Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2013

37 Peringatan

Ini adalah peringatan Atas hebatnya perasaan Semua dapat kulakukan Termasuk menjadikan pacarmu sebagai kudapan Kau akan belingsatan Dan, aku tersenyum penuh kemenangan Kenapa takut untuk jahat? Pikiran, toh, tak berkutat Kau malah terperanjat Melihatku kepadanya bertambat

36 Bukan Sesiapa

Ini seharusnya sudah botol kesekian Saya masih saja berkutat dengan halaman segini Kita sebaiknya saling membangunkan Menghibur diri atas kehidupan yang terus berjalan Pada subuh yang hampir menjelang ini Kutitip salam kepada bukan sesiapa yang cukup merindukan

35 Biasa Saja

Berkali-kali ia katakan Ia hanya mau biasa saja Saya bingung bukan kepalang Biasa saja lekat dengan kewajaran Untuk saat ini Kesedihan bukan hal luar biasa Maunya sudah terpenuhi Dan, masih mau lebih biasa dari ini Saya kira Biasa tak berukuran

34 Ragu yang Mengharu

Lalu, Segala ragu menjadi haru Pandang-pandangan Sembari senyum-senyuman Lalu, Tangan bisa erat-erat Tak ada ruang malu-malu Segala duka menjadi suka Lalu, Sudah boleh panggil kekasih?

33 Mati Suri

Tak mudah meninggalkan Bapak sepagi ini Dalam lelapnya yang paling tenteram kali Terbayang ketika ia bangun nanti Anak perempuannya pergi menyembunyikan hati Dan, tersadar, ia sedang dikibuli Senyum selalu disungging perempuan ini Padahal, di lubuknya, perempuan itu sedang mati suri

32 Akuarium

Ini sudah lembar kalender kesekian yang kurobek Sejak terakhir kali pertemuan kita Ingat, ini bukan kalender harian, melainkan bulanan Tiap merobeknya, kupertanyakan kabarmu Sekaligus membayangkanmu dengan rutinitas Pertanyaan dan bayangan itu memang tak pernah sampai Sore itu, ketika langit sedang sendu-sendunya Pintuku diketuk, harapanku atasmu sudah lelah Seperti biasa, di ujung lelah kerap ada kejutan Kau berdiri depan pintu tanpa tangan tersisa Keduanya direbut akuarium berukuran sedang Serta-merta segala perlengkapan di dalam Wajahku datar untuk mencerna Aku lupa berbuat apa biasanya ketika berhadapan denganmu Terlalu lama dan ini terlalu tiba-tiba Sekian bulan ini, kau jauh dari bayanganku Ternyata, kau bangun akuarium di sela-selanya Menyatakan mimpi yang pernah kubagi dengan hati-hati Sesaat itu juga, segala absenmu menjadi nyata Berbincang kita di depan akuarium yang sudah terpasang Sampai lupa atau tak peduli ini pagi atau malam

31 Sebayang

sedari mula percakapan strategi sudah kurancang malam ini, kita berakhir di ranjang bukan, cinta tidak semenggebu ini ilustrasi di dadanya perlu kuawas untuk dilukis sebagai satu karya tidak ada kesempatan lain selain di ranjang, bukan? lihat dari dekat, cermat dalam lama karyaku ini belum selesai-selesai selalu luput serpihan kecil sehingga mesti cari cara lagi untuk membuatmu ada di ranjang nanti, kalau memang sudah jadi 'kan kupanjang di depan menyaring orang yang kenal betul pasti ada yang bertanya "berapa bayang dalam lukisan itu?" tak sabar, kuingin menjawab "Sebayang"

30 Perhatian

malam ini angin bertiup kencang menepiskan segala mau tak bernyali tergantikan sendawa tanpa ujung hingga maklum beri perhatian

29 Puisi

melalui buku polamu terbaca dengan film gerakmu tertonton bersama puisi rasamu sampai

28 Perempuan Berhasrat

punya hasrat saja malu-malu sesuatu yang begitu manusiawi tidak disediakan ruang jujur apalagi bagi perempuan berhasrat kalau sudah ketemu saling bukankah nikmat menyaling? malu itu bisa menjadi rayu sayangnya, rayu tak melulu manis

27 atheis

atheis itu tidak percaya tuhan dalam penjelasannya saja, tetap ada konsep tuhan menggunakannya sama saja dengan mengakui keberadaannya atheis itu tidak percaya apa-apa jadi, apa? apa, ya?

