Postingan

Menampilkan postingan dari 2010

Kenal

Hari ini, saya mengajar tentang tahu dan kenal. Kemudian, saya sadar bahwa dua belas bulan terakhir, saya banyak kenal: kenal mimpi, kenal hati, kenal positif, kenal pertemanan, kenal orang, dan kenal diri sendiri. Saya kenal orang-orang yang punya mimpi dan menggunakan hatinya. Dengan begitu, mereka punya energi positif yang begitu besar ketika menceritakan mimpinya. Tentu saja, hal itu berpengaruh pada diri saya. Ketika bicara soal mimpi, pasti bicara juga soal harapan. Pastinya, masih banyak orang yang takut berharap, mungkin juga diri saya sendiri. Namun, harapan sering kali menjadi satu-satunya jalan untuk menemukan jalan keluar. Kenapa kita merasa harus keluar? Keluar cenderung didekatkan dengan arti kepuasan, kelegaan, dan kebebasan. Padahal, sebenarnya, mereka hanya mencari “dalam”, ingin berada di dalam kenyamanan; bukan justru keluar dari wilayah kenyamanannya. Nyaman sering kali justru jadi belenggu untuk kita mengeksplorasi diri kita sendiri. Banyak juga orang yang masih me

let it go

Laki-laki itu sekarang sudah berkasih dengan perempuan lain. menurut pandangan banyak orang, tentu saja itu menyakitkannya. Namun, saya justru lebih lega. Semua semakin jelas. Tak ada lagi harapan palsu yang harus dicemaskan tiap sekonnya. Membiarkannya berhenti berharap. Tidak dipermainkan lagi oleh harapannya. Penolakan (denial) untuk menenangkan hatinya sudah berhenti.Memang, hatinya pasti hancur, tapi tidak sehancur penantiannya pada harapan palsu, kecemasan berlebihan pada harapan. kadang-kadang, harapan itu memilukan. Namun, harapan juga adalah satu-satunya jalan untuk menghargai diri sendiri. Semakin tinggi menaruh harapan, semakin kita bangga pada diri kita.

Language is Fun!

Tadi pagi, saya mengajar Simona, perempuan asal Italia yang bekerja di Uni Eropa. Dia cantik dan ramah. Saya selalu semangat untuk mengajar dia karena dia sangat menunjukkan semangatnya untuk belajar bahasa Indonesia. Ya, saya harus mengurangi jatah terlambat saya sebelum dia kecewa. I'll do it! Pelajaran hari ini adalah nama-nama hari dalam bahasa Indonesia. Seru banget! Dia cerita kalau nama-nama hari dalam bahasa Italia dihubungkan dengan nama-nama planet. lunedì - Monday martedì - Tuesday mercoledì - Wednesday giovedì - Thursday venerdì - Friday sabato - Saturday domenica - Sunday lunedì diambil dari "luna" yang artinya 'bulan'. martedì diambil dari Mars. mercoledì diambil dari Merkurius. giovedì diambil dari Pluto. venerdì diambil dari Venus. sabato diambil dari Saturnus. Atau, bisa juga mungkin ada kaitannya dengan sabat. Apakah hari sabtu yang disebut dengan hari sabat? domenica diambil dari "dominius" yang artinya 'T

lantang

Apakah kamu terlalu lantang untuk berada di sini? Memohon sesuatu yang tanpa kau sadari seiringan dengan hal yang paling kau takuti. Seberapa yakin kamu akan berani melompat jauh dari titik kenyamanan. Kau bahkan tak pernah merasa lelah untuk berdiri satu kaki di titik yang sudah meninabobokanmu setiap saat kau ngantuk; hanya pada saat kamu ngantuk. Namun, hari itu kamu memohon bersujud untuk mengubah posisi kenyamanan itu. Cukup yakin atas keberanianmu? Apakah kamu bisa mengatasi segala nyaman yang lebih membabi buta? Atau, bahkan, pada saat yang sama juga menyuguhkan kegagalan yang terngiang-ngiang? Aku berdiri di sini. Siap dihancurkan tak bersisa sekaligus dibuai terlena dalam belaian kenyamanan. Bersiaplah untuk berubah. Dalam diam atau gerak pun, sekeliling sudah berubah mengikuti irama kehidupan. Aku memilih untuk ikut mendendangkannya dan melenggangkan tubuh membuat gerakan perubahannya.

bernarilah mimpi

Kami takut bermimpi. Satu saja alasannya, keberanian itu sudah begitu sering dikecewakan. Sering kali juga kami merasa tak sanggup untuk menenangkannya. Padahal, kami telah disuguhkan sekian banyak contoh bahwa luar biasa hasil dari bermimpi. Melebihi kesanggupan kami dari membayangkan apa yang bisa terjadi. Bukan kami tak mungkin untuk mengelak dari kekecewaan, kegagalan dari apa yang sudah ditinggikan dan dibicarakan terus-menerus. Hukuman sosial dan diri sendiri mendera. Namun, tak ada lagi yang bisa kami lakukan selain bermimpi. Semua diawali dari mimpi yang berkesungguhan. Biarkan kami bicara tentang omong kosong yang selalu dilecehkan dan dianggap remeh. Biarkan kami bercanda tentang kegagalan yang sudah kami langkahi dengan ribuan peluh. Kami pun akan berkumpul membentuk lingkaran. Menceritakan mimpi kami satu per satu yang belum tercapai, bahkan sebagian masih beranggapan tidak akan tercapai. Namun, kami tidak takut. Kami tidak sangsi sedikit pun. Biarkan kami dihajar oleh kega

debaran

Gerak sandi nyawaku tak terhitung sudah. Berusaha melerai apa yang telah terbelenggu selama hitungan saat. Menyatakan untuk menjadi diri dan mengelabui delusi. Kota ini tumpuan tujuanku kalau terlalu takut untuk menghitung besaran negara. Telah tertatih namun napasnya masih sempat mencerai beraikan angkuh yang tergumpal. Kuasa tak lagi diperdudukkan di singgasana terkemuka. Terlalu lelah menanggung kebebanan. Dibungkam saja tetes pada mata. Dimasukkan kembali melalui pori-pori dan menggerogoti tiap organ yang dilaluinya di dalam. Dijadikan kesatuan kekuatan yang sanggup untuk berbangkit. Tak lama lagi. Ketika lewat tarian, kami bicara. Kata menjadi pisau tertajam yang pernah ada. Potongan gambar kian bermakna dan lebih menggelora. Semayamkan cara lama yang konon telah digenggamnya. Biarlah lakon kami bicara lebih keras. Peran kami mengampuhkan seluruh jawat. Maka, mata kami menancap dalam hati. Jangan tikam kami saudara sesama. Masih banyak masa yang bisa diselamatkan dalam cerita.

