Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2009

sigap

Asal kamu tahu saja, rindu ini mengganggu benar. Segala cara untuk mencari perhatianmu justru malah melelahkanmu. Aku pun lelah mengaduk-aduk cara lainnya. Rindu ini justru menjauhkan kita, seperti yang sudah-sudah. Coba kita tak pernah merindu. Kita pun mungkin sudah terbuai pada tingkat paling mesra. Dan, setelahnya, dengan sigap, bosan melanda.

sebagian saja, tak usah seutuh

Mungkin ia memang lelaki yang hampir selalu mendampingi tiap kisahku. Tapi, jangan pernah lupa, kami tidak saling memiliki. Memang benar, ada beberapa bagian dariku yang selalu tertinggal bersamanya. Tapi, tetap saja, dia bukan milikku. Bahkan, kami tak saling berkeinginan memiliki. Aku bukanlah hidupnya yang harus selalu menjadi nomor satu. Bukan pula satu-satunya seperti tuntutan mereka pada umumnya. Biarkan saja, pikirku. Aku akan menghargai dia seutuhnya dengan menjadi bagian dalam hidupnya. Ya, sebagian saja, tak usah seutuh. Kami tak perlu menjadi kita. Aku dan dia saja yang mewakili. Dua individu yang mempunyai kebebasan tanpa harus menjadi kesatuan. Mereka bilang, aku dan dia harus satu kata, satu pendapat, satu tujuann. Namun, masing-masing percaya setiap individu bebas merasa, berpikir, dan berada di antaranya. Aku dan dia tetap dua tanpa keharusan. Menjelma menjadi ras ayang ikhlas, jauh dari untung-rugi, bahkan sistem barter sekali pun. Jadi, jika kamu merindunya, panggil s

pesan

Berkali-kali pesan yang sama diketiknya. Selanjutnya, ia diam saja menunggu balasan. Bukan pekat malam yang didambanya seharian ini. Sibuk ia mencari gemerlap lampu kota di sisa malam itu untuk menyibukkan pikirannya. Namun, pesan itu masih saja tak berbalas. Dan, ia tidak pernah lelah menantinya. Esoknya, terik menjadi saksi pertumpahan air mata. Seorang lainnya diam saja duduk di hadapannya. Tak bergerak mendekat. Tak mengusap lembut mencoba menenangkan. Jingganya matahari menjadi saksi selanjutnya. Masih saja, pesan semalam tak dibahas sama sekali. Tahunan tak menjadi jaminan. Air mata itu seperti sia-sia, tak berarti apa-apa. Padahal, ini sudah tahun kesekian. Tak terseka pula. Seorang lainnya sudah bosan berada di situasi yang tidak dimengerti sekaligus dengan mudah dipahami karena ini adalah kali kesekian. Subuh itu ia terbangun. Segala pesan ia bongkar untuk menghapus seorang tadi. Ditulis lagi pesan yang sama dan tak pernah terkirim. juni 2009

mengulang pertanyaan

Kamu tak peduli, kan? Itu saja yang diulang-ulangnya. Selalu. Aku tak ambil pusing dari tiap pertanyaan itu. Kutinggalkan saja dengan rapi. Sebelum pergi lebih jauh, ia mengulang lagi. Kamu tak peduli, kan? Dia adalah sosok paling tegas yang pernah kukenal dengan baik. Tetapi, untuk urusan ini, ia selalu rela kalah untuk tidak mendapat ketegasan. Tahukah ia? Aku merasa menang dari ketegasan yang menjadi ciri khasnya. Namun, ia sangat tegas dengan pasti bahwa perasaan bukan masalah menang kalah. Istilah kalah untuk menang pun tidak pernah ia percayai. Ketika kami duduk berdua sekian lama, ia merapikan barang-barang bawaannya. Rokok, korek, telepon yang tidak pernah berbunyi, dan satu rasa tak bernama. Kamu tidak akan pergi ke mana-mana, kan? Itu saja pertanyaan yang selalu kuulang dan tak pernah terjawab. Lalu, ia mengulang pertanyaan andalannya.