26 Oh Iya

Setelah seberapa tahun Ingatannya tak sekomplit pada awal Ia tahu ada yang berubah pada wajah di depannya Berhasil pun tidak untuk mengenang Yang di depannya bertanya lugu "Cari tompelku, ya?" Yang ditanya kelabakan, sekaligus ber-"oh iya"

25 Bosan

Anak lima tahun itu menghampiri ibunya "Bosan," katanya sambil menunduk Muka ditekuk, cemberut Ibunya tersenyum Tersadar anaknya semakin besar "Semua orang pernah bosan" Disebutkan satu per satu orang di keluarganya "Dengan bosan, kita jadi tahu bagaimana cara bersenang-senang" Anak itu berjalan kembali ke bangkunya Paham atau tidak, ia akan mengluhkan hal yang sama Lagi dan lagi

24 Susu atau Anggur?

Bergegas saja mencari makna Macam sudah tahu mau ke mana Karena waktu bisa membuat kadaluarsa Demikian penjelasannya Padahal, waktu juga mampu mempererat Pun, membuatnya lebih berharga Setelah melampaui perdebatan tak berguna Pilihan tertinggal dua Susu atau anggur?

23 Kamu yang Mana?

Apa bedanya bahagia dan gembira? Pertanyaan macam itu memang hanya datang darimu Tidak juga dengan sapaan pembuka Gembira kerap terlihat melalui paras Pun, tak menentukan bahagia turut serta Jawaban itu berbalas pertanyaan lain Kamu yang mana? Aku ternganga

22 Haus Jejak

Tidak perlu penjelasan apa pun Segala laku lebih jelas Manusia macam apa yang kita pilih Giat kita hanya pembuktian Tak ada yang lebih mudah Dari yang sudah-sudah Kesulitan memang lebih membekas Dan, kita begitu haus akan jejak

21 Seandainya Akrab

keakraban memang mempermudah setidaknya, sepanjang bincang ini ragu betul untuk mengutarakan tapi, sampai kapan aku bisa bertahan? kenapa juga harus bergantung? bikin resah tak karuan dasar upil sialan tersisa di ujung lubang hidungmu

20 Tidurmu Lucu

Tidurmu lucu Terlelap tanpa wajah Resahmu menguap Tertinggal pejam yang hangat Aku suka diam-diam Menghayati nyenyakmu Suka takut-takut Ketika kau sedikit bergerak Langsung kupejamkan Aku kebosanan Dengan risauku sendiri Sampai aku menemukan keenakan Dalam lelapmu Itulah, tidurmu lucu

19 Bulan Bulat

Bulan bulat Begitu bulat dan pekat Apa masih ada yang punya tekad Sebulat itu?

18 Sebiasanya

Hidup yang menawarkan Segala kemungkinan terjadi Seharusnya menjadi keseruan Bagi orang yang kerap dikecewakan Oleh segala kemungkinan itu Bisa jadi tak ada lagi keseruan Mungkin, keseruan tak lagi Ditemukan dalam kemungkinan Tapi, dalam mencerna Kegetiran menjadi hal yang biasa Sebiasa-biasanya

17 Batuk

Bapak, maafkan saya batukmu sepanjang malam tentu melelahkanmu itu cermin doaku sebelum tidur aku terlalu takut bapak mendapat nyenyak yang terlalu

