Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2015

Mas, aku kangen

"Mas, ini rasanya seperti mimpi." "Ini memang mimpi kamu." Itu adalah percakapan terakhir nyaris setahun lalu ketika kami sedang akrab-akrabnya. Waktu memang menelan banyak keakraban. Atas nama bertahan hidup, saya mengasingkan diri. Dia sibuk dengan urusan rumah tangganya. Juga keluarganya. Satu hari, ketika saya tidak tahan betul dengan kehidupan, nama dia adalah satu-satunya yang ada di kepala untuk dikirimi surat. "Mas, saya mau bunuh diri. Mimpi saya berujung mimpi buruk. Saya ingin segera bangun. Tapi, saya tahu bahwa yang saya jalankan adalah mimpi buruk, tanpa bisa pernah bangun. Saya mau tidur saja. Selamanya." Saya tidak mendapat balasan kilat. Saya buka facebook, saya lihat orang-orang ambil foto dia yang sedang tertawa-tawa di tengah keramaian. Saya buka instagram, saya lihat dia sedang berjalan-jalan dengan motornya sambil memburai tawanya. Saya buka path, saya melihat dia dengan keluarganya yang begitu intim. Saya kirim surat lagi.

“Why do you want to take education in the country that colonized you?”*

Gambar
Even worse—if you want to say , “Why do you want to take a scholarship from a government that has been colonizing you for three and half centuries?”  It was not once or twice that I got questioned with these questions, since  knowing that I would spend—at least—16 months in The Hague.  I have never been sure how to answer those questions. And I haven’t answered the questions yet. The thing that I know is that: studying abroad has been a dream since seven years ago. They have told me, “go far away for a while”; “see the world from different perspectives”; “you will get more ‘truth’ than you have imagined”; “learn from as many people as you can”; “be away from everything and get lost to find your own way.” It is easy to find these quotes in go-travel-and-be-hippy discussions lately. The quality of life through such travelling is commercialized. People tend to crave the meaning of life easily and buy the discourse. I should admit that I was one of those to buy it, maybe I still am—with

(g)ojek: angkat gelasmu

Saya sudah tidak berada di Jakarta selama hampir 10 bulan setelah hampir 30 tahun menghabiskan waktu di kota itu, mungkin Jakarta mengalami perubahan besar-besaran. Ketika saya meninggalkan Jakarta—dan berjanji untuk kembali, kemacetan membuang banyak waktu,menghabiskan energi, juga meningkatkan rasa frustasi. Pun, saya pribadi kadang menikmati kemacetan itu sendiri. Untuk menyiasati keadaan itu, saya kadang memilih ojek untuk menjadi salah satu andalan saya untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Di sela-sela kemacetan, saya dan supir ojek yang nyaris selalu berganti-ganti sering bertukar cerita. “Saya punya loker sendiri di masjid untuk nyimpen sepatu ama baju bola, Neng. Istri saya nggak ngebolehin saya main bola. Nggak ada duitnya, katanya,” salah satu ceritanya. Beberapa hari lalu, saya membaca cerita teman saya yang ditanya supir ojek langganannya, “Neng, nggak ke kantor? Sakit? Mau bubur?” Saya sempat bertanya kepada salah satu sahabat saya, “Jadi, siapa sedikit na

Biasa

Saya memilih tempat duduk di samping kaca tembus pandang yang samping tangga dari bawah. Selain saya hanya diperbolehkan duduk di meja dengan dua bangku, saya ingat betul meja ini adalah tempat pertemuan terakhir kami. Pelayan tidak langsung berlalu, dia menunggu tepat di sebelah meja. Untuk membiarkannya terus bekerja, saya memesan satu botol bir. Atau, jangan-jangan, waktu itu, sebaiknya saya membiarkannya lebih lama di situ biar dia bisa istirahat barang sebentar. Ah, tapi tidak juga, bahkan menunggu pun baginya bukanlah istirahat, melainkan bagian dari pekerjaannya. Bisa jadi, dia malah menikmati menunggu itu? Apa pun, pada malam-malam di jam puncak keramaian, dia memang diharapkan tanpa istirahat. Usaha saya untuk menyelamatkannya dari kekejaman malah mungkin bisa dianggap kekejaman lain. Baik, saya tidak merasa bersalah tentang keputusan saya malam itu untuk langsung memesan satu botol bir. Sepeninggalan pelayan itu, saya membakar rokok, lalu mengambil telepon pintar dari ka