ketidaknyamanan dalam kenyamanan

Cita-cita saya hanya satu, yaitu berguna. Berguna bagi orang lain dan berharap bisa menyumbang sesuatu untuk nusa dan bangsa. Beberapa teman saya bilang kalau mimpi saya itu terlalu muluk dan klise. Ada juga teman saya mencemooh saya. Kemudian, satu malam, ada yang bilang kalau saya harus menjadi besar untuk melakukan perubahan. Malam itu, kami berdebat kencang untuk mempertahankan pendapat kami masing-masing. Saya merasa bisa melakukan perubahan meskipun kecil dan dimulai dari diri sendiri. Menurutnya, perubahan hanya bisa dilakukan oleh orang besar. Cita-cita saya itu membawa saya duduk di sini sekarang. Tempat ini memegang rekor bagi saya, tempat terlama yang saya diami untuk bekerja dan berkarya. Ada beberapa alasan yang saya sadari. Pertama, tempat ini sejalan dengan apa yang saya cita-citakan. Memang, saya jauh sekali dari isu yang diusung tempat ini, bahkan kadang merasa tak sanggup lagi untuk mengejarnya. Akhirnya, terasa tak berguna dan terlantar. Kedua, tempat ini menawarkan

impulsif

Keinginan ini menggebu-gebu. Sudah coba ditahan berminggu-minggu, tapi masih sama saja menggebunya. Saya harus beranjak dari sini. Saya tidak tahu akan melangkah ke mana. Bahkan, saya malah menjauhkan diri dari kepastian. Meletakkan diri di area gamang yang keabu-abuan. Saya harus beranjak dari sini. Sungguh, ini bukan masalah pertentangan idealisme, justru saya memperkaya idealisme saya di sini. Bukan pula rasa penolakan di sana-sini. Saya tidak melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Memang, mereka bilang begitu caranya. Tapi, tidak semua orang puas dengan jawaban itu. Dan, saya tidak bisa memuaskan mereka. Entah kenapa, saya merasa harus memuaskan mereka. Saya suka melakukan hal lain di sini, tapi bukan sesuatu yang seharusnya saya lakukan. Saya suka memahami isu di sini, tapi bukan dengan cara seharusnya saya bekerja. Saya nyaman di sini, mungkin bukan seharusnya. Ah! Impulsif! Tak perlu bingung seharusnya, toh minggu depan mereka juga sudah memecat saya.

sembunyikan senyum

Gambar
Di antara lelah yang tak berkesudahan Ia mengendap bersembunyi Mencari lubang untuk menanggalkan senyum sebanyak mungkin sebelum habis Diletakkannya di celah terdalam agar tak diambil orang Ia sisakan saja untuk di penghujung malam Sebelum malam habis, ia kembali ke tempat itu Sibuk mencarinya Tak bisa ditemukan apa yang telah ia simpan diam-diam Di seberang sana, aku menunggu setengah mampus Kupersiapkan seribu umpatan baginya Datang pun ia tergesa-gesa akhirnya Dengan tangan yang dibentuk sedemikian rupa Seolah membawa air yang tak boleh menetes di antara sela jari dan tangan Di situlah ia letakkan senyum yang sudah retak tertindih Sengaja ia simpan dengan maksud baik-baik untukku Malam itu kusisipkan rindu beserta rasa pada kemejanya sebelum ia terlelap

mutualisme

Hari ini seorang teman setengah memaksa minta bertemu pada larut malam. Saya duduk di meja itu sambil memesan kopi. Padahal, sebelumnya, saya sudah berjanji tidak akan meminum kopi lagi karena sudah dua gelas. Namun, jam-jam ini pun harus dilalui bersama kopi. Dengan mata lelah dan badan yang hampir tak bertenaga, saya tunggu dia yang katanya sudah dekat. Sesampainya, temanku itu langsung memesan satu botol bir ukuran kecil. Matanya sembab, tapi justru menunjukkan wataknya yang begitu keras. Keras itu selalu kuartikan sebagai berani, bukan sebagai pemberontak tanpa toleran yang sering kali diinterpretasikan orang. Keras itu kuanggap sebagai kekuatan. Aku sudah memutuskan sejak awal ajakan. Aku hanya bersedia sebagai pendengar. Rasanya, otakku sudah tak sanggup untuk menelaah ceritanya lebih lanjut, apa pun itu. Jadi, kudengarkan saja ia berceloteh. Setelah kurangkum, ternyata dia merasa diperdaya oleh kekasihnya. Dia bilang, tidak terjadi simbiosis mutualisme dalam hubungan mereka. Sal

mereka benar

Mereka benar. Sudah berkali-kali kusanggah. Bahkan, kurela menepis segala aku dalam diri ini hanya karena tidak rela bahwa mereka benar. Tak segan juga aku bertanya padanya untuk meyakinkan bukan kita yang salah. Tapi, ternyata mereka benar. Bukan karena omongan mereka yang selalu mengganggu keseharian kita. Bukan juga rasa bersalah kita pada rasa sakit hati depan orang-orang. Bukan padamu. Bukan padaku. Salah itu begitu saja menyublim dan tak terekam jejaknya sehingga tidak dapat dikatakan kesalahan. Ini hanyalah sesuatu yang tidak benar, tapi bukan kesalahan. Bukan rasa kita yang pudar, sungguh kita yakin ini besar. Memang, kita tidak tahu ini kurang atau lebih karena perbandingan itu tabu untuk sesuatu yang tidak terukur secara kasat mata. Tapi, ini pun tidak benar. Dan, sekali tidak benar, ketidakbenaran lain pun akan muncul perlahan-lahan. Mereka bilang memori bukan sesuatu yang bisa dipersalahkan. Aku sudah bilang pula, ini bukan sesuatu yang salah, hanya tidak benar. Kuulangi se

mimpi

Sudah seminggu saya diganggu oleh mimpi yang berlebihan ini. Bahkan, baru saja semalam, saya benar-benar memimpikannya. Ayo, alam, beri saya energi itu!

