untuk mencari inspirasi membuat makalah tentang perempuan dan/dalam agama Islam.

Keponakanku yang baru hampir 3 bulan ikut berkumpul bersama kami. Ikut berbicara dengan caranya sendiri seolah sudah mau bersosialisasi tanpa batasan umur. Aku menerima saja. Toh, dia mempunyai hak dan berusaha mengenali dunia yang baru saja dihuninya. Dia berjenis kelamin perempuan. Tambah satu lagi manusia di keluargaku yang harus dibela dan membela menghadapi dunia yang mendeskreditkan jenis kelamin kami. Semoga saja, pada saatnya nanti, dia sudah tidak mengalami kebobrokan masyarakat akan pemahaman kesetaraan dan keadilan gender.

Tiba-tiba saja, ibuku bertanya, “Itu, Si Meesha (nama keponakanku), udah disunat belom, ya?” “Belum, Ma,” jawab bundanya. “Disunat, dong, Non,” saran ibuku. Dialog singkat itu pun menjadi inspirasiku. Aku pun bertanya kepada ibuku, “Ma, aku dulu disunat, nggak?” “Iya, dong. Setahu Mama, kamu kan Islam,” jawabnya dengan tegas.

Aku buka-buka lagi buku-buku agamaku. Tak lupa, kulakukan riset yang tidak sebentar dari internet mengenai sunat perempuan. Aku pun yakin, tidak satu atau dua orang saja yang mempunyai pikiran sama dengan ibuku.

Ternyata, tidak ada hukum wajib dari Islam untuk menyunat perempuan. Bahkan, Al-Quran pun tidak menyebutkan dalam ayat-ayatnya. Hanya ada hadist yang tidak kuat kesahihannya mengungkap sunat perempuan. Memang, sunat laki-laki patut dilaksanakan dengan kepentingan medis yang justru menguntungkan laki-laki. Tapi, sunat perempuan?

Negara-negara di Afrika tercatat paling besar jumlahnya dalam praktik ini. Indonesia pun termasuk salah satu di antara negara yang melakukannya. Sebagian dari mereka melakukannya atas nama agama. Padahal, tak ada aturan khusus dan mereka tidak bisa menunjukkan ayat yang benar-benar mendukung praktik ini.

Sayangnya, dampak negatif dari segi medis justru semakin terpapar. Perempuan yang disunat bisa mengalami infeksi atau disfungsi seksual. Tidak bisa mengalami orgasme karena kehilangan klitorisnya. Bahkan, mereka juga bisa mengalami pendarahan atas dasar konsekuensi budaya. Hak perempuan diambil secara paksa tanpa memperhatikan manfaat untuk perempuan itu sendiri.

World Health Organization (WHO) justru sudah memperhatikan praktik sunat perempuan di dunia. Mereka mengeluarkan kebijakan untuk melarang medikalisasi sunat perempuan sejak 1983. Pemerintah Indonesia pun cukup lambat dalam menanggapi masalah ini. Departemen Kesehatan mengeluarkan kebijakan untuk melarang medikalisasi sunat perempuan pada April 2006. Tenaga medis dilarang melakukan sunat perempuan dengan alasan kesehatan.

Jadilah satu makalah tentang itu dan kupresentasikan besoknya di depan dua orang ahli agama dan beberapa temanku. Hasilnya lumayan untukku, meski mereka mengharuskanku untuk mempertajam analisis dari segi agama, seperti mahzab-mahzab dan pendapat ulama dari Al-Azhar tentang hal ini.

Keesokannya, kuberimakalah itu kepada ibuku. Ada hak keponakanku sebagai seorang perempuan yang harus kuperjuangkan. Ada baiknya berusaha menjauhkan dia sebagai korban konsekuensi sosial dan agama yang tidak dipahami mendalam. Haha. Aku pun tak paham betul sebenarnya.

Setelahnya, ibuku menghampiriku dan berkata, “Mama mengerti sekarang tentang sunat perempuan.” Dia pun berjalan kembali setelah bicara itu dan meninggalkanku yang terdiam. Makalah tujuh halaman itu dapat mengubah perspektif satu orang yang akan memangkas hak seorang perempuan. Ada rasa bangga dan haru di dalam sini. Ibuku berani meninggalkan satu prinsip, satu ide, satu keyakinan yang dipercayainya dan memasuki ranah rasional, walaupun atas dasar agama juga.

Apa ini yang dimaksud Ibu Saparinah Sadli dengan agent of change yang selalu diharap-harapkan? Tidak tidurku, waktu ketika meragukan Islam, dan riset kecil-kecilan itu mampu memberikan hak anak berusia tiga bulan untuk menjadi seorang perempuan. Yah, suka tidak suka, agama harus dimengerti untuk membuat orang-orang yang mengagung-agungkan agama untuk mengerti. Feminis berjuang untuk sesuatu yang masuk akal, kok. Dan, aku percaya itu. Hari itu, aku merasakan hasil tulisan yang memuaskan.

Ini dia tulisan tentang sunat perempuan yang dilihat dari hadits.

Komentar

Posting Komentar