Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2017

Orang Tua dan Anak Muda #1

WARUNG KOPI TEGAR RASA Itulah nama yang terpampang di papan depan gubuk sederhana yang aku lalui. Aku berdiri di depannya, melongok untuk memastikan situasi di dalam cukup aman dan nyaman bagi pejalan kaki yang sendirian. "Masuk sini, Anak Muda. Jangan ragu untuk minum jika kehausan." Suara itu datang dari meja yang agak di dalam, seorang tua berambut putih agak kehitaman sedikit memanggil tanpa menggerakkan bokongnya sedikit pun. Tidak ada sesiapa lagi selain ia dan perempuan penjaga warung. Aku terpanggil, berjalan mengarah kepadanya. "Apa yang mau dilihat, apalagi dirasakan, jika hanya melongok dari luar saja? Duduk sini. Pesan minum sebelum jalan lebih jauh lagi," ia merayu terus. "Mbakyu, boleh pesan satu kopi?" Perempuan yang sedari tadi sedang kipas-kipas dengan tatapan kosong berdiri menghampiriku. "Gulanya habis," jawabnya singkat. "Tanpa gula tidak apa-apa," aku balas. "Kopinya juga habis." Aku menolehkan pandanga

Kalah Mati di Medan Perang Sendiri

Kenapa diam saja? Kenapa diam saja? Kenapa diam saja? Bisikan-bisikan itu. Tanpa aba-aba. Seketika. Dan, lagi. Lagi. Lagi. Belum berhenti. Perempuan itu meringkuk di sofa. Ini adalah kali pertama ia merasa dilecehkan oleh laki-laki itu, teman lamanya. Tindakan tanpa persetujuan. Kejadian yang membuat dirinya merasa terhina. Ia tidak berani masuk ke dalam kamarnya sendiri setelah pelukan dari belakang dan ciuman tanpa consent . Bencana seakan menanti di sana. “ Cepat pagi. Cepat pagi. Cepat pagi,” ia merapal mantra. Sayang sekali, waktu memang bukan penyembuh yang baik. Seharusnya, ia belajar dari pengalaman. Dan, ia memilih melakukan hal yang sama: diam. *** Avery (1990) menulis, “ We live in in a conspiracy of silence. ” Dan, itu adalah bagian dari petaka yang berkelanjutan. Selain memang bisa menjadi strategi dalam beberapa kasus, diam bisa jadi pembenaran atas hal-hal yang tidak berkenan. Pem