Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2014

Waktu

"Di luar hujan" "Orang-orang menyelamatkan barang" "Resah menjadi obrolan" Sudah beratus basa-basi untuk memecah kekakuan di antara kita Kau masih saja tak menyambut  Ini lampu sudah padam Gelap jadi penat yang memohon untuk diterkam Adakah yang masih bisa kita luangkan? Kalau kau memang tak mau berkawan, mari kita adu dendam. Duduk berhadapan Lempar tatap yang mendalam Malam atau pagi tak lagi jadi persoalan Dahi berkernyit Segala jadi bengis Caci maki mulai berkerah Pertanyaan terlontar dengan nada tinggi Bunyi napas terdengar terengah-engah Ruangan menyempit Aku terhimpit Hitam mencapit-capit Kamu bahkan tak menyipit Tak ada lagi celah untuk bergerak Sisa udara pun tak mudah diternak Rasa dan pikir sudah mati tak berbiak Aku tersungkur Habis sudah rutukku Kamu masih bisu Duduk manis menatapku Sambil diam-diam menghirup seluruh

nyali yang kegilaan

terdengar tawa-tawa kecil dalam telinga menggelitik perut tak karuan tawa ini untuk kecerobohan diri sendiri yang kemudian sudah menjadi begitu terlanjur apa lagi yang hampa nanti? pergi bukan selalu untuk meninggalkan mungkin juga sudah tidak ada yang patut dipertahankan atau tak ada lagi, tak ada apaapa lagi di antara puing nyali bergeragas masuk menikam-nikam hati yang selama ini diam ini segala bisa diterkam karena tak ada lagi di luar, tak ada apaapa lagi terlalu melarutkan bukankah seharusnya ratap dalam pekat? begitu membludak segala bercecaran dalam kekosongan dan tak ada lagi kekosongan yang lebih kosong diam tidak ampuh lagi kosong justru membebaskan penyerahan diri untuk kesiapan atas apa pun melanglang buana, bersamudra, menelungsup, bahkan hilang kosong menghilangkan arti yang dikira inti mencopot cengkraman ilusi ketidakpastian menjadi satu-satunya penunjuk jalan tapi tak ada jalan ini akan buyar tak ada lagi, tak ada apaapa lagi hanya nya

Samar Konteks

“You know, sometimes all you need is twenty seconds of INSANE COURAGE. Just literally twenty seconds of just embarassing bravery. And I promise you, something great will come of it” – Benjamin Mee (We Bought a Zoo) Semalam saya menonton itu dan kecengengan yang sudah diduga tentu saja terjadi. Tapi, intinya bukan itu. Konon, langkah pertama untuk banyak hal adalah pengakuan. Berhubung saya sedang haus akan banyak hal, saya memilih untuk mengaku saja. Saya memanfaatkan kesempatan atas keputusan yang saya ambil dalam waktu kurang dari dua-puluh-detik sebelum tulisan ini dimulai. Semoga saya tidak kehilangan keberanian di tengah jalan. Percayalah, ini juga ditulis dalam keadaan hati berdegup-degup. Sialan. Bersama tulisan ini, saya mengaku bahwa saya sedang rindu mati-matian dengan teman dekat saya (dan masih belum terlalu gila untuk menyebutkan namanya). One of a kind . Saya hampir tidak pernah takut untuk kehilangan dia. Setiap hilang, dia selalu hadir kembali dengan tiba-tiba

Dua Bernama Sama

Dua-duanya membuang rokok pada satu asbak yang sama. Dua laki-laki bernama sama dan berkecimpung dalam satu bidang yang sama, meskipun berdomisili berbeda. Dua hidup yang beririsan. Saya menghampiri meja yang mereka duduki. Saya melempar senyum dan mereka membalas sama-sama ramah. Kami pun terlibat dalam satu percakapan biasa yang saling paham. Satu selalu melontarkan isi kepalanya dan hatinya tanpa mau berikatan. Satu lagi selalu mengajak saya untuk bebas mengeluarkan segala. Umpan berteman pancing sanggup melenakan saya. Sore yang singkat bagi kami itu dilalui dengan kerutan di dahi dan disambung dengan derai tawa tak bertujuan. Ketika keadaan sudah cair, saya memilih meninggalkan mereka berdua. Ini tidak sehat, setidaknya bagi saya. Dua laki-laki berencana menghabiskan malam Sabtu bersama karena satu akan pergi ke satu kota lain. Satu yang diajak turut mengajak saya untuk pergi bertiga. Saya meninggalkan kesempatan itu untuk mereka berdua saja. Cukup sudah sebelum terja

Gegara Sasha Grey, Dua Orang Dikeluarkan dari Kedai Kopi

“18 tahun?” “Iya, dia mulai kariernya waktu dia 18 tahun. Lihat, seperti apa dia sekarang.” “Seperti apa?” “Dia sudah digarap oleh Steven Soderbergh.” “ Erin Brockovich dan Ocean's Eleven ?” “Ya! Steven yang itu.” “Dan, digarap yang kamu maksud adalah?” “Bukan seperti yang kamu asumsikan. Dia jadi pemeran utama dalam The Girlfriend Experience .” Suaranya tak dikecilkan sama sekali. Padahal, kami sedang berada di kedai kopi dengan ruang yang memungkinkan nyaris terdengar pengunjung lain, pun berbincang berbisik. Malam itu, kebanyakan orang cenderung berbicara; pura-pura tak mendengarkan pembicaraan di meja sebelahnya. Padahal, kami sama-sama tahu bahwa kami saling curi-curi dengar di tengah jeda percakapan di meja masing-masing. Mungkin, aku lebih takut dikeluarkan secara paksa dari kedai kopi itu ketika salah satu pengunjung ternyata antipornografi dan tahu betul siapa yang sedang kami perdebatkan. Irosnisnya demikian, menentang keras, tapi tahu

Nanti

Di tengah segala keriuhannya, ia meninggalkan pesan singkat. “Ada waktu?” Saya yang merasa telah diluputkan tentu saja meninggalkan segala yang sedang dilakukan—pun itu hanya untuk pengalihan semata—demi meng-ada-kan waktu. Bertemulah kami dengan perjumpaan yang sudah dirancang untuk sesaat. Sesaat pun sudah menuai arti daripada tidak sama sekali, apalagi dalam desakan tuntutan yang hampir tak ada waktu lagi buat apa pun, bahkan siapa pun. Tapi, ini adalah kesempatan yang dibuat-buat. Pertemuan itu diawali dengan saling melempar tawa dan pandangan, seperti yang sudah-sudah. Kami sama-sama tahu apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi. Kemudian, dia hanya bilang. “Inilah.” Saya balas sama, “Inilah.” Ini adalah saat ketika satu-satunya yang diinginkan hanya pertemuan, tanpa tahu apa yang harus dilakukan ataupun dikatakan. Dan, kami masih sama-sama tahu itu. “Saya merasa harus bertemu kamu.” Saya menunduk sebentar, lalu menegakkan wajah melihat matanya, “Saya tahu. T