Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2012

Surat Samudra #2

Kepada Samudra, Kamu ada tanpa hadir. Apa yang membuatmu tak pernah menceritakan tentang perasaan yang tertimbun hingga kelak pada saatnya semuanya begitu nyata dan menyesakkan? Aku mendengar dongeng kemarin malam. Kisahnya sedih. Sebelumnya, sudah pernah kudengar kisah serupa, tapi kusanggup mendengarnya dalam senyap. Kukira ini hanyalah bualan yang membuatku bertahan di tengah perairan, hiburan konyol untuk disenandungkan dalam kejenuhan. Namun, malam lalu, semua begitu berbeda. Kehendakku menghilang. Limbung tak kunjung mereda. Samudra, di mana dirimu semalam? Jumpa denganmu mungkin akan lebih tenteram. Kamu akan bilang secara berulang bahwa ini hanya dongeng. Kisah ciptaan untuk penjagaan. Mungkin, ketidakhadiranmu merupakan bentukmu untuk menjaga aku. Membelajarkanku untuk melalui yang tak selalu mudah. Malam ini, aku jadi tahu betul. Mimpi butuh jawaban berupa konsekuensi. Mimpi membawa pembelajaran. Dan, aku tahu betul bahwa aku tak bisa berhenti bermimpi. Samudra, apa

Surat Samudra #1

Kepada Samudra, Kamu ada tanpa hadir. Aku sudah berada di antara perairan, dikelilingi lautan. Entah menujumu atau justru menjauhkanmu. Aku hanya tahu, tepian masih begitu dekat--meskipun tak terlihat, semudah aku berputar arah untuk berlabuh. Mungkin, aku sudah bertemu denganmu. Mungkin juga, kamu masih menungguku di tengah sana. Mungkin juga, kita akan bertemu di tengah antah-berantah; ketika tepi sudah tak menjadi harapan. Saat itu, pasti niatku sudah semakin bulat bahwa aku hanya mau berlayar bersamamu, Samudra. Tanpa berlabuh lagi. Samudra, aku ingat pembicaraan kita malam itu melalui bintang. Katamu, pada saatnya nanti, aku akan pulang dalam keadaan tersesat. Saat sudah bertemu denganmu, aku akan merasa pulang. Namun, pada saat yang sama, aku juga merasa tersesat karena tidak tahu berada di mana. Jalan menuju rumahku dulu tak akan terlihat lagi. Pertemuan denganmu sama juga dengan menyesatkan diri. Apakah kamu menunggu waktu yang tepat? Apakah tepat itu, Samudra? Kita tah

mimpi semalam

Aku tahu betul Rasanya sama dengan pertama Meskipun ini bukan Kutelusuri satu per satu Merunutkan adegan tanpa pernah urut Logika memang berpencar dalam mimpi Mimpi memang mampu mengubah Buktinya, hari ini menjadi begitu cerah Terbayang tiap senyum, tawa, dan hangat Aku juga menjadi berani Berani merasakan Biarlah Silakan rasa saja

Bukankah Kita adalah Senja?

Sekian lama sudah, kita menjadi orang asing di tengah keakraban. Tak pernah sungkan untuk kembali setelah lama tak berkabar. Begitulah kita; seenaknya pergi dan kembali.  Kita terlalu sadar bahwa di antara pergi dan kembali, sebenarnya, kita sama-sama menetap. Seperti yang kita pernah sepakati, kita adalah senja. Tak perlu ragu, selalu kembali. Kebiasaan ini memang terlalu menyakitkan bagi orang yang menyimpan perasaan. Mendamba keberlanjutan, padahal entah untuk apa. Lagi-lagi, kebiasaan ini mungkin lebih menyenangkan sebenarnya. Namun, keberlanjutan sering kali dimitoskan pembawa kebahagiaan. Suatu senja nanti, kita akan bertemu kembali. Bercerita apa saja yang kita mau. Kemudian, menertawai kepedihan yang melukai hidup kita. Tanpa keinginan saling mengobati, kita akan menghabiskan minuman di depan kita. Salah satu dari kita akan bercerita. Kali ini, ceritanya berbeda. Salah satu dari kita akan merayakan perasaannya. Bercerita tentang pembiarannya tentang harapan.

Percayalah

Tak perlu menunggu apa pun Jalani saja kehidupan ini Sesakit apa pun Mudah itu akan datang Tanpa disadari kehadirannya Akan tiba semua begitu terang Tanpa diminta begitu ampun Berjalanlah, mesti harus bersusah payah Nanti langkahmu ‘kan meringan Tanpa menapak, kau akan terbang tinggi Sentuh cahaya yang menyinar Pada saatnya nanti Nikmatilah Pada saatnya nanti Percayalah *tulisan lama juga

Ketidakpastian

Ketika banyak orang sibuk mencari kepastian, aku terlena dengan ketidakpastian. Diam-diam, aku menunggumu. Mencari sejumput kebetulan sebagai petanda untuk disadari. Tanpa keluhan, aku terlanjur terpesona. Bahkan, tanpa peringatan sekali pun. Mereka bilang, hidup tidak semudah mengartikan pertanda-pertanda. Aku sudah sering percaya kepada mereka. Kau hadir lagi dengan cara yang begitu saja, entah esoknya, bulan depan, atau bertahun-tahun kemudian. Kemudian, aku mengingat kemarin-kemarin. Dan, aku kembali percaya dengan ketidakjelasan. Aku tersadar kembali. Untuk apa aku percaya akan sesuatu? Akhirnya, aku memberikan kesempatan luas kepada hidup. Kubangun lagi mimpi-mimpiku. Benar memang, aku harus berani melepaskan kekinian untuk mengejar esok. Padahal, aku lebih sering ingin hidup untuk hari ini saja. Suatu saat nanti, apapun yang akan terjadi, kau akan menjadi bagian dari ceritaku. Cerita kebodohan sekaligus pembelajaran untuk menjadi seseorang yang berani menci

