Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2013

Malang Dingin

Malang dingin Apakah sedingin hati yang bermalang? Sejauh jalanan yang dibasuh redup lampu kota Tatapan dalam mataku tertuju pada kalian Purnama membulat Sebulat semesta yang memanggilnya ke pangkuan Inilah kehilangan yang menghentakkan hatiku Sementara raga tak berada di sana Inikah yang Kau ajarkan? Meresapi ada tanpa kehadiran Tak pernah meninggalkan hati Tak jua berada di pelupuk mata meski dicari ke mana-mana Mereka datang dan menjajakan ikhlas Ikhlas ini hanya milik aku dan Kamu Kemudian, kami dibiarkan meresapi rasa ini Merasakan dekapan agar tenang Tenang Tenang Kita akan tenang Selamat tenang, Ibu. Malang, Januari 2013

Berteduh

Saya sudah berdiri di sini sedari pagi. Melihat ke atas, ke bawah, dan ke samping, tanpa pernah melihat ke belakang. Sudah saya kenal betul keadaan di sekeliling saya. Pohon yang tak bergerak dan tetap mengisi ruang. Burung-burung datang dan pergi dan tetap mengisi suasana. Orang lalu lalang memperhatikan saya dan berlalu. Ada pula orang berjalan tanpa melihat saya. Kepala kita sudah terisi dengan setiap jenisnya. Tak ada keinginan untuk saling melebur. Saya juga sadar, tubuh saya sudah terbalut oleh peluh. Matahari saja sudah lelah hingga semakin bersender ke barat. Seorang ibu yang berjualan jamu sudah lumayan lama duduk di samping trotoar. Kebaya kunonya manis, terlihat melekat di tubuhnya yang tak kurus dan terlihat begitu elok kecantikannya. Ia menyapa ramah tiap pembelinya, mengajak bertukar kata sepatah-dua patah sekalian mengungkapkan kejenakaannya mengatasi hidup. Saya masih berdiri; memperhatikan semua. Ketika pelanggannya sepi, ibu itu memperhatikanku

Daur Ulang

Seberapa sering kamu ingin berada di suatu tempat tanpa dikenali siapa pun?  Seberapa kerap dalam waktu yang sama mau didekap orang-orang yang paham? Kita jualah yang disekap ragu dalam anggapan ketakberdayaan padahal mampu Pembiaran terjadi atas nama pasrah yang terjangkit dari ketidakyakinan akan diri sendiri  Berceritalah kita tentang masa suram yang berakhir senyum berbekas Membuatnya menjadi sampah kehidupan yang terus bisa didaur ulang Sepanjang kehidupan, kita diajak terus mengubah bentuk Bahkan, terhadap pengalaman kita sendiri yang melekat

Selisipan

Ia yang kuceritakan berbulan-bulan lalu masih saja menanyakan hal yang sama. Apalagi, pertanyaannya masih sama dan jawaban saya pun tak pernah berubah. Setidaknya, belum berubah. Mungkin, memang benar, manusia kadang tak mencari jawaban. Pengulangan pun tak berbuah perbedaan. Bahkan, sekarang pertanyaan sudah berubah menjadi permintaan.  Waktu. Itu saja yang ia pertanyakan. Ia minta. Terus-menerus. Tanpa jera.  Berulang kali pun sudah saya jelaskan. Waktu hanyalah hitungan detik yang dibagi-bagi lagi. Saya juga sudah bilang, saya memberikannya lebih dari permintaannya. Ruanglah yang saya berikan. Namun, ia kerap meyakinkan saya bahwa ia minta waktu, bukan ruang. Saya pun coba menjelaskan berulang-ulang bahwa waktu bisa dibagi semaunya. Ruang? Apalah arti waktu jika tak ada ruang? Ruang yang sudah terisi tak bisa terbagi lagi. Tak paralel sama sekali. Mutlak.  Dalam waktu yang sama, tak mungkin ada satu ruang yang sama berbagi. Sementara itu, satu waktu sanga

Kriiing. Kriiing.

Sebagian besar teman saya memilih makan siang di kantor karena tuntutan kapitalis yang terus memaksa pergerakan karyawan hampir tanpa henti. Saya sendiri sudah muak setelah bermalam-malam di kantor mengikuti perputaran rodanya. Saya butuh suasana selain ruangan kerja saya. Tak apa sendiri. Saya memilih makan siang di restoran bawah. Tanpa teman. Kadang-kadang, kita sering kali melakukan pembenaran alih-alih memberikan hadiah pada diri sendiri untuk makan di tempat yang sebenarnya tak perlu mahal. Setelah memesan sepiring nasi goreng dengan harga yang paling murah dari sederetan menu di situ, saya duduk bersabar. Meletakkan segala alat teknologi yang saya bawa di atas meja tanpa bermaksud memegangnya karena sungguh bosan. Maklum, pekerjaan saya juga menuntut saya untuk sedekat itu dengan teknologi yang hampir kewalahan untuk diikuti perkembangannya.  Ternyata benar, pada saat itulah, panca indera seolah menari lantang. Lebih banyak suara tertangkap. Bahkan, wewangian

Aman

Datang-datang, ia mempertanyakan lagi semuanya. “Ini apa?” katanya dengan wajah sama sekali tak mengerti. Kami semua yang duduk di situ melihatnya dan hampir serempak menggelengkan kepala. Kurang yakin dengan jawaban kami, ia bertanya sekali lagi. “Jadi, ini apa?” sambil menunjukkan yang dimaksud seakan kami tak paham dengan pertanyaan sebelumnya. Sebagian dari kami membuang pandangan, enggan menanggapi pertanyaan itu lagi. Saya sendiri masih menggeleng, berharap ia yakin kami paham maksud pertanyaannya sedari awal. Dia tak beranjak sama sekali dari tempatnya berdiri. Masih saja memegang yang dia pertanyakan itu. “Sini, duduk dulu,” ujar salah satu dari kami. “Apa pun itu, tak akan hilang. Kalaupun kau tahu jawabannya sekarang, toh, tak ada yang bisa dilakukan. Biarkan saja. Tak perlu dipersulit hidup kau,” ujar seorang yang tadi sudah membuang muka. Saya sendiri ikut-ikutan tak bergerak. Menanti betul apa yang ia akan lakukan selanjutnya, se