beasiswanya

"Sayang, aku berangkat, ya. Aku mau ketemu sama Mas Ahmad dan istrinya." "Lho, kok tumben? Ketemu di mana?" "Iya, tadi dia telepon. Belum tahu ketemu di mana. Apa rencana kamu?" "Aku mau pergi sama Bapak-Ibu. Makan malem mungkin." "Bertiga aja? Kakak nggak ikut?" "Kakak masih ada acara di kantornya, mungkin nyusul." Setelah telepon itu ditutup, saya bergegas. Saya tidak sabar untuk menerima surat yang nanti dikasih oleh Mas Ahmad. Mas Ahmad adalah senior saya waktu di kampus. Sekarang, ia bekerja di salah satu lembaga donor internasional. Seminggu yang lalu, saya memberikan abstrak skripsi dan surat motivasi kepada kantor Mas Ahmad. Mereka akan memberikan hibah untuk digunakan sebagai biaya sekolah di negaranya, Australia. Namun, abstrak dan surat motivasi itu bukan punya saya, melainkan punya pacar saya, Ben. Jadi, surat keputusan diterima atau ditolaknya diberikan langsung kepada saya. Sejak pertama kali kenal, Ben mengerahk
Gambar
Di atas adalah gambar Gala, dewa waktu. Ia selalu ada di atas pintu Angkor Thom, Kamboja. Ada satu hal yang menarik. Sekali makan, ia tidak bisa berhenti. Oleh karena itu, Syiwa memanggilnya untuk menghabiskan makanan. Syiwa mengadakan kontes memasak untuk mencari koki. Jadi, banyak sekali makanan yang tidak bisa dihabiskan. Datanglah Gala—karena diminta Syiwa—untuk menghabiskan semua makanan. Makanan kontes habis, Gala tetap merasa lapar. Akhirnya, Syiwa memberikan semua makanan di istana untuk Gala. Meskipun sudah habis, Gala masih saja lapar. Syiwa sudah tidak punya makanan lagi. Akhirnya, Syiwa meminta Gala untuk memakan tubuhnya sendiri. Gala pun memakan kaki dan badannya. Akhirnya, ada yang mengadu kepada Wisnu. Wisnu membuat Gala berhenti makan. Tersisalah kepala dan tangannya. Syiwa meminta maaf kepada Gala. Atas dasar permohonan maafnya, Syiwa meletakkan Gala di atasnya. Semua harus berjalan di bawah Gala, kecuali Wisnu. Wisnu selalu duduk di atas Gala. Oleh karena itu, simbol

aku milikmu...

ku berharap abadi dalam hidupku mencintamu bahagia untukku karena kasihku hanya untuk dirimu selamanya kan tetap milikmu Di atas adalah penggalan lirik dari “Ku Ingin Selamanya” ciptaan Ungu. Salah satu teman saya senang sekali ketika seseorang yang ia suka menyayikan lagu ini untuknya. Katanya, ia merasa dicintai oleh orang itu karena liriknya yang ‘aduhai’. Saya coba cari liriknya dan baca ulang, walaupun nadanya lupa-lupa ingat. Kemudian, saya tidak merasa ada sesuatu hal yang bisa membuat saya “meleleh” dari lirik itu. Malahan, lirik itu membuat saya berpikir ulang tentang relasi kebahagiaan dan kepemilikan dalam berhubungan intim. Setelah diperhatikan ulang—sekaligus mengingat-ingat kisah cinta pribadi pada zaman dulu, banyak perempuan maupun laki-laki yang merasa tersanjung ketika ada pernyataan “aku milikmu” atau “kamu milikmu”. Bisa-bisa, pernyataan itu membuat kita jadi mabuk kepayang akan cinta. Padahal, pada saat yang sama, sebenarnya kita secara tidak langsung kehilangan di

hmmm

Ragam rasa terdalam ingin kukuakkan padamu. Sungguh pun terindu ini tak dapat dielak. Tak sanggup kukatakan dengan terus terang. Aku terlalu takut. Bukan takut berhadapan denganmu dan apa pun reaksimu. Sungguh justru itu yang ingin kuhadapi sekarang. Kemanusiaan yang penuh dengan kewajaran. Bolehkah kita ciptakan satu haru maya yang begitu nyata? satu hari pada hitungan kedelapan dalam satu minggu mungkin. Alismu mungkin terangkat tak percaya. Sudah lelah menanti jamji yang hampir seperti cerita biasa penuh bualan. Aku terlalu sendiri. Tersesat di tengah kegagalan dalam kesuksesan. Terlontar dari kesedihan di pojok kebahagiaan. Masihkah kau duduk di sana? Berdiam dengan harapan yang menipis akan kedatanganku. tetap menepati janji yang dinanti. Aku pastikan. Aku akan datang jika diperbolehkan. 150710 01.13 am

jatuh

bukan perhatian berlebih yang kami inginkan, itu hanya akan membuat kami merasa lemah bukan pula acuh yang kami nanti, itu pun hanya akan membuat kami merasa bukan siapa-siapa jangan tunggu pendengaran dari kami, tak ada yang harus kami sampaikan tak pelu dihitung sisa perjuangan kami, itu membuat kami lelah karena masih terlalu panjang kami hanya mau dirasa agar kami merasa tenteram tak perlu tenang karena biasanya hanya bualan mohon juga jangan nyaman karena kami akan kerasan kami belum sampai semua tidak harus berhenti di sini

juang

Dan di sini pun aku berjuang sendirian. Terlalu banyak yang kuanggap musuh di luar ini semua. Tiba-tiba semua memutuskan hubungan sebagai sahabat dan menyerang perlahan-lahan. Bukan berupa tusukan tajam yang rasanya langsung sakit, tapi hanya lecetan panjang di seluruh tubuhku. Terlalu perih dirasakan bahkan jika persentuhan dengan sehelai kapas pun. Hanya ada aku dan apa yang sedang kuperjuangkan.

