SINESTESIA: Antarkan Saya Pulang

“Habis bulan puasa,” atau “Tahun depan.” Itulah kalimat yang selalu terlontar dari personel Efek Rumah Kaca. Entah sejak tahun berapa. Omongannya bukan kosong, tetapi memang selalu ada yang keluar, entah Pandai Besi, ERK Remix, kolaborasi dengan musisi lain, merchandise, konser PanBes. Biar, sampai lelah untuk menanyakannya lagi karena terus merasa diakal-akali, celaan yang menghantui malah menjadi hambar saking lamanya. Sebenarnya, ini bukan hanya perkara celaan yang jadi kartu kunci, saya juga menanti betul-betul album ketiga Efek Rumah Kaca.

Penantian terjawab dengan album yang dipirit-pirit. Satu single, satu single, konser di Bandung—yang tidak bisa ditonton karena saya sedang ada di Belanda. Saya sudah mempersiapkan diri untuk dua single yang siap diramu Pandai Besi, tapi ternyata tidak bisa setertebak itu. Satu album penuh keluar. Beberapa hari setelahnya, saya membeli melalui iTunes. Sekalinya transaksi pakai kartu kredit, tagihan muncul 600-sekian ribu. Saya kira album Sinestesia ini seharga demikian, tapi setelah ditilik lebih lanjut, transaksi saya dibajak dan berakibat penutupan kartu kredit setelah membeli album digital Sinestesia. Tanpa menyalahkan karena tidak ada hubungannya, saya mendengarkan Sinestesia sebagai musik latar belakang: sambil mengetik, bekerja, browsing, bersih-bersih kamar, naik sepeda, berbincang dengan teman-teman, main capsa. Sekian hari, saya mulai mengganti playlist. Tanpa memperhatikan liriknya. Tanpa memperhatikan musiknya. Sinestesia membosankan. Pernyataan serius.

Tapi, tapi, tapi, hari ini, saya berubah pikiran. Pernyataan yang jauh lebih serius. Sinestesia bukan “musik sembari”. Dalam perjalanan dari Maastricht ke Den Haag selama lebih dari 3 jam, saya mendengarkan Sinestesia. Pengalaman subjektif itu membuat saya merasa perlu mematahkan gengsi berlapis-lapis dengan mudah. Subjektif menjadi begitu penting karena, toh, lagu bisa berarti berbeda bagi setiap orang. Maksud dari pengarang lagu dipinggirkan tanpa dihilangkan. Ini bukan menegaskan “pengarang sudah mati” yang rasanya sudah basi. Bagaimana mungkin pengarang bisa mati setelah menciptakan? Kebebasan menginterpretasikannya bukan mematikan pengarang. Iya, saya menyanggah omongan saya sendiri pada masa lalu. Pengalaman subjektif begitu penting; personal is political.

Saya Takut untuk Pulang
Untuk menceritakan pengalaman subjektif, saya perlu memberikan gambaran konteks. Kurang lebih saya tinggal di Belanda selama 1,5 tahun. Dalam waktu kurang dari seminggu, saya akan kembali ke Jakarta. Bukan untuk 3 hari, bukan untuk 1,5 bulan, tapi menetap di Jakarta yang kemungkinan besar bertahun-tahun. Saya akan melewatkan banyak hal, termasuk konser Sinestesia. Rasanya, lebih banyak lagi yang sudah saya lewatkan. Saya ingin pulang, tidak meragukan itu sama sekali. Tapi, keinginan bukan tanpa ketakutan. Ketakutan meninggalkan kehidupan di Belanda—semacam kehidupan pelarian—memang ada, tapi ternyata sedikit. Saya merasa lebih didominasi oleh perasaan ketakutan untuk kembali ke Jakarta. Saya takut merasa kesepian. Lebih menyeramkan merasa kesepian di kota yang dipenuhi orang-orang yang saya kenal. Juga, ketakutan untuk tidak bisa memenuhi harapan orang-orang, semudah takut tidak bisa memberikan jawaban menarik ketika ditanya: “Bagaimana Belanda?”, takut tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sudah punya kebiasaan dan obrolan baru, takut tidak bisa menahan diri untuk mengeluh, tidak bisa berhenti bernostalgia dengan memulai segalanya dengan “Waktu gue di Belanda,…”—yang selalu saya keluhkan dari orang-orang yang pernah tinggal di luar negeri, takut bingung, takut ketinggalan. Saya tahu ini bentuk insecure saya. Saya juga sadar bahwa insecure milik masing-masing dan saya tidak bisa meminta pertanggungjawaban orang lain atas rasa insecure saya, juga tidak mau menjemukan orang dengan cerita ketakutan akan sesuatu yang belum terjadi. Tapi, takut boleh saja, kan? Dan, kalau diingat-ingat, banyak hal dimulai dengan ketakutan dan berakhir baik-baik saja, bahkan mengesankan.