16 Pura-pura

Dalam haru yang menggebu Air matanya hampir tak tercerna Buang tawa di mana-mana Seraya mengabarkan dunia Hidupnya bahagia tanpa ragu Mereka sibuk menaruh iri Bagaimana bisa Kisahnya tetap memberi tawa? Pada waktu selanjutnya Gembiranya dikempit secara rapat Wajah sedih tanpa senyum Dipamerkan di mana-mana Seolah bebannya keterlaluan Mereka kembali sibuk Kali ini, menaruh perhatian Dengan apa yang ia miliki Kerap mendapat keinginan Maklum saja Ia hanya punya kepura-puraan

15 Ruang

saling beri ruang dengan berkabar jarang-jarang saling bangun ruang dengan pertemuan yang tak kalah jarang

14 Bunga-bungaan

sepagian tadi kakakku memetik bunga-bungaan kutanya buat apa ia malah melengos tak tentu arah di hampir tidur dan belumku tentu saja malamnya ia mengendap-endap jalan mendekatiku dengan berjinjit bunga-bungaan tadi pagi tertebar di samping bantalku mataku masih terpejam tapi, gerak-geriknya terbayang dalam kegelapan sebelum menutup pintu kakakku berbisik "tidur nyenyak, adik semoga bunga tidurmu makin wangi" bunga-bungaan itu kusiram biar tetap segar dengan air mataku "jangan layu nanti, kakakku yang sudah susah-susah malah merasa payah"

13 Berkesalingan

Di tengah bulan purnama Setidaknya, ini bulan purnama kesekian Aku dan kamu berpapasan Tanpa pernah bertemu Di tengah malam berbintang Setidaknya, pasti ada mereka di atas kumpulan polusi dan bias lampu kota Aku dan kamu bercengkerama dalam ketidakhadiran Tangan aku dan kamu memang bergandengan Sayangnya, tidak berkesalingan

12 Surga di Mana?

"IBU, SURGA DI MANA?" bentaknya setelah mendobrak pintu tanpa terkejut, ibu tersenyum "di matamu, anakku"

11 Korban

kata mereka, ditinggalkan jauh lebih mudah daripada meninggalkan mungkin, mereka lupa meninggalkan justru beri dampak lebih akut yang tak ketara itu menyeramkan nyali menghilang menjadi tersangka selama sepanjang sedangkan yang ditinggalkan kerap bermain aman menjadi korban

10 Kata Ibu

kata ibu, sedih tidak pernah datang sendiri itu jauh menjelaskan aku tidak pernah datang sendiri

9 Pelawak

permintaanmu untuk menjadi pacarku adalah lelucon terbesar secara tidak langsung kamu seraya berkata, "sakiti aku!" apakah hidupmu kurang berkesakitan? mungkin saja terdera merupakan lelucon bagumu bagaimana kalau kita menjadi pelawak?

8 Mantan

kekasih tak pernah menjadi mantan apalagi bekas kerap menempel pada dinding kenangan di celah sekat yang berhimpitan walaupun berkarat tak pantas jua diingat tetap menetap di ruang mencekat jadi, berapa banyak kekasihmu?

7 Jangan Tidur

Bapak, jangan tidur lelapmu menjagakanku aku ingin bangunmu terlalu pengecut untuk melihatmu terlalu nyenyak

6 Kejam

Ia datang. Diletakkannya beberapa bungkus tokok di meja yang hanya ada mereka berdua. "Waktu kita tidak panjang. Setidaknya, itu yang kita ketahui. Aku ingin menelusurinya dengan padat." Kawan bicaranya tak bingung. "Setidaknya, keberadaan kita di sini karena ketertarikan," begitu tanggapan lawan bicaranya yang tak pernah tersampaikan. Diceritakannya tragedi hidup dan kekejamannya. Entah siapa yang kejam. Bisa hidup, bisa pula ia. Siapa peduli? Hasilnya sama saja. Tertawa-tawalah kawan bicaranya. Bahkan, kawan bicaranya bisa menjadi lebih kejam ketika bisa menertawakan itu semua. Namun, bisa apa lagi? Mereka berdua mungkin menikmati kekejaman. Bisa juga, kekejaman menjadi pintu masuk sekaligus penyaring untuk kompromi. Bukankah perubahan hanya mitos seperti cara berpakaian?

