Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2008

bagi

Seorang perempuan duduk sibuk berdiam diri. Bangku lapuk itu rela saja didudukinya dalam jangka waktu yang cukup lama. Bahkan, bangku itu pun tak segan untuk turut menampung segala berat rindu si perempuan. Belakangan ini, ia seringkali didatangi pertanyaan-pertanyaan. Ia sempat terkejut. Apalagi, kali ini, tidak ada teman yang bersedia menawarkan pikirannya sejenak untuk bertukar. Ia percaya, kadang bukan jawaban yang dibutuhkan, hanya proses untuk mendapatkan jawaban yang paling dekat. Sayang, teman si perempuan sudah mulai melangkah perlahan. Tapi, si perempuan belum siap menerima segala perubahan. Teman-temannya hanya mau bersenang-senang. Cukup penat dengan dengan segala pengalaman sehari-hari yang mereka alami. Perempuan itu hanya butuh berbagi. Bagi kata. Bagi tawa. Tapi, bukan bagi perubahan. Dia belum cukup siap untuk itu. Teman terdekatnya pun rela meninggalkannya dalam pikiran si perempuan tadi. oktober2008

tepatnya teh panas

Dapat dikatakan mereka sudah berteman cukup lama. Menghabiskan berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus malam bersama. Duduk saja sambil berbicara tentang pikiran-pikiran orang yang sudah tiada. Teori-teori para intelektual diperdebatkan dan disesuaikan dengan keadaan masa kini. Dering telepon tengah malam untuk bertemu dan membicarakan hal yang terlalu dianggap penting, padahal terlalu wajar, merupakan kewajaran. Bunyi pesan di pagi hari untuk menyantap sarapan di berbagai tempat baru dan beriukar berita di koran adalah kewajaran lainnya. Sesekali mereka juga bertemu dengan teman lainnya dan berbagi tawa. Tak ada teori dan tak ada rasa. Hanya pengalaman keseharian yang terlalu biasa dan pantas untuk ditertawakan. Hingga akhirnya suatu sore, laki-laki itu datang dengan secangkir teh panas yang sudah diseduh. Mengaduk gula yang sudah ditaruhnya dengan ukuran yang sudah pas sesuai selera si perempuan. Memang, beberapa kali sebelumnya, banyak gula itu seringkali salah. Berkelebihan atau berke

Romeo and Juliet

Semua jejak yang telah dicetaknya terhapus pelan-pelan dengan susah oleh berat angin yang begitu ringan. Turut dihapusnya dengan sekaan air mata yang jatuh tanpa kehendak. Semua terjadi begitu saja diiringi segala penggalan kenangan yang tiba-tiba hadir. Menyapa pelan apa yang pernah terjadi dan seolah-olah ingin menjadikannya sesuatu. Padahal, di bawah dan di atas semua kesadaran, sudah tidak ada sesuatu. Bukan apa-apa. Bukan apa-apa lagi. Diajaknya melangkah segala harapan dan membentuknya menjadi kisah yang jauh dari Romeo dan Juliet. Siap, hanya itu yang tersisa dari lirik yang terngiang tiap malam. Malamnya diisi dengan nada-nada dan kata-kata yang diharuskan mengisi segala kepalanya. Melepaskannya pelan dengan hati yang sudah begitu erat. Malam itu harapan masih disisakan. Tak ada suara pintu paling depan yang berbunyi. Tak ada keinginan untuk mendengar yang datang atau yang pergi. Begitu banyak yang menjadi tak penting. Dihentikan harapannya. Namun, ketika seseorang berhenti ber

udah kek

Apa yang harus kumohon darimu? Menghentikannya atau justru meneruskannya? Tadi malam, kita hanya berbicara dengan sederhana. Mengisi kesepian dengan tanya jawab. Tapi, sungguh, cara jawabmu kali itu terasa begitu lembut hingga menjahit satu luka dalam di hati ini. Satu benang saja di luka itu. Benang itu kucari betul di dalam bergelas-gelas wine, bir, kopi, dan berbungkus rokok. Tapi, nada jawabmu yang tak ada artinya itu mengalun pelan dan meng-ada-kan benang itu. Jauh di luar harapan. Jauh di luar asumsi dan bayangan. Maaf, aku sedang berkelebihan. Mungkin itu memang caramu seadanya. Tapi seadamu cukup menenangkan kekalutanku, setidaknya pada malam ini. Aku memang sedang jauh dari kata percaya. Terlalu sibuk membangun benteng yang lebih kokoh dari yang pernah ada. Dan, aku hanya mau mengucapkan terima kasih. Mungkin aku tak perlu memohon apa pun. Kamu sudah meletakkan batu benteng pertama malam ini. Mampu memberi senyum hingga ku di pembaringan. Menanggapi kenyataan tanpa pedih yang

Si Berani

Berapa banyak orang yang berani? Ada sebagian yang terlalu berani hingga tak kenal takut sama sekali. Mereka melanglang buana tanpa tahu mencari apa. Sebagian lainnya terlalu duduk sepi dalam ketakutan yang mendekap, walaupun mereka tahu apa yang mereka butuhkan. Kemudian, bertanyalah mereka, apa arti berani sesungguhnya. Mereka duduk di puluhan meja ditemani bercangkir teh panas tanpa gula. Bahkan, mereka tak punya keberanian untuk mencicipi manis yang katanya bisa membuat orang merasa senang. Senang menjadi pemicu kesedihan bagi mereka. Sedih dan sakit pun tak membawa harapan. Harapan menjadi seperti benda di museum yang enggan untuk disentuh. Kotoran sedikit apa pun dapat menghilangkan keasliannya. Padahal, pembicara dan atau penulis posmodernisme menganggap bahwa tidak ada lagi yang orisinil. Garis ekstrimnya, keaslian tidak diperlukan lagi karena akan terus berubah, mengalami proses yang tidak pernah berhenti, jauh dari kata stabil—yang sering dijadikan tujuan banyak orang. Begitu