Sinestesia: Warna-warni yang Memusat
Bayangkan satu adegan dalam film ketika ada seorang perempuan yang duduk di sebelah jendela di kereta. Melempar pandangan ke luar, memerhatikan pepohonan yang seakan berlari juga hamparan rumput. Sesekali ia menulis, sesekali ia menyeka air mata. Sayangnya, ini bukan adegan film yang memaklumi segalanya. Saya melakukannya sambil malu-malu mengelap air mata dengan syal.

Selama di perjalanan kembali ke Den Haag, saya banyak berpikir tentang kepulangan saya ke Jakarta. Saya memilih Sinestesia untuk menjadi lagu pengantar. Bukan lagi sebagai musik latar atau musik sembari, tapi benar-benar mendengarkannya kali ini. Dan, sialan. Sinestesia ini brengsek. Ini gambaran dari saya.




Sinestesia ini begitu personal. Tragis. Kejujuran yang menyakitkan sekaligus menyadarkan. Sesuai dengan urutan lagu dalam albumnya, ia mulai dari lapisan terluar yang berbicara tentang segala yang di luar. Kemudian, ia bergerak menyerang diri sendiri, mengais pertanyaan-pertanyaan dalam diri sendiri yang sudah ditimbun. Sinestesia menggalinya kembali. Hingga ditutup oleh lapisan terdalam. Sesuai liriknya—tanpa melihat di laman mereka, sesuatu yang bersemayam. Ini gambaran absurdnya, saya mencoba membuka lapisan bawang terluar dan melanjutkannya ke lapisan-lapisan selanjutnya.

Merah. Kerja Keras.
“Merah” mengantarkan saya untuk melakukan sesuatu sepulangnya di Jakarta, melanjutkan apa yang belum selesai, melakukan apa yang belum dimulai. Meyakinkan saya untuk tidak membiarkan segala kekarut-marutan, pun bukan serta-merta membenahinya. Juga bukan serta-merta merasa berani, tapi juga dipenuhi keraguan. “Sampai kapan kau ikhlaskan dia dihancurkan.”

Terbersit juga dilema posisi yang kadang disebut dengan kemunafikan. Padahal, kadang itu adalah kejujuran. Apakah menjadi jujur kemudian bisa disebut sebagai munafik? Misalnya, “Politik terlalu iblis dan kita teramat manis.” Ada dilema fleksibilitas identitas yang sebenarnya begitu wajar: memperjuangkan sesuatu yang dianggap baik; sok-sok idealis tanpa menghasilkan apa-apa; sok-sok idealis tapi lemah kalau harus adu argumen. Ketika ingin melakukan sesuatu yang dianggap baik, tetapi disebut-sebut sebagai cita-cita utopis. Lagu ini mengukuhkan hati bahwa ada tujuan yang ingin dicapai, pun dalam perjalanannya, tentu banyak tantangan. Tapi, tidak ada yang sia-sia, bukan? Mungkin itu pertanyaan sebagai pembenaran yang kerap saya ulang dalam menghadapi kepulangan.

Pada menit ke-07.25, saya merasa musiknya lebih seperti bermain-main. Saya membayangkan jika lagu ini dibawakan di panggung, penonton akan turut bernyanyi beramai-ramai mulai dari, “Moralis merasa yang paling baik….” Bagi saya, “Merah” bukanlah penilaian berlebihan terhadap sesuatu yang ada di luar diri, bukan tentang orang lain, tetapi mempertanyakan diri sendiri. Mempertanyakannya tanpa maksud menyerang diri sendiri; pertanyaan yang seakan mengajak bermain. Apakah kita moralis? Apakah kita sang martir? Apakah kita fatalis? Mungkin, memang benar, “mukzizat hanya ada di zaman nabi”, kita perlu kerja keras. Lebih keras.