5 Amboi!

Malam-malam Ia datang malu-malu Digenggamnya sepasang kupu-kupu Aduhai Pagi-pagi Matanya sayup-sayup Dikatakannya hati-hati Siang-siang Ia menangis tersedu-sedu Diucapkannya lirih tak lagi-lagi Sore-sore Hatinya dibiarkan jalan-jalan Pulangnya, ia senyam-senyum Amboi!

4 Angka

Penemu angka Tidak pernah sadar Dampak yang diberikan kepada umat Mulai saat itu Manusia mempertimbangkan angka Bahkan, bergantung padanya Percaya betul Semua-mua dipertanyakan melalui angka Waktu, cinta, kuasa, iman Seberapa lama? Seberapa cinta? Seberapa kuasa? Seberapa iman? Al-Khawarizmi menjawab Nol!

3 Titik Koma

Laki-laki itu pecinta koma Apa-apa dibubuhi koma "Banyak hal berkelanjutan Biarlah kerap menjadi kemudian" Begitu selalu penjelasannya Titik adalah kekasih perempuan itu Apa-apa dibubuhi titik "Kalau tidak ada yang selesai, mungkinkah hal baru tiba?" Urainya pasti begitu Bermalam-malam mereka berbincang Saling menonjolkan cinta dan kasihnya Berebut paham, pun diam-diam Dalam waktu tidak sebentar Mereka menjelma cinta dan kasih Titik koma; koma titik

2 Astor

Saya suka Astor. Suka seklai. Setiap saat, ia pantas menjadi teman. Pun, sanggup mengubah sedih menjadi tenang, bisa juga pakai senyum. Entah apa lagi yang bisa membuat saya suka melebihi ini. Rasanya, tidak ada lagi. Suatu pagi, saya bangun dengan kelaparan. Mimpi apa malamnya? Tak ada lain, hanya Astor di hadapan. Tidakkah ada yang lebih indah daripada kehadiran kesukaan pada saat-saat genting? Terlahaplah. Saya tahu betul, lapar pasti masih akan mengusik. Ternyata, benar memang, kesukaan tak selalu menggiring kenyang. Mungkin, bertahan tak seberapa lama. Padahal, saya suka betul dengan Astor. Sungguh. Pun, ada sesuatu yang lebih berat dapat dilahap, kenyang pun tak bertahan sebegitu lamanya, bukan? Ia akan datang kembali. Kadang, mengendap-enadap. Kadang, sebegitu terbukanya. Kita kerap lapar. Kembali.

1 Termangu

Langkahnya ragu Wajahnya sayu Raganya layu Kehidupan berjibaku Membuat orang tak lagi lugu Asa pun turut membeku Semoga hati tak ikut kaku Di situ Orang-orang termangu

Hidup Sedang Jahil

Hidup sedang bertingkah jahil semaunya. Persimpangan jalan yang satu dan lainnya nyaris berhimpitan. Hampir tak diberi rehat atas perasaan yang membludak. Sampai kadang bingung, ini sedih atau bahagia atau mungkin merasa keduanya dalam waktu bersamaan. Sepersekian detik menjadi pemberani. Menantang segala yang ada. Sepersekian detik kemudian kembali menjad pengecut. Membiarkan keraguan tanpa mau disingkap. Terlalu payah untuk berani sakit. 

Rayakan

Bangun tanpa terbangun. Siapa yang mau melewatkan suara-suara langka ini? Kicauan burung bukan lomba di sini. Tak perlu memberi tanda bahwa mereka masih bertahan. Mereka bersahutan. Mungkin juga, berkicau saja sendiri sesuai kehendaknya. Lagipula, siapa yang tahu bahwa suara-suara itu hanya milik burung pagi ini? Di sebelah, tepat di samping, air sungai yang mencoklat akibat lumpur mengalir sebiasa mungkin. Alirannya terlihat jelas, membuat riak perlahan yang entah bagaimana memberikan ketenangan. Menjadi petanda bahwa hidup terus berjalan. Ada lagi yang lebih manis. Ketika duduk dengan secangkir kopi, kupu-kupu berhinggapan di titik paling dekat. Tidak pakai malu-malu pula. Terasa disapa mereka dengan lembut, "Di sini, semua akan baik-baik saja." Sementara itu, waktu di sini juga terus melangkah, tidak berputar sama sekali. Temponya melambat, semacam memberikan kesempatan untuk bisa cipta nikmat sepenuhnya. Perasaan macam ini sudah cukup. Informasi tak berkelebihan sama seka

