Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2011

pengakuan

Gambar
Banyak orang butuh pengakuan. Sayangnya, pengakuan itu tidak cukup hanya sekali. Orang yang percaya akan perubahan tentu saja masih memerlukan rekonfirmasi lagi dan lagi dan lagi. Mereka berebut cara untuk mendapatkan pengakuan. Selesai pengakuan yang satu, kemudian butuh pengakuan lebih untuk satu hal lagi. Bahkan, hanya untuk pengakuan yang sama. Perebutan itu suka brutal layaknya menerobos lampu merah, meskipun baru berubah sepersekian detik perubahannya dari lampu hijau dan kuning. Hmm... hasilnya jauh dari harapan. Berkali-kai ibu mengatakan, apa gunanya penyesalan. Penyesalan masih diperlukan, Ibu. Beri kabar akan kesadaran tentang kelalaian. Bagi rasa tentang haru yang menjadi debu yang tak bisa disapu. Hingga menanti pengakuan selanjutnya yang harus diulang kembali dari bawah. *gambar diambil dari http://weheartit.com/entry/10303945

tidurlah

Sebelum tiba di penghujung, saya sering kali kelelahan. Ujung pun tak terlihat; bukan karena silau ataupun gelap, tetapi memang terlalu jauh. Kadang, mungkin saja ujung sudah di depan mata. Namun, karena terlalu besar, saya suka berpikir itu hanya tak terlihat. Atau, bisa jadi justru memang tidak mau melihat ujung. Terlanjur termakan omongan orang yang bilang hidup penuh perjuangan, tanpa akhir. Kasihan. Ketika sedang lelah, saya suka lihat kiri-kanan. Memang, ya, rumput tetangga tampak lebih hijau. Namun, rasanya, perlu juga melihat ke belakang. Menatap jejak yang telah dilewati. Patutlah berbangga diri. Banyak sudah pernah dilakukan dan dikenang, meskipun tak banyak orang tahu. Mungkin, mereka memang tak perlu tahu. Di sinilah saya. Melihat representasi humanis akan karya saya. Bangga sekaligus terharu! Terima kasih mereka.

tak ada kompor, maka tak ada mie

Cemburu. Bahkan, kata itu ada di imaji mental saja sudah terasa merinding. It was so silly! Rasa itu masuk dalam daftar salah satu rasa yang tidak bertujuan. Emang rasa punya tujuan? Ah, pertanyaan lain lagi itu, Kak. Sadar betul, cemburu dekat dan erat dengan rasa kepemilikan, meskipun saya belum berani bilang ada hubungan klausal antara mereka. Tapi, rasa itu seolah tidak bisa ditolak. Datang tanpa mau pergi, padahal tidak ingin sangat. Mencoba tenang untuk sekadar melakukan pembenaran, tapi tetep ada di situ; semacam ada spidol permanen di muka yang meskipun hati yakin tidak ada cemong, tapi buktinya tetap dilihat ada. Segala ketakutan atas kejadian yang tidak diketahui atau asumsi berlebihan yang entah mau atau tidak untuk ditemui kebenarannya menyelinap begitu saja. Muncul kayak tai yang mengambang di sungai entah dari pinggiran sebelah mana. Padahal, saya menolak dengan tegas konsep kepemilikan dalam relasi romantis. Membiarkan sepasang tetap menjadi subjek; tidak tenggelam dalam

aku adalah aku

Baru melihat video kiriman teman kampus. Langsung teringat pada masa itu. Ketika saya terlalu hobi untuk menikmati segala sesuatu yang kecil. Menghargai setiap kelambatan yang tercipta. Waktu adalah milik saya. Satu satuan waktu ketika eksistensi saya adalah hanya milik saya seorang, tanpa tengok kiri-kanan. Ketika aku begitu menjadi aku. Selesai sudah semua dunia lain. Dunia saya adalah dunia dalam pikiran. Kelabu, berangin, kering, tapi mampu cipta nyaman yang menghibur. ah, rindu! tapi, perasaanku sudah hinggap pada kisah kini.