Biru. Harapan.
“Biru” menawarkan harapan bahwa banyak hal bisa dilakukan. Keoptimisan yang ditawarkan seakan menjadi ajang cuci otak dengan mengulang-ulang “pasar bisa diciptakan”. Meyakinkan. Setelah pengulangan itu, dentuman bas menjaga semangat, juga diisi oleh melodi gitar. Semakin meyakinkan. Bagian ini meningkatkan semangat yang terwakilkan melalui tepuk tangan berirama. Musiknya festive. Ada echo yang memperkuat ketika “Dari kegelisahan dipadatkan dengan cinta” dan “Fantasi yang menggila bercampur rasa kecewa”. Bagian lirik itu juga tetap mengingatkan keadaan realistis. Tidak berhenti di situ, dilanjutkan dengan, “pelan-pelan hilangnya jadi percik cahaya.” Setelah dibanting dengan keadaan realistis, “Biru” mencoba mengangkat lagi emosi saya. Saya merasa sedang berbincang dengan orang tua yang sedang memberikan nasihat, “Hidup itu tidak mudah, Nak, tapi tetap indah.”

Masuknya vokalis perempuan pada menit ke-08.15, “Kegelapan masih membayang, menyelimuti, menolak pergi…”, diikuti dengan dentuman drum dan masuklah terompet. Suasana festive meningkat. Bagian ini berakibat fatal pada saya, meyakinkan bahwa akan banyak keadaan yang tidak ideal, tetapi kadang kita perlu menjalani keadaan paling mending dari yang terburuk, sesuatu yang setidaknya masih bisa dijalankan, sekaligus bahwa ada kesalahan yang akan dijalani dengan penuh kesadaran. Sepulangnya nanti, mungkin saya kerap bilang, “Saya tahu ini tidak ideal, tapi ini adalah cara yang setidaknya masih bisa dilakukan.”

Jingga. Ketakberdayaan.
Lagu ini—atau potongannya—pernah dimainkan sewaktu saya masih di Jakarta. Lupa tepatnya. Begitu mendengarkan lagu ini, saya mengingat momen saya sewaktu menghadiri International People Tribunal di Den Haag beberapa bulan lalu. Lirih. Kesaksian-kesaksian yang diungkapkan langsung di hadapan jauh lebih menyelekit dibanding cerita-cerita serupa yang pernah diceritakan kembali oleh orang lain, lebih parah daripada kisah di dalam buku-buku tentang 1965. Cerita kepelikan semacam itulah yang tak akan pernah bisa ditertawakan. Akhirnya, saya menemukan kepelikan yang tidak layak untuk dirayakan. Pada saat yang sama, saya mengingat ketakberdayaan saya. Perih, tanpa bisa melakukan apa-apa. Tertekan karena merasa tidak berdaya. Kenyerian itu diperparah oleh penyebutan nama-nama orang yang hilang. Dan, dipertegas dengan “Hilang”. Belum selesai mengiris-ngiris, vokalis perempuan memperkuat kelirihan. Layaknya tangisan ibu.

“Jingga” juga mengingatkan saya akan pertanyaan apakah—misalnya—Munir setiap hari bangun tidur dan ingin menjadi pejuang? Atau, apakah ia—dan juga mereka—hanya ingin melakukan sesuatu yang benar? Atau baik? Tapi, Pramoedya pernah bilang, “baik belum tentu benar”. Bukankah kegelisahan itu memang akan terus membayangi kita?

Denting piano yang ‘ketinggalan’ itu semakin membuat lagu ini brengsek—dentingan ini berbeda dengan versi sebelumnya yang pernah saya dengar, rasanya. ‘Ketinggalan’ itu seakan meninggalkan jejak memori. Tidak pernah tahu kapan selesai, banyak hal yang dikira sudah selesai, ternyata belum. Dan, tidak tahu kapan pernah selesai. “Yang hilang berganti hingga tak terbilang.”

Hijau. Kejujuran.
“Hijau” menegaskan ketakutan saya untuk pulang layaknya tamparan berulang kali pada tataran wacana. Saya menangis sejadi-jadinya ketika mendengarkan lagu ini, sesunggukan. Lirik dimulai sejak detik pertama, tanpa basa-basi. Kejujuran perih langsung dihantamkan, “Apa yang kau tawarkan bukan pengetahuan? Ucapan miskin pemikiran. Apa yang kau sodorkan hanyalah hasutan, ujaran penuh kemunafikan.” Lagiu ini memperkuat ketakutan saya yang merasa tidak bisa menjawab ekspektasi orang-orang kepada saya sepulangnya nanti. Saya merasa belum apa-apa, bahkan saya merasa semakin tidak paham. Pengakuan terhadap diri sendiri yang masih culun punya.

