Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2011

cepat pulih, Ibu, cepat pulang

rangkum peluk ini ketika kau telah berinjak pada bumi pertiwi membawa kasih yang telah kau jaga cantik nian kau wahai lelaki bergemulai di atas kasih dalam khawatir atas nama cinta tak ada lain yang bisa kulakukan tergolek lunglai layaknya Annelis yang terbaring kaku akan cinta pada Minke hanya peluk yang kusimpan setiap hari kumasukkan satu demi satu bukalah nantinya untuk melenakanmu dan ibumu dari kesedihan yang tak berpundung sungguh indah telah menanti kalian di sini

the only person that could hurt me is myself

Saya membiarkan diri untuk merasakan rasa sakit. Menusuk. Semakin dalam. Merasakan rasa sakit yang tak hanya menusuk. Hidup dengan luka itu. Memperhatikan bekas luka yang sudah kering dan meninggalkan bekas. Bahkan, luka yang baru saja tergores sehingga masih terlihat bekas darah yang keluar. Mengenang pembelajaran dari rasa sakit yang telah berhasil dilalui. Saya membiarkan diri saya merasakan sakit. Dan, hanya saya yang bisa membiarkannya begitu saja. Tak ada kesanggupan orang lain untuk menyakiti saya. Feel the pain. Live with it. Learn from it.

i wish nothing, but the best

What can i do? I just could stand here. Right here. Pray for you. What should i do? I really want to do something more. But, there are boundaries. I wish the best for you. Keep strong. God always be here. God sent this gift in a different way. Dont be sad. You have a great family.

binar

Gambar
Bagi sebagian orang, rindu itu seperti persembahan dari khayangan. Dinanti benar pernyataannya dan tak pernah sabar untuk bertatap mata. Binar. Itulah yang ingin segera dipancarkan dan ditangkap kembali sinyal mesranya. Cita-citanya mungkin saat itu hanyalah satu, tak perlu cumbu mendalam dan desah tak karuan, hanya ingin menari semaunya. Tak ada hitungan ketukan. Tak ada gaya seragam. Semaunya saja. Bagi sebagian orang lainnya, rindu itu seperti derita atas permintaan ego yang tak pernah kunjung habis. Tuntutan atas peran yang pernah mengungkapkan kasihnya, meskipun sudah terlampau lama diucapkan. Pernyataan itu bagaikan ketidakmengertian atas peran hidup lainnya. Rindu bagai menusuk hingga luka. Bahkan, rindu hampir diharapkan tidak ada agar hidup lebih tenang. Bukankah hidup sudah cukup sibuk bagi kami kaum urban? Sementara itu, saya melihat seorang gadis berjingkat tanpa keteraturan sambil meliukkan tubuhnya berikut goyangan kepala yang tidak sinkron dengan musik yang didengarkan s

penantian kebetulan beruntun

Gambar
Hidup sering kali ada di bongkahan batu kecil di tengah laut. Tak bisa kembali ke daratan dan terlalu besar tantangan untuk melangkah ke pulau selanjutnya. Kiri-kanan pun hanya hamparan laut luas. Antara tidak mau mengingat atau memang terlupa, kita bahkan tidak tahu bagaimana bisa sampai pada bongkahan batu kecil itu. Sendirian pula. Tanpa persiapan apa-apa pula. Menyalahkan siapa dan apa pun bukan jalan keluar. Bahkan, hanya akan mengikis batu yang sudah mengecil itu. Semua pilihan menjadi semu. Kenyataan serasa sepahit yang selalu dibicarakan orang-orang. Harapan kandas tak terjejak. Inilah yang mereka sebut dengan berada di bawah. Berada di garis yang lebih rendah daripada perputaran kehidupan dalam berbagai kisah turun-temurun. Satu-satunya harapan adalah menanti kebetulan-kebetulan beruntun yang sering kali terjadi di film tanpa diharapkan. Berdoa sekeras mungkin akan hadirnya kemungkinan yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Bersemedi akan kesempatan yang tak pernah diharapkan