Wajar

Sementara itu, berdirilah saya di sini. Berada di titik paling kesakitan. Selama ini, saya hanya berusaha melarikan diri. Kini, saya sadar saya berdiri di mana. Mungkin, saya sudah tidak berdiri. Terkulai dengan tatapan kosong. Menancap dalam tanah hingga kesulitan untuk bergerak. Tak saya temukan lagi makna dari gerakan. Dalam keterpurukan ini, saya memancarkan sinar sebisa mungkin, meskipun yang mereka lihat hanya redup. Padahal, itu adalah usaha terbaik saya setiap harinya. Tak sedikit cara saya lakukan untuk bisa bersinar. Itu semua karena saya enggan menerima iba mereka. Saya bukan mau dianggap kuat karena saya tidak kuat sama sekali. Sudah saya katakan, ini adalah titik kesakitan yang paling. Iba mereka hanya mengingatkan saya berdiri di mana dan tak membuat keadaan menjadi lebih baik sekali pun.  Jauh dari itu semua, apabila saya diperkenankan melakukan apa saja yang sama mau, saya hanya mau diam. Menangis sejadi-jadinya tanpa dekapan sama seka

Maklum Tanpa Paham

Tengah malamku terganggu. Setidaknya, aku merasa terganggu, meskipun mungkin bermaksud tanpa. Tenangku direnggut, apalagi nyenyakku. Ditepis segala bayangan yang indah-indah. Dering telepon itu berbunyi terus-menerus. Masih tengah malam. Berkali-kali tanpa suara. Akhirnya, dikatakanlah yang menjadi kerisauan di seberang sana. Mungkin, itu terjadi setelah ketegangan yang memuncak atau keberanian yang tiba-tiba ada dan entah kapan tiba lagi. Maka, langsunglah digunakan kesempatan satu-satunya itu. Kali itu, sama sekali bukan pembicaraan, hanya penyampaian. Tanggapanku datar. Ketiba-tibaan sering kali meminta proses yang justru lebih lama, meskipun dituntut memberikan tanggapan lebih segera. Suaraku tak meninggi sama sekali. Tak ada tuntutan apa-apa. Mungkin, seberang sana berharap ada paham. Namun, maaf, aku tidak paham. Hanya maklum. Tanpa paham, maklum bisa ada. Tanpa ditanya, diminta, bahkan dimohon, dengan segera kuberikan maklum. Dan, membiarkanlah segala men

Kekasih #1

Selamat pagi, kekasih Lelahmu sudah lelapkah? Rasamu sudah nyatakah? Gelap di tanah basah Meriang hendak membuncah Biarlah hadirmu dalam resah Tanpa redup memisah Katakan halo saat sudah Biar kita bisa melangkah

Tungguhlah di Sini

tidak ada siapa-siapa di antara rintik sayup suaranya menggema begitu khas kulihat bajunya basah berlarian di antara rintik terang saja hujan lebat dia menarikku dengan tatapan tajam tanpa senyum bukan amarah rasa bersalah lalu berjalan satu langkah lebih depan dap dap dap crik gumpalan air kami terjang brak! terjatuh aku dia menoleh diam membiarkan bangun sendiri tanpa melanjutkan langkahnya menunggu hingga yakin bisa berdiri lagi jalan lagi sampai! ini tempat teduh hanya ada gemuruh tidak ada rintik dia menoleh lagi kubalas tatapannya dia melempar pandangan “tidak kubiarkan kau menunggunya lebih lama di kelebatan hujan tunggulah di sini” berjalanlah ia pergi di antara rintik air tidak ada siapa-siapa di tempat teduh