Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2013

pertemuan

Mereka berdua tidak pernah bertatap muka. Tidak sekali saja. Pun mereka sudah bertukar foto tanpa maksud karena intip punya intip melalui halaman-halaman digital. Diam-diam pula. Meskipun demikian, sebut saja mereka akrab. Hampir tak ada yang terlewat akan kisah keseharian yang bagi kita itu menjemukan. Bagi mereka, itu adalah berbagi yang dinanti-nanti. Celoteh per celoteh tak terlewatkan melalui tuts atau suara manis pada hari-hari berikutnya. Semua terlalu begitu cepat. Tapi, apa yang tidak cepat? Dan, apa yang sebaiknya membuatnya tidak secepat ini? Kadang, benar-benar kadang, mereka berdebat kusir tentang wacana absurd dan diselesaikan dengan tawa. Kalau hari kita suram, hari mereka bisa mendadak ceria ketika salah satu memulai percakapan. Sudah, kita diam saja, nikmati kisah mereka. Kita tidak punya kisah yang semenarik mereka. Di antara rutinitas yang membabi buta, satu di antara mereka ingin berjelajah memungkinkan segala kemungkinan. Diajukanlah satu pertanyaan yang mereka

Topi Kubruk

Setelah mengambil keputusan untuk bangun pagi, ia membuat secangkir dan segelas kopi. Diaduknya hingga larut tanpa peduli perasaan karut-marut. Dipersembahkan kepada orang malas yang masih terbaring di sebelah. Pagi-pagi sudah manis dan tak minta terbelah. Disuguhkan di meja kayu, entah kopinya entah juga perasaannya yang layu. Kopi kental dengan gula, menipu pahit dengan manis yang merajalela. Dua-dua tahu dan tak bertanya. Yang penting aku-kamu tak sekadar hanya. Satu bangun untuk bakar rokok, satunya hanya termangu dan mulai. "kok?". Dalam diam kopi diseruput sambil menunggu ada yang menjemput. Sudah datang padahal belum mandi, satu bilang sampai jumpa lagi. Sudah pulang sudah tak kenal. Satu ragu untuk sayang, satu yakin untuk menyangkal. Yang ditinggal cuci cangkir dan gelas, lengkap dengan membuang kopi yang sudah jadi ampas. Ini selesai tanpa bekas melunglai. Sibuk bertanya sendiri dan tak usah dibagi.  Kopi acap jadi penanda, waktu dimulai tanpa sibuk deng

usang berulang

siapa sangka bisa membuncah meruah segala asa itu pun hanya miliknya seorang tak tercipta, tak jua tiba-tiba pun hanya akibat percakapan usang berulang kehadirannya tak tentu arah biar tak sangka cuma tertapak ini rasa layaknya lampu meriah hanya dengan ini ia dapat hadir tanpa tuak tak ada cara lain yang ia tahu tanpa mesra jadi jalannya satu padahal semua ruang telah diberi waktu untuk mengekalkan segala yang semu

Restu Ibu

"Ini malam aku dan dia biasa habiskan semaunya. Namun, kali ini, aku merasa jauh lebih semaunya. Benar-benar semaunya saja. Dengan kesadaran baru ini, aku justru merasa menjadi individu yang lebih bebas; tidak terkukung atas keinginanku sendiri. Suatu titik, aku justru mempertanyakan ruang yang kuberikan kepadanya. Apakah aku justru mengambil alih ruang yang sebaiknya terbagi menjadi dua? Baiklah, ini pembenaranku. Bukankah dia merasakan aku yang lebih jujur? Aku sebagaimana aku. Dan, aku sudah dan akan semauku merasainya.  Tunggu sebentar. Apakah itu justru menyebabkan aku menghilangkannya? Dia pun bisa jadi merasa kehilangan ruang untuk segala upayanya dan akhirnya tidak menemukan titik-titik yang mungkin dia cari atau sekadar dia nikmati.  Setidaknya, aku lebih yakin dengan apa yang aku rasakan. Walaupun aku dianggap kurang waras atau sekadar kurang realistis, aku rasa keadaan ini sudah layak dan sepantasnya demikian. Jikapun ini akan berakhir dengan tidak baik-

Desa Sabar

Aku teringat malam itu, Mas. Ketika aku meletakkan kepalaku di pangkuanmu. Kau elus lembut sembari menata rambutku yang tak begitu panjang. Malam itu milik siapa tak pernah kita pertentangkan. Matamu tak menatap mataku sepanjang malam itu. Kamu menerawang sambil menceritakan riwayat desa itu. Desa yang diperbincangkan banyak orang. Kamu tahu banyak tentang desa itu, Mas. Kamu menceritakannya dengan wajah sedikit nelangsa. Dan, tepat ketika kamu melirik ke arah mataku yang memperhatikanmu, kamu segera antusias menceritakannya. Nelangsa dibungkus deretan kata yang dipercepat. Desa itu tak setenteram yang diceritakan orang-orang, ternyata. Katamu, kehancuran yang terjadi di desa itu justru membuat perencanaan matang tentang segala. Hanya butuh sabar, ya, Mas? Namun, seberapa banyak orang menjinjing sabar hari begini? Sabarnya pun sering kali berjatuhan karena dibawa dengan tidak hati-hati. Malam itu, kamu tanya, "Kamu sabar ndak, Cahyu?" Siapa yang bisa bilang "tidak"

Lekas Sembuh, Bapak!