Sumba, tempat rinduku memanggil

Waktu dengar kabar akan ditugaskan untuk pergi ke Sumba selama seminggu, saya sama sekali tidak percaya. Bagaimana bisa di tengah kedatangan berita buruk yang bertubi-tubi, ada satu kabar baik yang datang begitu cepat? Awalnya, saya pikir itu hanyalah harapan untuk menenangkan bulan kelabu. Makanya, saya tidak ambil hati. Belum merasa sanggup lagi untuk terima kekecewaan. Namun, tadi malam, saya memegang tiket pesawat pulang-pergi. Bagaimana bisa kebahagiaan terasa begitu nyata padahal belum terjadi? Saya segera pulang malam itu. Sesampainya, saya bingung harus bagaimana. Terasa jadi salah tingkah menerima kabar baik. Saya malah menangis. Saking bahagianya. Terima kasih. Entah saya harus mengucapkan itu kepada siapa.  *Saya menemukan tulisan ini yang sudah tersimpan sejak 23 Maret 2012.

Lesya 1

"I can't be your friend lately," said Lesya. Dari looked into Lesya's eye. "It's contagious," Lesya continued, almost couldn't be heard. Dari put his back to the couch. "You don't like to argue with me?" Dari guessed. "Kind of... You're angry easily. I don't wanna be like that," Lesya stared Dari's eyes bravely. "Well, maybe it's because the feeling you had before," Dari tried to give an explanation for himself. "I still have it, Dari. But, let's don't go there, we had enough," Lesya took her bag. "Yes, Lesya, it is contagious. I can feel it." "Stop it, Dari. We shouldn't have this conversation," Lesya was preparing to leave. "Bring it when you leave. You always run away, even from your feelings," Dari took his blackberry and left Lesya alone in that coffee shop. Lesya's phone was ringing when she was about to leave as well. She had t

Rindu Bapak

Gambar
Semalaman, saya rindu bapak saya. Rasanya seperti tersedak rindu. Mencekik tidak karuan. Dua bulan terakhir, kondisi kesehatan ayah saya memang menurun. Sempat bolak-balik rumah sakit. Meskipun demikian, ia tetap tidak terlihat seperti orang sakit, hanya cepat lelah. Sesungguhnya, saya tidak pernah siap dengan keadaan ini. Entahlah. Beribu cara saya cari untuk menguatkan diri. Nyatanya, di ujung waktu dan ruang, saya tetap pada kesadaran di titik ini. Saya rindu bapak saya. Saya terlalu takut. Hingga menganggap rela melepaskan apa pun demi kesehatan ayah saya. Seolah-olah, saya mampu tawar-menawar dengan tuhan. Nyatanya, saya tidak mendapat respons dari tawaran terakhir. Saya coba cara lain. Cara pengecut saya, seperti biasa. Saya menjauh. Jarang pulang alih-alih butuh energi dari luar. Nyatanya, di ujung waktu dan ruang, sata tetap rindu bapak saya. Setengah mati. Kesadaran ini menampar saya bolak-balik. Di mana saya ketika bapak saya berada di jalanan

Sikat Gigi

Sudah bermalam-malam, saya menghabiskan waktu di belakang meja kantor. Keluar-masuk ke dunia dalam kepala saya sendiri ditemani hal-hal yang memang harus diselesaikan. Saya tahu, bahkan saya percaya, ini adalah ruang yang dapat membuat saya merasa berada di daerah aman. Maka itu, saya tidak keberatan untuk berlama-lama. Begitu pun tadi malam. Saya pulang dan menghabiskan sepiring mie goreng yang sudah didamba. Makan lahap seolah baru saja pulang dari medan pengakuan sebagai bentuk kekalahan pertahanan. Setelahnya, saya melelapkan diri. Pagi tadi, saya sikat gigi lebih lama dari biasanya. Perhatian saya tersita pada sebuah sikat gigi yang berdiri di dalam gelas. Sudah lama tidak digunakan, mungkin si empunya sudah lupa juga pernah meninggalkan sikat giginya di tempat saya. Saya tidak ingin membuang sikat gigi itu. Saya biarkan saja di situ. Membuka kesempatan untuk tetap terjadi, entah kapan. Saya jadi mengingat kemudahan-kemudahan kami untuk menghabiskan malam bersama, bukan hany

ketuk rindu

sudah seminggu, rindu mengetuk kadang berturut-turut kadang ketukannya menghilang baru seminggu aku tak membukakan pintu baginya hanya suka mengintipnya dari lubang kecil di tengah pintu biarlah, pikirku malam itu, aku seruput sendu lagi tiap kali pula, kamarku semakin berantakan nantilah kubiarkan rindu masuk ketika sudah rapi walaupun ia akan mengacak-acak lagi pastinya