Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2013

Tenang

Adanya hanya menawarkan ketenangan Tak patut dikatakan hanya Itu sudah lebih dari segala cukup Tanpa keterlaluan Tenang itu ia bungkus manis Tak perlu terlalu rapi Jua tak dibuka untuk ditunjukkan Apalagi diberikan Setiap sua, ia taruh tenang di tengah meja Bukan hanya dalam kalut Tapi juga dalam keceriaan yang hampir membabi buta Ketika kepelikan meraja lela Wajar yang disuguhkan Tamparan realitas menurunkan harapan Ia coba bangkitkan, tapi bukan diterbangkan  Pada sepersekian detik yang tepat Ia melihat kembali tenang di antara Membiarkan suasana tetap berada di tengah, di antara Antara adalah tenang Dan, pada zaman yang serba edan Tenang jadi barang langka yang bukan dikoleksi

Makan Optimisme, Kenyang Semu

Tidak perlu menunggu lima tahun mendatang. Dalam kurun waktu dua minggu, optimisme saya dipertaruhkan sudah. Beberapa pandangan tertanyakan kembali. Baru saja sorenya seorang teman dekat mengirimkan pesan. “Belakangan ini, benar-benar peragu.” Saya balas spontan, “Ragu itu bagus; awal dari yakin. Bahkan, bisa jadi lebih yakin daripada orang yang tidak pernah ragu.” Malamnya, saya teryakinkan akan suatu pernyataan yang hanya saya anggap angin lalu beberapa tempo lalu. Jelas, bukan kabar baik. Saya kira itu lebih mudah ketika sudah dibagi dan dibicarakan dengan orang lain sebelumnya, tetapi ternyata rasa memang tak bisa diprediksi. Menanggapi kekalutan saya, teman dekat saya menyanggupi ketersediaan kupingnya. Tanggapannya? Ia mengatakan bahwa ini adalah cara untuk mengetahui alasan kepercayaan saya atas optimisme yang sebenarnya. Apakah saya percaya karena benar saya percaya? Malam itu juga, saya meyakinkan teman baik saya itu bahwa sa

Sepandai-pandainya Optimisme Meloncat, Ia akan Jatuh Juga?: untuk Dibaca pada 2018

“Ingat pembicaraan ini lima tahun lagi.” Itulah pemantik dari kelahiran tulisan ini. Dibuat untuk dilihat kembali pada lima tahun mendatang; sekadar pengingat. Malam itu, ajakan—untuk makan malam dari seorang teman dekat—saya terima begitu saja. Sedatangnya, ia menceritakan kekesalannya terhadap ketidakcakapan atas cara kerja rekannya. Pasalnya, mimpinya kadung dijalankan, tetapi rencana yang tidak sesuai dengan mula sudah biasa. Pun biasa, bukan berarti ada maklum dan bisa berjalan baik-baik saja. Dalam sela-sela obrolannya, saya ingat ia bilang, “Ini bukan soal harga diri semata, ini ada soal lain.” Tentu saja, soal lain yang ia maksud adalah mimpinya; satu hal yang sudah dikorek-korek selama sekian tahun, dipendam kekagumannya selama hampir sepertiga hidup, dan akhirnya didiamkan di depan mata begitu saja—bukan oleh dia, tapi oleh rekan kerjanya. Bicara tentang mimpinya, saya begitu semangat mendengarnya. Setiap kali dia cerita tentang itu, saya yakin ada harapan pada masa