angkuh

Ke mana lagi aku harus mengadu ketika semua menanggung pedih yang tak berkesudahan? Ke mana lagi aku harus beringkar ketika semua bahkan tak bertahu? Semua orang begitu merasa dewasa. Menjaga masalah dirinya yang dilipat rapi dan disakukan sehingga tak terlihat. Berlaga ada untuk orang lain dan menyampingkan apa yang bergelut dengan kasar pada otak yang menusuk-nusuknya hingga pusing bermalam-malam. Penjagaan ketat pada apa yang ada di sakunya itu hanyalah sebagai satu bukti nyata. Bukan bukti untuk orang lain, sama sekali tidak, meskipun itu yang selalu dikatakan berulang-ulang. Bukti itu untuk dirinya sendiri agar ia merasa bisa melewati segala sesuatu dengan baik-baik saja. Tanpa perlu orang lain. Tanpa perlu seperti cerita orang lain. Mereka sungguh tidak menginginkan untuk merangkak di tengah jalan raya, maka mereka simpan dalam saku itu. Tak ingin berpatah tulang karena telah dijatuhkan dari apa yang baik-baik saja pada awalnya. Tapi, sayangnya, tidak selamanya ia tergeletak diam

terkikis

Malam ini banyak mengajarkan. Ketika merasa dijadikan sebagai subjek, sesungguhnya bukan berarti seutuhnya menjadi subjek. Justru, tanpa sadar, mengobjekkan diri sendiri. Itu semua tanpa sadar. Semua utuh digerogoti perlahan-lahan. Terlalu kecil gigitannya hingga sama sekali sakit tak tersadar. Hingga satu hari, terbangun dalam keadaan setengah utuh. Bukan siapa-siapa. Bahkan, bukan apa-apa.

geram

Sepulang dari kantor, dalam perjalanan, kuperhatikan sekelompok anak berseragam putih abu-abu yang sedang duduk-duduk. Beragam sekali ekspresi mereka siang itu. Adikku, nanti, semua yang terjadi pada saat ini akan sangat berarti pada hari nanti. Ah, aku terlalu kedewasa-dewasaan. Sama saja dengan orang-orang yang belagak dewasa. Beri pesan ini-itu yang akan dijawab dengan pergi. Aku jadi ingat betul ekspresimu siang itu ketika kita masih sama-sama berputih abu-abu. Kau datang dengan geram. Tak pernah kulihat kau seperti itu. Peluh keluar dari dahimu. matamu begitu berbicara tentang kekejaman. Tanganmu terus mengepal menahan apa yang berusaha membludak dari dalam. Tak berapa lama, kau menghilang. Lama sekali. Sekembalinya kau, sungguh perubahan besar terjadi pada dirimu. Banyak bentuk yang menyenangkanmu kau tinggalkan. Tanggung jawabmu terkuak setiap saat. Sungguh, kami merasa aman berada di dekatmu. Pelindungmu begitu menghangatkan dan memanjakan kami. Ah, kau sungguh pecinta wanita.

sepuluh kain putih

Sepuluh lapis kain putih kau cari di setiap laci yang ada di kamarmu. Bahkan, baju-baju yang ad adi lemari atau bahkan sepreimu kau akalkan juga agar terkumpul genap sepuluh. Awalnya, kau hanya butuh lima, tetapi ternyata belum lengkap menutup. Kau cari dua lagi. Masih terlihat juga dari luar. Sampai akhirnya kau memerlukan sepuluh helai kain. Memang, sepuluh pun bukan berarti tak terlihat dari luar, tapi setidaknya segala bau busuk dan cairan hitam yang keluar sudah bisa tersingkirkan, meskipun tak sepenuhnya. Peluhmu melantai. Tenagamu habis terkuras. Belum saatnya berhenti di sini, pikirmu. Kau lari keluar. Jalan kaki menuju tempat kami berdua. Tak ingin naik transportasi umum agar tak banyak orang tahu. Tak juga kau jinjing di dalam tas, tapi kau taruh di kedua telapak tanganmu. Kau jaga betul karena tak mau kehilangan sebenarnya. Bersama peluh tak terhitung dan garis hitam pada bawah kelopakmu, kau sudurkan kepada kami. Tanpa kata-kata. Tanpa air mata. Senyum saja. "Apa

tas kamu

Gambar
Aku ingat betul dengan segala kebiasanmu, termasuk kamu dan tas kamu. Tas itu tak pernah kamu tinggalkan, selalu kau bawa ke mana-mana. Aku sadar betul sejak pertama kali kita bertemu. Tas itu sudah kumel sekali, tapi tanpa malu kau punggungkan. Aku selalu penasaran isi tasmu waktu itu. "Isinya senyum. Setiap orang yang melihatnya pasti tersenyum," jawabmu tanpa penolakan. Malam kesekian, tas itu kamu buka di hadapanmu. Aku ingat betul malam itu. Kamu banyak cerita tentang mantanmu. Panjang sekali ceritanya dan bara itu masih menyala pada semangatmu. Banyak kisah lucu yang kau ceritakan dengan senyum, seolah mengajak pendengar ikut tersenyum. Itulah kebiasaanmu lainnya. Selalu bersemangat ketika menceritakan mantanmu. Tapi, aku lupa apa isi tasmu. Aku rasa aku sama sekali tidak melihatnya. Kebiasan lainnya adalah menyiapkan pernak-pernik untuk dipakai di tasmu itu. Kadang, kau ikat pita. Lain waktu lagi, kau taruh pin. Beberapa kali pula kau tanya aksesoris yang bagus untuk d

sayap

Tahan sebentar luapan amarah itu, salurkan saja pada rintik hujan yang tak mereda sedari lalu. Lambatkan langkah untuk berlari di tengah kegersangan yang menyendiri. Bukan maksudku untuk melenyap di antara ketiadaan seharimu. Aku sedang berkutik dalam ruang gelap tak beralamat. Sibuk meramu berbagai bahan kimia yang dibagi-bagi dalam tabung-tabung. Pada saatnya nanti, kubawakan satu tabung untukmu. Ramuan itu dapat menumbuhkan sayap yang bisa membawa terbang. Terbangan itu dapat terlalu tinggi dan terlalu jauh sehingga dapat melenyapkan dalam sekejap. Sabar sebentar, aku akan datang. Berikut sayap pesanan.

