Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2010

mutualisme

Hari ini seorang teman setengah memaksa minta bertemu pada larut malam. Saya duduk di meja itu sambil memesan kopi. Padahal, sebelumnya, saya sudah berjanji tidak akan meminum kopi lagi karena sudah dua gelas. Namun, jam-jam ini pun harus dilalui bersama kopi. Dengan mata lelah dan badan yang hampir tak bertenaga, saya tunggu dia yang katanya sudah dekat. Sesampainya, temanku itu langsung memesan satu botol bir ukuran kecil. Matanya sembab, tapi justru menunjukkan wataknya yang begitu keras. Keras itu selalu kuartikan sebagai berani, bukan sebagai pemberontak tanpa toleran yang sering kali diinterpretasikan orang. Keras itu kuanggap sebagai kekuatan. Aku sudah memutuskan sejak awal ajakan. Aku hanya bersedia sebagai pendengar. Rasanya, otakku sudah tak sanggup untuk menelaah ceritanya lebih lanjut, apa pun itu. Jadi, kudengarkan saja ia berceloteh. Setelah kurangkum, ternyata dia merasa diperdaya oleh kekasihnya. Dia bilang, tidak terjadi simbiosis mutualisme dalam hubungan mereka. Sal

mereka benar

Mereka benar. Sudah berkali-kali kusanggah. Bahkan, kurela menepis segala aku dalam diri ini hanya karena tidak rela bahwa mereka benar. Tak segan juga aku bertanya padanya untuk meyakinkan bukan kita yang salah. Tapi, ternyata mereka benar. Bukan karena omongan mereka yang selalu mengganggu keseharian kita. Bukan juga rasa bersalah kita pada rasa sakit hati depan orang-orang. Bukan padamu. Bukan padaku. Salah itu begitu saja menyublim dan tak terekam jejaknya sehingga tidak dapat dikatakan kesalahan. Ini hanyalah sesuatu yang tidak benar, tapi bukan kesalahan. Bukan rasa kita yang pudar, sungguh kita yakin ini besar. Memang, kita tidak tahu ini kurang atau lebih karena perbandingan itu tabu untuk sesuatu yang tidak terukur secara kasat mata. Tapi, ini pun tidak benar. Dan, sekali tidak benar, ketidakbenaran lain pun akan muncul perlahan-lahan. Mereka bilang memori bukan sesuatu yang bisa dipersalahkan. Aku sudah bilang pula, ini bukan sesuatu yang salah, hanya tidak benar. Kuulangi se

mimpi

Sudah seminggu saya diganggu oleh mimpi yang berlebihan ini. Bahkan, baru saja semalam, saya benar-benar memimpikannya. Ayo, alam, beri saya energi itu!

beasiswanya

"Sayang, aku berangkat, ya. Aku mau ketemu sama Mas Ahmad dan istrinya." "Lho, kok tumben? Ketemu di mana?" "Iya, tadi dia telepon. Belum tahu ketemu di mana. Apa rencana kamu?" "Aku mau pergi sama Bapak-Ibu. Makan malem mungkin." "Bertiga aja? Kakak nggak ikut?" "Kakak masih ada acara di kantornya, mungkin nyusul." Setelah telepon itu ditutup, saya bergegas. Saya tidak sabar untuk menerima surat yang nanti dikasih oleh Mas Ahmad. Mas Ahmad adalah senior saya waktu di kampus. Sekarang, ia bekerja di salah satu lembaga donor internasional. Seminggu yang lalu, saya memberikan abstrak skripsi dan surat motivasi kepada kantor Mas Ahmad. Mereka akan memberikan hibah untuk digunakan sebagai biaya sekolah di negaranya, Australia. Namun, abstrak dan surat motivasi itu bukan punya saya, melainkan punya pacar saya, Ben. Jadi, surat keputusan diterima atau ditolaknya diberikan langsung kepada saya. Sejak pertama kali kenal, Ben mengerahk