bicaralah

"Kenapa berulang kali kau tanya tentang hati ini?" kubakar rokok sebelum menjawab pertanyaan yang selalu diajukannya. "Ini serius karena aku harus tahu," itu saja jawabannya. Aku sungguh tak mengerti. Ia selalu menganggap masalah hati lebih serius daripada segala hal yang biasa kami bicarakan. Kelaparan di Afrika, kemiskinan negara sendiri, sengketa pulau, kapitalisme, dan hak perempuan menjadi kalah serius seketika. "Mau keluar dari pembicaraan dengan cara apa lagi kali ini?" tanyanya mulai sinis. Mungkin kali ini harus kujelaskan saja kepadanya. Entah mengapa, aku merasa tetap ingin mempertahankan argumenku. "Ini bukan masalah rahasia. Ini juga bukan karena aku tidak kenal hatiku sendiri," jawabku setelah menghembuskan asap rokok. "Bicaralah," katanya tak sabar. "Rasa ini urusanku dan urusan yang bersangkutan. Makanya, kupendam erat-erat," jawabku ketus. "Kamu salah satu yang bersangkutan," lanjutku tak terdengar.

alienasi

Hari itu adalah hari yang telah ditunggu-tunggunya sekian lama. Bertemu dengan orang-orang yang telah lama dikenal dengan baik. Bertukar kisah pun menjadi rencana utama ia dalam pertemuan itu. Segala lelah dan resah dikesampingkan demi hari itu. Duduk ia di ujung meja. Menebar senyum dan memperbarui segala berita pribadi yang tertinggal. Kemudian, pembicaraan berlanjut melebar. Ketika itu pula, ia tertegun. Diam saja. Pembicaraan di meja itu begitu asing baginya. Tidak tiba-tiba asing, perlahan-lahan saja ia tidak mengenal topik itu. Tak ada satu pun yang bisa dimengerti dengan mudah. Dunianya seolah-olah begitu berbeda. Padahal, ia kenal dengan baik semua orang di meja itu. Ia merasa begitu berbeda di tempat ia merasa seharusnya berada. Pergi pun tak akan menyelesaikan keterasingan itu. Pertemuan itu semestinya menjadi tujuan akhir, tak ada tempat lain. Orang-orang itu tak pernah menjelma akhir, hidup dalam tiap napasnya. Sayang sekali, ia pun harus merasa asing di kenyamanan yang ter

suatu tempat

Musim kemarau ditinggalkan olehnya. Ia berjalan perlahan mencari air. Ternyata, sesampainya di kota itu, hujan tak henti turun. Bahkan, ia pun terlelah dan segera meminggir. Bertemulah ia dengan orang lainnya di pinggiran itu. Mereka bercerita tiap kisah. Segala tawa pun tak terdengar oleh suara hujan, segala harum tersapu oleh bau hujan yang khas, segala air mata pun terbias oleh rintik hujan. Dari segala cerita yang dikisahkan, mereka pun tidak selalu satu pendapat. Namun, ada satu kesimpulan yang disepakati, yaitu perubahan yang selalu ada. Dalam setiap satuan waktu, semua terjadi perubahan. Menjadi lebih tahu, melupakan apa yang diketahui, dan menjadi tidak peduli dengan apa yang diketahui. Perubahan regresif dan progresif tetap saja dinamakan perubahan. Mereka sepakat akan perubahan yang selalu dialaminya. Salah satu dari mereka pun yakin dengan perubahan alasan mengapa ia ada di tempat itu. Ia sadar dengan baik apa-apa saja yang dijadikan alasan menetap, bahkan ketiadaan alasan p

dandelion

Gambar
Kami adalah dandelion berjejer yang mencoba bertahan dari udara dingin malam dan tiupan badai petang. Kami telah mengakar sekian lamanya. Sayang sekali, beberapa saat lalu, angin membawa pergi salah satu dari kami. Ternyata, bergenggam tangan pun masih mampu melepaskan salah satu pada saat yang bersamaan. Akan tetapi, kami percaya, setidaknya aku, bahwa masing-masing masih sanggup bertahan dan beridentitas sebagai dandelion. Malam ini, salah satu dandelion perlu diselamatkan. Kekuatan kami berkurang. Kami kebingungan dengan formasi baru ini, sementara angin terlalu kencang. Salah satu dandelion sedang tidak ada di tempat. Kerapuhan ini ditutup rapat hingga tidak membau. Air mata ini diseka singkat hingga tidak melenyapkan sisa harapan dandelion lain. Jika saja angin menerbangkan salah satu dandelion kembali, rapatkan jejeran dan tantang kembali segala yang ada tanpa getir. Kini, bercukuplah dengan segala kebimbangan. Sisa kuat akan memampukan, setidaknya itu janji alam. Maaf, kali ini