basah

tak ada lagi kekeringan di negeri ini semua berkebasahan segala cara dilakukan untuk menjadikan lahan basah tak segan-segan mereka berceloteh dengan nada bangga bahasa tinggi yang dielu-elukan atas nama perlindungan namun, kami tak merekah layaknya binatang yang mengeluarkan durinya untuk berlindung nasionalisme kami dijaga ketat takut ada celah untuk menguapkannya mereka hanya butuh hujan berkepanjangan untuk membelokkan kami pada kepentingan praktis teoritis terlalu mengelana konon semua embun sudah berjuta kali mendengar rintih selalu setia hadir untuk mendengarkan kembali rela menghilang demi memulai perjuangan

pembuka pintu

Dulu, ketika belum banyak perubahan yang terjadi, perempuan itu suka berdiam diri di kamar depan. Kadang ia menonton film atau mendengarkan musik dengan volume kecil atau membaca tanpa suara apa pun. Ia menantikan adanya suara pintu depan yang begerak. Ketika suara itu terdengar, biasanya ia tersenyum simpul. Kemudian, keluar untuk membukakan pintu dan pindah ke kamar belakang bersama si pembuka pintu tadi. Diceritakannya kisah tak penting hari itu sampai terlalu lelah untuk pindah kamar. Atau, dipilihnya film yang sama sekali bukan seleranya. Menontonlah mereka film si pembuka pintu sampai terlelap. Sekali-kali, ketika kantuk sudah tak tertahan, tersadar betul selimutnya dibenarkan untuk melindunginya dari dingin dan sengatan nyamuk. Pembuka pintu pun selalu menunggunya tertidur pulas untuk menelepon pacarnya tengah malam di luar setelah mematikan lampu kamar belakang. Ketika pagi datang, biasanya mereka masih berada di satu kasur yang sama. Sekarang, sudah banyak perubahan terjadi. F

abu rokok

Saya terburu-buru membuang puntung dan abus rokok yang sudah menggunung di dalam asbak. Itu pun kulakukan diam-diam. Tak ada seorang pun yang boleh melihatnya. Bukan karena ada yang melarang dan aku takut ketahuan, hanya saja aku tak mau ada yang tahu. Ikut kubuang pula rasa bersalah yang terlihat kotor dan akan menyakitkan nantinya. Itu semua semata-mata aku tak mau lagi diingatkan akan rasa bersalah mengotori paru-paru. Apakah pada dasarnya orang selalu membuang rasa bersalahnya untuk tak terlihat lagi oleh dirinya sendiri? Untuk kemudian bisa melakukan lagi. Bukan sama sekali tanpa rasa bersalah, hanya mengurangi rasa cemas. Walaupun begitu, pada akhir nanti, bukan berarti sesal tak pernah datang. Napasku hanya sebentar. Biarlah aku terkejar oleh waktu yang menyempit untuk melakukan banyak.

35 tahun

Hari ini Ibu saya meminta pulang; memohon saya untuk membatalkan jadwal mengajar saya sore ini. Saya pun begitu ketakutan akan berita yang nantinya diterima. Tak mau sendiri, saya hubungi kakak-kakak saya yang lain. Kemacetan dan kederasan hujan saya terabas. Sesampainya di rumah, formasi sudah lengkap, tentu saja kecuali kakak saya yang pertama karena terlalu dan selalu sibuk. Ibu saya menjelaskan cerita pagi tadi kepada kami. Hari ini adalah hari di penghujung Mei. Artinya, hari terakhir ayah berada dalam jabatan struktural di kantornya. Sudah selama 35 tahun, ayah selalu pulang pergi ke kantor yang sama di tempat yang sama pula. Tentu saja, dari bukan apa-apa sampai menjadi apa-apa. Hari ini pula, saya belajar untuk menjadi apa-apa. Ibu pun memutar di hadapan kami sebuah video yang dibuat oleh rekan kerja dan anak bimbingan ayah saya di kantor. Begitu detil video itu. Semua diawali oleh kantor ayah saya di bilangan Gatot Subroto yang hampir tak berubah bentuknya sejak saya pertama k

pulang

Malam tadi, saya bangun tergagap. Keresahan memenuhi kamar. Langsung saya toleh kiri-kanan, memastikan di mana sebenarnya kenyataan berada. Semua lengkap seperti sebelum saya tinggalkan. Namun, rasa lega belum bisa meluluhkan kecemasan.Saya biarkan saja seolah tak peduli. Bunga tidur kadang memang begitu jahat daripada apa yang sebenarnya. Tiga jam setelah terbangun, saya coba mencernai bunga-bunga itu. Hanya ada saya dan kakak perempuan saya di antara empat bersaudara itu. Ibu, kakak, dan saya sangat telrihat panik di dalamnya. Ayah kesakitan, tetapi--seperti pada kenyataan--bersikap seperti tak apa-apa. Masih bersedia menyetir untuk kepindahannya dari RS Harapan Kita ke RS Pondok Indah. Di perempatan Antasari, setelah dibujuk-bujuk, akhirnya ia meminta saya untuk menggantikannya. Bunga belum selesai. Sesampainya, seorang adiknya marah-marah kepada Ibu karena dianggap tidak mempunyai waktu. Saya pun berani menerobos posisi hierarkis yang dipegang teguh dalam budaya Jawa kami. Saya tan

ketibaan

hari yang begitu biasa akan tiba tak ada lagi kebiruan di sudut kamar harapan melenyap dijemput kekecewaan. hari yang begitu biasa akan tiba

kemanusiaan

"Trus, trus" "Ya gitu, deh, jalanin aja." "Iya... Jalanin aja, lah, ya, daripada daripada..." "Nanti juga ketauan ujungnya." "Banget.. Capek soalnya. Setuju banget." "Takut sih, tapi gimana lagi?" "Nggak usah takut, lah..." "Tapi, nanti gimana?" "Siapa yang tahu, sih, nantinya gimana?" "Itu yg bikin takut. Emang lo gak takut?" "Fear is a friend who's misunderstood..." "Jadi, harus dibikin mengerti, dong?" "Nggak harus, sih. Dipahami saja." "Jadi, cuek aja, nih?" "Cuek bukan berarti ignorant." "Jadi, apa dong yang tepat?" "Lo yang lebih tahu, lah." "Tapi, manusia cenderung butuh rekonfirmasi." "Tapi, individu nggak selamanya harus menyerah pada kemanusiaan."

