Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2008

si putih aw si putih

Berapa kali pertemuan telah kita buat? Itu pun karena keharusan. Dipertemukan. Ya, aku dipertemukan oleh hantu. Sosok yang sudah sering kudengar namanya tiba-tiba terlihat dengan penuh kesadaran.

nyeleseinnya nanti, ya,,,

"ada niatan pergi bersamaku hari ini?" "kapan pun" "salah satu mal terbesar?" Aku terdiam sesaat. Mal besar adalah tempat paling akhir yang tertulis di daftar favorit kami. Kami lebi suka duduk di kedai kopi atau warung kopi sederhana. Tak ada banyak orang yang sibuk mencari perhatian seisi kedai atau warung. Yang ada hanyalah orang-orang yang berebut mencari suasana untuk mengumbar kata-kata. Kecil saja tempat itu. Sederhana saja pesanan kami. "ada apa ya?" Tak tahan juga aku bertanya dengan heran. Bagaimana dengan obrolan mengawang-ngawang yang biasa kita lakukan? Apakah tempat seperti itu cocok untuk dilakukan di sana? "hanya ingin melihat perkembangan. aku atau mungkin kita sudah terbiasa dengan kehidupan di balik layar. tak inginkah menonton sejenak?"

subjek-subjek

Ketika dia memutuskan untuk memberikan kata akhir pada hubungan itu, aku pun menerima dengan mudahnya. Toh, ketika rasa itu memang sudah benar ada, ada tidaknya hubungan bukan lagi masalah. Cukup rasa itu dan selesai. Perasaan lain selain itu merupakan perkembangan dari konstruksi sosial yang membentuk anggapan bagaimana mengekspresikan dan menanggapi rasa itu sendiri. Kenapa rasa ini sudah mulai dikontaminasi oleh sistem kapitalis? Ketika ada tuntutan untuk saling menukar rasa, bahkan ditukar dengan rasa yang sama. Pemberian atau pengekspresian rasa seperti harus ditukar dengan sesuatu hal yang lain. Selalu atas nama pertukaran. Kalau begitu, keadaan atau kejadian rentan sekali dengan untung atau rugi. Padahal, rasa itu jauh sekali dari timbangan. Walaupun, rasa itu tetap mempunyai pagar semu di sekelilingnya dengan satu pintu kecil yang bisa ditutup dan dibuka. Kadang bisa diperluas batasnya atau bahkan diperkecil. Lagi-lagi, rasa itu, kan, bukan untuk diperhitungkan, bahkan batasnya

ada

Dia hanya minta diakui. Itu saja. Ada karena dia memang ada sebagai subjek. Ada di antara kalian dan diakui keberadaannya. Bukan dengan mendengarkan keluhannya tentang hidup yang bertubi-tubi. Justru kisahkan perjalanan kalian untuk dia dengarkan. Biarkan dia merespons sebisa mungkin, seminimal mungkin bahkan. Tapi, dia merasa ada sebagai pendengar. Merasa ada karena ada kisah yang harus ditanggap, dikomentari, bahkan ditertawai bersama untuk menenangkan. Bagi pula kekonyolan yang terjadi. Percikkan senyum di sana-sini. Suasana itu kapan lagi. Saling menganggap ada dan berbagi ada masing-masing karena ingin, bukan karena harus. Kemudian, kalian masing-masing pulang dengan potongan kisah yang tersisa. Melangkah lebih dalam dan menumbuhkan rasa percaya dan tentu saja rasa nyaman. Dia hanya ingin dianggap. Dirasakan perbedaan hadir dan tidaknya. Dicerna dalam senyum dan air matanya. Dibagi serpihan tawanya. Boleh dimulai dengan mendengar lagu kesukaan kalian dan hanya duduk diam di sampin

sd

bahkan, aku pun tak bisa bergerak dan tak diminta bergerak ketika sahabatku segera menghadapi hari-hari barunya.. seberapa tak berartinya?
aku belum kenal lelah untuk mencari undangan duduk-duduk darimu. aku pernah terima, tapi aku tumpuk entah di mana. mungkin waktunya juga sudah kadaluarsa. mungkin juga tempat janjian kita sudah direnovasi. tapi, aku perllu sekarang. perlu sekali. undangan untuk duduk-duduk dan berbincang. dengan siapa saja. tempat duduk itu sudah menungguku dari beberapa waktu yang lalu. tapi, ia tidak mau ditempati jika aku sendiri. kubongkar kembali satu lemariku untuk mencari undangan duduk-duduk. aduh, aku tak dapat apa-apa. tempat duduk pun mengirim air mata untuk menemani.

cukup

Seorang perempuan duduk sibuk berdiam diri. Bangku lapuk itu rela saja didudukinya dalam jangka waktu yang cukup lama. Bahkan, bangku itu pun tak segan untuk turut menampung segala berat rindu si perempuan. Belakangan ini, ia seringkali didatangi pertanyaan-pertanyaan. Ia sempat terkejut. Apalagi, kali ini, tidak ada teman yang bersedia menawarkan pikirannya sejenak untuk bertukar. Ia percaya, kadang bukan jawaban yang dibutuhkan, hanya proses untuk mendapatkan jawaban yang paling dekat. Sayang, teman si perempuan sudah mulai melangkah perlahan. Tapi, si perempuan belum siap menerima segala perubahan. Teman-temannya hanyamau bersenang-senang. Cukup penat dengan sengan segala pengalaman sehari-hari yang mereka alami. Perempuan itu hanya butuh berbagi. Bagi kata. Bagi tawa. Tapi, bukan bagi perubahan. Dia belum cukup siap untuk itu. Teman terdekatnya pun rela meninggalkannya dalam pikiran si perempuan tadi.