c'est la vie

Gambar
Ini bukan saatnya untuk berkeluh kesah tentang diri sendiri. Bukan pula waktunya memohon penghargaan. Lagipula, penghargaan tidak semestinya diminta, apalagi mengemisnya. Rasa itu sebaiknya timbul atas kesadaran dan kemauan. Mungkin, satu-satunya jalan adalah menurunkan ekspektasi. Progres bukan menjadi pilihan. Kemunduran bisa jadi jalan keluar yang terbaik. Akui sajalah. Setiap kita tidak bisa menjadi yang terbaik. Bahkan, terbaik kedua atau ketiga—jika “terbaik” keluar dari maknanya menjadi lumrah untuk diurutkan. Ikuti saja alurnya. Dan, segera membiasakan untuk menjadi pihak luar. Kebutuhan adalah asas dari ini semua. Batas-batas menjadi begitu jelas. Tidak saja membatasi, tapi juga harus menghanyutkan pahit yang kesakitan. Ini bukan saatku. Ini bukan pula saatmu dan saatnya. Ini adalah waktu untuk membiarkan hidup dan waktu menjalani perannya. Peran manusia berhenti sampai di sini. Tanpa perlu nestapa berlebihan untuk meratapinya. C’est la vie. *gambar diambil dari http://weheart

to be happy is so easy

Gambar
Setiap minggu, Lesya tak pernah luput datang ke rumah sakit untuk menemani kakaknya sejak mengidap penyakit itu. Setiap minggu itu pula, perempuan itu ada di sini. Rambutnya panjang tanggung. Selalu menggunakan minyak wangi yang sama. Tangannya selalu ada mainan, entah kartu, alat musik, atau apa saja. Selalu datang sebelum Lesya dan kakaknya datang. Selalu sedang berbincang dengan orang lain. Beberapa kali masuk ke dalam ruangan dokter, tetapi sekeluarnya, ia tetap duduk di ruang tunggu. Senyumnya tak pernah berhenti dipamerkan. Terlihat ramah. Hangat sekali pembawaannya. Minggu lalu, ia menghampiri kakak Lesya setelah teman bicaranya masuk ke dalam ruangan dokter. "Hai," sapanya ramah, giginya putih bersih, tersusun rapi. Ia langsung mengambil tempat duduk di samping kakaknya Lesya. "Hai," jawab kakak Lesya pelan. "Nomor urut berapa? Masih lama?" tanyanya tanpa ada intensitas mengganggu. "Masih 10 nomor lagi" jawab kakaknya

kiri-kanan-depan-belakang

Gambar
Kalau tidak memilih ke kiri, bukan berarti pilihan jatuh pada kanan. Ya, sering kali orang berasumsi sesuka hatinya. Tak masalah. Hanya saja mungkin pilihannya diperluas sehingga tidak terjebak dalam hubungan sebab-akibat yang semu. Pilihan di dunia ini tidak hanya dua, bukan sekadar betul atau salah. Alasan di semesta ini pun tak hanya argumen kosong dari kebanyakan orang. Orang yang memilih untuk tidak makan siang bukan hanya karena ia masih kenyang atau tidak punya uang, tapi bisa saja ia sedang sakit perut. Bisa juga ia sedang menunggu janji untuk memadu kasih lewat sinyal telepon pada saat itu. Seseorang yang memilih untuk pindah kerja bukan saja beralasan gaji lebih besar atau ada kenyamanan yang jauh lebih baik yang ditawarkan. Namun, ia mungkin merasa ingin berkontribusi di bidang lain. Kita tersekap dalam stereotipe klise. Hanya bisa paham dengan apa yang kita percaya. Padahal, banyak hal yang kita tidak percaya bukan berarti tidak ada. Hal yang tidak dipercaya itu bukan