balon udara

Biarkan kita berbincang lewat tawa untuk menutupi ketakutan yang membara. Ceritakan lagi kisah yang sudah pernah terungkap agar rasa sakit ini tak terlihat jelas. Tak perlu ada kejujuran untuk menutupi rasa bersalah. Aku pun ada di sini karena kebohongan besar yang sudah mendarah daging. Diterbangkannya kita untuk melihat pemandangan. Namun, kita hanya bisa menikmatinya dengan menutup mata. Tak ada cara lain. Yakin bahwa pemandangan dalam citra mental lebih bagus daripada yang terlihat di atas sana. Pejaman ini mengurangi gemetar tubuh akibat ketinggian yang ditakutkan. Saat itulah, ia memanggil, memintaku untuk melihatnya. Tak ada cara lain untuk berkomunikasi dengannya, aku harus melihatnya. Bahasa isyaratlah pilihan yang tertinggal, sisanya kabur. Aku harus membuka mata di atas sana dan memandangnya di bawah. Nyata. Jelas. Tubuhku kaku, melebihi gemetar ketakutanku. Ia pun mengisyaratkan, "Jangan takut jatuh. Aku ada di sini. Bukan untuk menunggumu jatuh, tapi kehidupanku mema

media sosial

Melihat media sosial seperti melihat foto-foto dalam kehidupan orang lain. Apa yang dianggap penting, menarik, dan memainkan perasaan mereka. Hal-hal sepele sampai berkepentingan begitu dieksploitasi dan disebar maknanya. Seketika saja, saya lupa dengan rekaman kecil-kecil dalam kehidupan saya sendiri. Semua tercecer berserakan di mana-mana. Bahkan, tak sedikit yang harus saya pancing berulang kali untuk mengartikan kembali simbol-simbol yang saya buat saat itu. Mungkin, saya kurang suka dengan eksploitasi. Dasarnya mungkin ketakutan akan penilaian orang yang membekas dan mempengaruhi dalam bersikap dan berperilaku. Jadinya, sibuk berdiam diri untuk mengobservasi. Repot kasih nilai ini-itu atas apa yang saya lihat. Pada saat yang sama, merasa belum melakukan apa-apa. Jauh dari kata hebat seperti yang terlihat pada foto orang lain melalui tulisan dan gambarnya. Kereta mungkin sudah terlalu jauh dan meninggalkan saya sejak lama.

coffee and you

Here, here, just come here silently.. Hear this music. Wait here, I'll make you a cup of coffee so you don't have to worry what we're gonna talk about. It's nothing. We won't talk. Just do what we need to do. Do it like it supposed to be, sun won't sleep tomorrow just to wait for us. That's the deal. Here, here. We're nowhere. We're nothing. But, if you come, we're definitely sure where we are and who we are. We know what we do if someone understands. We know ourself then. I know it's you. Here, here. Here's the coffee.

Maumu saja

Belakangan, ia terasa seperti terpojok. Dianggap menghilang dari dunia yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Saya tahu, sangat tahu, ia mengasingkan diri untuk menjalankan sesuatu yang dinamai tanggung jawab pula. Persetan dengan tanggung jawab, katanya. Semua sibuk minta waktu, teriak menuntut komitmen, kata-kata sarkastik pembuang uang. Ia pun sudah berusaha meninggalkan apa yang dimiliki. Hampir setiap hari, fesesnya penuh dengan sisa mie instant. Bangkai pisang pun menjadi satu-satunya makanan sehat. Tapi, maaf, itu bukan bagian dari tanggung jawab dia, pikir mereka. Saya sudah kasih tahu dia berkali-kali, semua orang pasti menagih haknya, temasuk, waktu, pikiran, dan kerja keras. Hidupmu pun bagian dari hak mereka, jawabku. Ia membisikkan perlahan bahwa identitasnya melenyap. Orientasi hidupnya terkikis sedikit demi sedikit, entah karena apa. Bahkan, mungkin karena kepercayaan orang, bisiknya. Atau, ketakutan yang tak kunjung lelah. Malam itu, ia dihampiri temanku yang lain.

menjadi sepatu

Dia itu seperti pemancing yang hanya mendapat sepatu usang. Ya, saya bahkan menilai diri saya waktu itu sebagai barang yang sangat tak berharga. Dibuang begitu saja dan sama sekali menjijikkan, dipenuhi kotoran yang saya anggap tak bisa hilang. Dia mengelap sepatu itu perlahan-lahan. Membelikan tali yang baru sekaligus menyemirnya hingga tampak lebih baik lagi. Sepatu itu dijemur hingga kering tanpa pernah ditinggalkan dari sampingnya. Dia rela mati-matian membela sepatu itu. Apa pun. Ia bahkan meminta izin untuk membawa sepatu itu bermalam dengannya. Sampai pada akhirnya, ia rela menjadi sepatu sebelahnya. Sekarang, kami berguna. Kami menjadi sepasang sepatu baru yang nyaman. Dia bahkan sampai lupa seperti apa saya waktu pertama kali ditemui.

harmonis bukan keharusan

"Mereka tidak harmonis, tetapi terus bersama atas dasar banyak hal. Saya justru belajar banyak dari situ. Mereka tetap orangtua saya." Saya pun meneteskan air mata tanpa kamu lihat.

komitmen dari ibu

Pagi kali ini dibuka dengan berbeda, walaupun apa-apa di sekeliling tak berubah. Kopi, rokok, dan ibu yang selalu tak pernah tampak mengeriput di mataku. Entah apa yang mengantarnya pada topik pagi itu. Tak dijelaskan langkah sebelumnya, langsung sampai tujuan. Komitmen, katanya. Semua orang butuh komitmen untuk tidak mendengar apa yang dianggap benar oleh sekitarnya, lanjutnya. Percaya pada komitmen. Itulah yang disampaikan begitu saja. Sebenarnya, masih banyak lainnya, tapi--maaf--tidak sesuai dengan apa yang aku percayai. Jadi, aku tidak mendengar sisanya. Mungkin, aku langsung mengaplikasikan nasihatnya. Tidak mendengar apa yang--bahkan--ibu anggap benar karena aku sudah berkomitmen untuk percaya bahwa tidak seperti itu "seharusnya". Dalam setiap perkenalan, aku percaya itulah tempat dan saat untuk mengenal. Bukan mengenal orang, tapi konsep yang dipahami. Sejauh mana perkenalan itu membawa suatu bentukan baru hasil rekonstruksi. Betul memang, hasil rekonstruksi itu yang

ceritakan lagi

Ayo, ceritakan lagi semuanya. Kisah masa kecilmu, patah hatimu, prestasimu, saat berkesanmu. Jangan kehabisan. Cari terus. Kalau sudah lelah mengingat, karang saja. Buat itu semua semeyakinkan mungkin. Jangan lupa untuk menciptakan dampak ketertarikan. Ungkap suatu kenyataan yang masih bisa menyenangkan. Kalau benar-benar habis, kamu mesti siap ditinggalkan. Saya ini hanya pendengar. Mungkin itu satu-satunya yang bisa saya lakukan.

tenggelam

“Aku mau tenggelam.” “Mau ketemu apa di dasar?” “Sesuatu yang belum pernah dilihat.” “Di atas juga banyak yang belum pernah dilihat.” “Iya, tapi aku bisa terbang, tidak bisa berenang.”