Nantikan saya malam suatu nanti. Segala lelah kita dera sampai habis. Jengah pun akan kita keluarkan hingga keanginan. Dan, jenuh yang tak bertuan pun berpuan kita terkam tak bersisa. Malam suatu nanti akan menjadi malam saya dan kau. Kita akan menertawai hidupmu yang kau anggap usang dan bagiku penuh kenangan. Kita pun akan sama-sama merasa baik-baik saja. Sambil tiduran bersebelahan, aku akan cerita pengalaman jenakaku. Kau akan tertawa sembari mengingat masa mudamu. Anjing kita akan memperhatikan dari ujung kasur sambil menjawab rindunya akan aku dan kau. Anak-anak kecil pun akan berlarian dan tawa mereka menjadi suara latar yang menyejukkan. Dan, lagi-lagi, malam itu akan menjadi milik kita tanpa harus saling memiliki. Sesakmu akan mereda, tergantikan pingkal yang menandakan hidup terasa lebih mudah. Istri dan anakmu tak akan cemburu melihat kita sebegitu intim. Malah, mereka akan membiarkan kita terlelap sampai pagi menggantikan. Bahkan, pada tengah malam suatu nanti, mereka a

semata-mata

kegundahan itu tampak benar dalam mata kalian berdua. berusaha mati-matian menghabiskan hari seperti yang sudah-sudah. padahal, hambar menerkam mengusik. apa memang sebaiknya masih diusahakan? kali ini, lebih baik, kalian berdua pulang. hari belum habis, tapi ini rencana sudah duluan selesai. buat secangkir kopi dan juga untaian puisi bukan kepada sesiapa. sendirian dalam kamar tak bernyawa. melakukan segala seolah untuk kalian sendiri. selanjutnya, tak perlu kirim salam atau sekadar tanya kabar. kalau nantinya semua dirasa benar, undang saja. coba lagi sekali-dua kali. untuk menipu diri sendiri bahwa ini memang benar ataupun kurang benar. atau, sebaliknya, tersadar yang hampir atau justru terlambat tanpa tipuan. ada juga cara lain, Puan dan Tuan. buka lebar lagi segala kemungkinan. hingga tahu mana yang paling mungkin kalian betahi. selanjutnya, biarkan betah itu menjadi semata-mata. toh, tidak ada itu salah dalam hal ini. hanya kurang benar saja. dan, mungkin kali

Dua Pagi

Matanya saya tatap. Dalam benar. Tidak sekadar melihatnya, ini jauh berbeda dari malam-malam sebelumnya. Tatapan ini bukan dalam keremangan sebelum lenguhan berkali-kali. Mencoba menembus segala yang ada dalam mata, menerkam apa yang melebihi ucapannya. Makna sesungguhnya yang mungkin tak pernah terucapkan.  Kemudian, saya tersadar. Tidak ada apa-apa di sana. Saya hanya mencoba mencari yang tidak ada. Hanya ada sisa. Sisa gelisah yang serius, cenderung akut. Bahkan, dalam kegelisahannya, pesonanya masih ada. Sedikit memudar memang. Setiap katanya terasa begitu benar karena jujur. Orang yang sedang karut dan sudah berhasil memilah penyangkalannya memang apa adanya saja. Adanya malam ini hanya untuk ditemani sebagai dirinya sendiri.  Tatapannya tak pernah lekang dari menatapku pula. Mungkin dia juga mencari-cari jujur di balik tawa saya menanggapi kegusarannya. Entah apa yang ia temukan. Pikir saya, ia hanya mau yakin bahwa saya ada di depannya karena saya

siapalah itu nanti

aku dan kamu sama-sama ingin menjadi "siapalah itu nanti" yang begitu sering kita ucapkan ketika bercerita tentang berbagai harapan yang dikamuflase dalam kemungkinan. aku dan kamu juga tahu sama tahu bahwa "siapalah itu nanti" tak akan pernah tiba meski sudah seberharap itu akan kedatangannya. "siapalah itu nanti" hanya akan berkelibat sekejap dan akan pergi meninggalkan aku dan kamu yang hanya menanti sementara orang lain siap menggandengnya dengan segala yang hanya ada. atau, bisa saja, "siapalah itu nanti" memang sudah ada di depan mata--tiba-tiba atau dengan segala upaya agar bisa demikian--dan pada saat itulah, aku dan kamu sudah mulai bosan dengan "siapalah itu nanti". bahkan, yang lebih menyedihkan, aku dan kamu tidak mengenali sama sekali "siapalah itu nanti" dan kemudian membiarkannya begitu saja duduk di beranda menanti kita keluar. sementara itu, kita di dalam sibuk-sibuk membicarakannya dengan penuh canda. kasih

hulu pun muara siapa punya

jika ada yang lebih indah daripada persemaian, waktulah yang patut dipertanyakan tanpa mesti dipersalahkan. tak apa bertanya, begitu katanya. bertanya memang merupakan keraguan tersirat. dan, ragu pun baik, bukan? malam lalu, sudah batal berapa? pertanyaan itu dijawab dengan manis, pun dengan pertanyaan pula. apalah arti jumlah jika ada pemakluman? tanpa ada maka--karena belum sampai pada kesimpulan (dan, tak ada yang perlu disimpulkan), maklum digenggam erat. dikekap. terbuai dibuatnya pun hingga terlelap. lelapnya butuh maklum. sangkalnya sudah membeku biru, lelah melawan arus tanpa pembiaran. hulu atau muara siapa punya? hanya diberikan nama tanpa pernah mengidentitaskan dirinya sendiri. sini, dekap. bisu semalaman untuk usir tidak baik-baik saja dan tak menjanjikan baik-baik. hanya biasa-biasa saja.