Tidak hanya membanting—atau bahkan mendorong dari ujung tebing, “Hijau” juga mencoba menawarkan sesuatu. Bukan solusi, hanya tawaran cara. “Dipilah, dipisah, agar gampang diubah, biar mudah diolah.” Segala kekacauan pemikiran yang dipenuhi dengan asumsi-asumsi yang hampir menjadi fakta sebaiknya dilerai satu per satu untuk melihat kembali kesalahan kerangka berpikir. Tapi, untuk bisa seperti itu, tentu perlu berpikir. Dan, saya seringnya malas untuk berpikir. “Hijau” menawarkan tujuannya, semalas apapun, itu perlu dilakukan agar bisa diubah. Mengakui kesalahan berpikir, pemaksaan nilai-nilai terhadap orang lain.

Putih. Kematian.
Kepergian saya ke Belanda diiringi dengan keadaan kesehatan ayah yang sedang dalam keadaan tidak sehat selama beberapa tahun terakhir. Ini adalah keadaan yang sempat membuat saya ragu sampai akhirnya ayah menyatakan langsung untuk memberkati kepergian saya ke Belanda. Saya selalu dipenuhi kekhawatiran jika ada pesan dari rumah, terus memastikan keadaan baik-baik saja. Suatu waktu, ayah pernah sakit, sesak napas. Ternyata, ia tidak minum obat selama dua hari. Padahal, ada belasan obat yang harus diminumnya setiap hari. Saya teringat omongannya sewaktu saya di Jakarta. Ia mengeluhkan hidupnya yang mahal. Ia harus mengeluarkan uang berjuta-juta setiap bulan untuk menyambung hidupnya hanya dengan obat. Saya merasa sakitnya ketika itu merupakan cara dia untuk berkompromi terhadap tubuhnya dan juga keadaan, dan berujung tidak ada jalan tengah. Tidak mudah untuk mengakui ini: saya sering membayangkan kematian ayah saya. Kacau, memang. Saya melakukannya untuk merasa bisa mempersiapkan diri. Bahkan, saya selalu menyisihkan sebagian uang yang siap dipakai untuk membeli tiket pulang sewaktu-waktu. Jadi, ketika “Putih”, meledaklah tangis saya. Lebih-lebih dari “Hijau”. Apakah saya bisa semenerima “Putih” dalam menghadapi kematian?

Petugas kereta menangkap saya sedang menangis. Ia menghampiri saya dan meminta saya untuk pindah kereta karena kereta ini ternyata tidak akan berjalan ke mana-mana lagi; meneteap di Eindhoven. Saya orang terakhir yang masih di kereta. Saya melupakan keadaan sekitar, ternyata.

Saya melanjutkan mendengarkan “Putih” dalam perjalanan kereta setelahnya menuju Den Haag. Pada menit ke-05.03, saya merasakan lirihan ibu saya. “Selamat datang di Samudra, ombak-ombak menerpa” mengantarkan saya untuk melihat Tuhan. Saya berkali-kali menulis surat kepada Samudra, yang sebenarnya saya asosiasikan dengan Tuhan. Bagian favorit saya, “Rekah, rekah, dan berkahlah”. Mungkin, maksudnya, bagian ini diperuntukkan bagi anak-anak yang menjadi harapan. Bagi saya, bagian ini diperuntukkan bagi orang-orang yang ditinggal kematian. “Putih” meyakinkan saya untuk pulang. Karena ayah, adalah motivasi utama saya untuk pulang.

Kuning. Ketuhanan.
Selama di Belanda, saya merasa lebih mengenal diri saya sendiri. Tidak mudah mengakui banyak hal tentang diri saya. Misalnya saja, kesadaran bahwa saya tidak sepenuhnya atheis. Saya masih percaya tentang energi besar, mempersonalisasi Tuhan. Menjalani kehidupan bukan atas nama ketakutan akan neraka atau pencapaian surga. Menjalani kehidupan dengan proses pencarian akan kebenaran, termasuk kesalahan, juga di antaranya. Kadang, kebenaran diketahui setelah kesalahan. Pun, saya sebenarnya menghindari gila-gilaan oposisi binari.

“Kuning” menemani saya untuk berbicara dengan Samudra. Dentingan piano yang aduhai nian. Bukan dengan alunan musik yang melirihkan, tapi justru menciptakan suasana keramaian yang tenteram ketika “Bila matahari sepenggal batasnya…” Ini adalah bagian gebukan drum favorit saya. Keikutsertaan vokal-vokal lain memberikan suasana penuh suka-cita sekaligus temaram. Dan, semenit terakhir mengingatkan saya akan keadaan rumah. Saya mau pulang.


Selamat konser, Efek Rumah Kaca.

Komentar