profesor

“Prof, saya mau ganja satu garis.” “Saya kirim setelah saya revisi.” “Saya tidak punya apa-apa.” “Asal kamu bersumpah mengerjakannya setiap hari.” “Baileys caramel ada juga, Prof?” “Itu bisa berguna bagi kaummu di negara ini.” “Makanya, saya mau jadi profesor.” “Habiskan dulu itu semua untuk melatih cara berpikir.”

perbedaan adalah persamaan

Kami ini hanya penikmat. Mencari segala bentuk untuk disesuaikan dengan kain pelapisnya. Perbedaan dielu-elukan merupakan kebohongan besar. Justru persamaan menggiring kami kepada sesuatu yang disebut dengan penerimaan. Penerimaan pun selalu menggandeng pengakuan. Dalam pengakuanlah kami bisa bernikmat. Sementara sibuk berkoar-koar soal menerima perbedaan, pada saat yang sama malah mencari keserupaan. Identik dalam konsep agar merasa didukung. Dukungan pun membutuhkan pengakuan sebelumnya. Koaran itu seperti saja dua muka yang bisa dibolak-balik. Menentang pemikiran yang sama. Sibuk berdebat tentang sesuatu yang sudah sependapat. Kami ini hanya penikmat. Perdebatan merupakan langkah awal untuk menjadi pemenang, merasa lebih tinggi daripada yang lainnya. Bukan kebenaran yang kami nikmati. Pengakuan untuk menjadi lebih menciptakan suatu rasa yang sama seperti yang mereka alami saat menyeruput kopi di pagi hari. Penikmat kopi juga, bukan?

tutup mulut

Dalam tangan ini, dia berbicara banyak. Mencari perlindungan dari ketakutan sehari-hari yang tak pernah diungkapkan. Tak pernah terkatakan kekhawatiran yang menggebu-gebu. Resah itu datang dari tiap kata yang tertulis dalam papan-papan yang dibawa saat demonstrasi. Laporan-laporan yang tak berjelas sumbernya membawanya pada sesuatu yang melelahkan. Tak ada cara untuk lari dari sistem yang sudah terporak-porandakan. Pidato itu apa isinya? Formalitas atas fungsi yang patut dipertanyakan. Semua sibuk berkata, berteriak, bertangis, dan berdiam. Tapi, siapa yang didengarkan? Berlomba menjadi besar untuk dilihat, belum tentu didengar, apalagi diperhatikan. Tutup mulut, keluhan itu asalnya dari hati. Ditumpahkan melalui anggapan ketiadaan yang dianggap maha pada saat kesadaran tiba. Menunggu kesadaran tak ada gunanya.

sinar tak tergapai

Meja kayu bundar berukuran kecil di depan. Empat kursi kayu secara terpisah mengelilingi meja itu. Tidak semuanya terisi. Beberapa saja. Biasanya juga begitu. Terisi semua acap kali terlalu sesak. Menghamparlah tetinggian pohon yang masih saja digoyang angin terpelan. Kucari satu titik yang menggoda untuk ditelusuri lebih jauh. Masih itu-itu saja titiknya. Kilapan lampu di atas julangan tinggi. Tatapanku membeku seolah tidak mengacuhkan kelihaian pucuk-pucuk yang sering kali menutupi. Kemudian, pucuk itu membiarkanku melihatnya lagi. Menutupnya kembali. Lebih terang sekejap, redup pada milidetik selanjutnya. Dibiarkan saja aku terpukau oleh kesederhanaan. Justru kompleksitas ada dalam kesederhanaan. Diganggu dengan mesra lagi dengan cahaya kuning yang menyamar menjadi siluet pohon. Berkali-kali. Terus saja begitu. Suatu kerutinan tidak selalu membosankan. Sedang apa penghuni lainnya? Ah, paling memelukku. Sinar yang tak tergapai lebih mempesona.
tujuh april dua ribu sepuluh kurang dari bulan semua harus rampung. HARUS. segala alasan sudah dipatahkan untuk menundanya. tapi, lebih banyak lagi yang menunggu. lebih banyak lagi pengorbanan pada nantinya. kemudian, saya memilih di sini. berusaha menjawab semua pesan dan harapan. bukan untuk mereka saja, tapi juga untuk saya sendiri. ini sudah jam kesekian. saya sama sekali tidak beranjak dari depan laptop. tak ada satu pun kata yang seharusnya bertambah untuk diketik. ini pun sudah menit kesekian saya tidak bisa berhenti terisak-isak. walaupun saya tahu ini tidak akan membantu saya untuk menyelsaikannya, justru menghambat. saya buntu. sebuntu-buntunya. saya tidak punya gambaran besar tentang apa yang akan saya tulis. saya tidak bisa berpikir. saya mati. otak dan hati saya tertegun sekian lama. saya seduh kopi panas untuk menenangkan diri saya sendiri. saya mohon dengan sopan supaya orang-orang segera membiarkan saya sendiri. siapa tahu saya jadi tahu saya harus menulis apa. tapi, s

jeda

Di antara jeda gerak keseharian, aliran darah ini juga membutuhkan kesegaran. Bukan untuk apa, hanya meredakan arus yang terderas dan melancarkan arus yang tersumbat. Maka, berilah kata-kata padanya. Tak perlu manis atau penuh rayuan memuji. Cukup sampaikan adanya saja. Jika memang terlalu banyak ketakutan, cukup hantarkan kata-kata itu dalam diam. Asap dari panasnya kopi akan mengepul di antara kita. Seolah memohon perhatian kita untuk setidaknya mengaromakan harumnya sembari mengiringi kediaman itu. Sebelum semua ini selesai, kujanjikan satu dekapan. Tidak terlalu erat. Hanya diharapkan dapat melupakan sesebentar mungkinputaran dunia yang terlalu cepat, tekanan sosial yang menderu-deru, dan stereotipe yang menghantui. Biar saja kita nikmati kata-kata dan aroma kopi tanpa nilai, tanpa harus dibagi dengan sesiapa lagi. Untuk kemudian siap terjun kembali pada pekatnya keseharian dan keharusan.

identitas perempuan

orang-orang bergerak lebih cepat daripada biasnaya. atau, saya saja yang semakin melambat. entah apa lagi penghalang. segala yang ada sudah saya persalahkan untuk menjadi benar. terbukti lagi, oposisi biner selalu menyudutkan. bahkan, tidak menghasilkan apa-apa. jika benar dan salah tidak lagi menjadi masalah, kenapa aku dan kamu bicara dalam bahasa yang berbeda? meski itu, kamu tetap mengerti tiap kata. paham tiap maksud. aku pun begitu. kenapa masih juga aku permasalahkan? aku jadi ingat tengah pagi itu. bangun dengan resah yang menggeliat di tiap arteri yang ada. bertanya asal, siapakah aku. identitas itu menguap. kujabarkan terbata-bata dengan meminjam bahasamu. ke mana bahasa aku? bahkan, aku pun tak bisa menjelaskan identitasku dengan bahasaku sendiri. identitasku tercekam. bukan baru saja dirampok, tetapi aku baru tersadar bahwa ini adalah bentukan. seumur hidupku dibentuk oleh kebelengguan yang kamu ciptakan. dengan bahasa yang ada, kau bentuk pikiranku untuk menyamaimu. berusa

bukan apa-apa

aku selalu dibangunkan oleh perhelatan politik yang tak pernah kunjung selesai. lelah dengan saling menyalahkan dan melempar-lempar kambing hitam. tak ada lagi yang bisa dijaikan tersangka kuat untuk dimushi bersama. semua bersalah. apa yang aku tulis pun turut salah. dingin kaki yang hampir membuat kaku itu menyentakkan kamu dari kelelapan. tak ada berita apa pun. politik jauh. teroris tak sibuk. semua ramah. cuaca berakrab. tanah tinggal bukan perkara saat ini. apa-apa hanya bergerak di sekelilingmu. segala yang ada di sekitar aku dan kamu berbeda. pekatnya matahari di sini tak terasa apa pun di sana. guyuran hujan yang merintik menjatuhi kepalaku tak pernah ada di sana. aroma yang kita aku dan kamu sungguh beda. selalu menyatakan sama, tetapi setiap perbedaan yang aku dan kamu lihat di sekeliling justru menguatkan bahwa ini bukan tempat yang sama, aku dan kamu berdiri pada titik yang berbeda. sama-sama tak bertujuan, tetapi menapaki jalan yang beda. apa yang ditinggalkan? korek api

Gunung Kapur di Pulau Dewata

Di sana serasa hanya ada kita bertiga. Aku, kamu, dan dia. Di antaragunung kapur yang terbelah. Terkesima dengan kelihaian pikiran manusia berikut kepanjangan tangannya dari besi untuk membelah alam. Meilhat karya manusia yang aduhai tinggi dan besar. Dibuat untuk dinikmati dengan cara dilihat, dicermati, dikagumi prose’s pembuatannya dalam bayangan. Tertegun saja kita bertiga di sana. Kirim senyam-senyum sana-sini. Berjalan beriringan menyusuri anak tangga. Naik dan turun semaunya. Tak ada garuda yang bisa kita tunggangi dari sini. Diam saja dia terpaku menanti Wisnu Kencana duduk di atasnya dengan gagak berikut setangkai teratai yang tak pernah luput dari tangannya. Tak ada pelukan di antara kita bertiga. Tak terlihat mesra seperti yag dibayangkan orang-orang dengan gambaran bahagia. Cukup bersebelahan dan membiarkan satu sama lain saling menikmati. Apa saja yang bisa dinikmati. Suasana yang hanya milik kita bertiga saja, kehancuran alam yang dikagumi, lirikan lirih orang-orang, patu

si tengkar

hai, tengkar kerasan sekali bermain-main dengan kami datang tiba-tiba saja tak kenal waktu, apalagi suasana bahkan, maaf, suka tanpa diharapkan selalu saja kamu tidak datang sendiri ajak si kesal dan si diam sekali waktu itu si tangis dan si teriak terlalu akrab dengan ego kami, ya? Satu saja yang tak pernah kau bawa ketika pergi Jadi, sekarang sudah menumpuk pada kami Untungnya, bisa kami gunakan Walau selalu masih kurang jadi, kami yakin kamu akan datang lagi dan meninggalkannya lebih banyak jangan pernah kau ambil, ya, meski sebentar kami kerasan dengan si paham kami tentram 10022010

tak ada yang cemburu

Aku dan kamu sama-sama diburu waktu. Semestinya, aku dan kamu sudah tidak ada di tempat ini lagi. Tempat panas, penuh asap rokok, banyak sampah, dan sesak oleh orang yang baru selesai makan seperti aku dan kamu. Kita sama-sama terjebak di sana. Hujan sedang senang menunjukkan pesonanya, begitu riang. Turun semaunya tanpa peduli baju kantor kita sudah basah terkena tampiasannya pada jam makan siang. Banyak orang menggerutu di sana. Pada awalnya, aku tidak ada masalah. Tapi, gerutu itu seperti penyakit menular. Tiba-tiba saja aku merasa panik karena belum ada di kantor jam segitu. Kamu pun diam saja. Tidak ada respons negatif. Justru tersenyum sambil melirik begitu kuselesai mendumel. Kamu tarik begitu saja tanganku. Berlarian di antara rintikan hujan yang tak mau kalah cepat daripada langkah aku dan kamu. Tertawalah aku dan kamu sambil sesekali melirik. Terus berlari membiarkan baju dan celana basah kuyup. Lompat masuk mobil dan tak berhenti tertawa. Dan, anehnya, hujan pun berhenti set

pergerakan Jakarta

Jakarta itu bergerak cepat sekali. Semua orang seperti sedang lomba dan banyak yang curi-curi untuk mulai duluan. Tapi, memang harus begitu. Kalau menunggu bunyi peluit sebagai tanda mulai, kita seperti tidak akan pernah memulai. Setiap kali mau memulai sesuatu, orang-orang cenderung lihat kiri-kanan. Lihat aktivitas orang lain dulu. Ada banyak alasannya. Pertama , mereka mau menyesuaikan dengan sekitar mereka. Kira-kira, mereka mau meyakini diri sendiri apakah yang mereka lakukan sudah ada di jalur yang benar. Padahal, jalur yang benar itu seperti apa? Setiap individu justru bebas memaknainya. Kedua , mereka mungkin menjadikan sekitar mereka sebagai motivasi. Mereka tidak mau kalah, selalu berusaha menjadi yang terbaik. Kembali lagi, terbaik itu bentuknya seperti apa? Kemudian, terbaik untuk siapa? Ketiga , mereka melihat sekitar mereka sebagai subjek-subjek yang bergerak bebas. Alasan ketiga tersebut membuat mereka akan terdiam selama beberapa saat, bahkan untuk saat yang lama. M