Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Amer Bersama Amal #1: Waktu di Belanda

Saya suka minum wine. Ini dimulai waktu saya sekolah di Belanda dulu. Wine di sana enak. “Semua hal yang dari Eropa itu enak,” kata teman saya. Itu bohong besar. Nggak semua hal—termasuk pemikiran—dari Eropa itu enak. Makanan, contohnya. Makanan mereka nggak ada rasanya. Buat saya, rasanya hambar. Roti dingin, daging dingin, dan keju dingin untuk makan siang. Beda dengan rendang atau gulai di rumah makan padang. Tapi, saya memang selalu makan di tempat-tempat yang sebisa mungkin tidak mengeluarkan uang, sih. Rumah dosen, tempat teman, dan masakan saya sendiri. Jadi, argumentasi saya juga payah. Bisa jadi, masakan dosen saya atau teman saya saja yang rasanya kurang enak. Kalau masakan saya, itu hampir pasti. Hampir pasti tidak enak. Mungkin memang ada makanan Eropa yang enak. Saya cuma nggak mampu beli saja. Atau, saya nggak diundang ke rumah dosen lain yang masakannya lebih enak. Atau, saya memang nggak punya teman lain yang masakannya enak. Mereka nggak masak,

Airportradio Antar ke Ruang Temaram

Gambar
Jika hati dan pikiran ada dalam satu ruangan yang sama, di antaranya terdapat satu ruang dengan pintu kayu menebal dan berjeruji di bagian atasnya. Temaram. Bukan gelap. Setemaram ruangan di Auditorium IFI Yogyakarta pada 24 Oktober 2018 ketika peluncuran album kedua Airportradio, Selepas Pendar Nyalang Berbayang . Sembari masuk ruang, saya ditemani instalasi berbayang. Lorong menggelap dipenuhi asap. Lampu padam. Airportradio menikam. Perlahan. Lahan. Dentingan bel. Satu nada dalam tempo lama. Lagi. Dan, lagi. Dan, lagi-lagi. Tapi, saya bertahan. Dan, semua orang juga bertahan. Apakah artinya kebanyakan dari kita sudah terbiasa dengan pengulangan secara terus-menerus? Sehingga ini terasa begitu mengakrabi. Segala jenis suara—instrumen dan vokal—berpaduan tanpa saling melomba. Ini bukan kompetisi. Tak ada kejar-kejaran. Mereka malah mempersilakan. Saya seakan dipersilakan masuk dalam satu ruangan. Temaram. Bukan gelap. Tidak terkunci, tapi be

Sisir Tanah, Karya, dan Kipas

Gambar
  Kiri…. Kanan… Kiri…. Kanan… Kiri…. Kanan… Begitu saja kerjaku seharian ini. Semestinya bukan pakai saja ; ini tugas berat. Antibosan. Antipegal. Konsistensi. Demi menunda keringat mereka. Demi memutar asap rokok yang mereka kepul. Demi mengibas rambut mereka di panggung. “Tolong matiin kipasnya. Dingin.” Seorang laki-laki melontarkan kejujuran yang ditangkap sebagai lelucon. Di tengah lagu yang sedang ia nyanyikan. Ya ampun, Mas. Suwun , Mas. Jasamu besar, Mas. Mas siapa tadi? Maklum, aku tidak bisa melakukan dua hal dalam satu waktu yang sama. Aku tak bisa memperhatikan apa-apa yang terjadi ketika ngiri-nganan-ngiri-nganan-ngiri. Tuntas sudah tugasku, sekarang aku bisa melihat sekeliling. Bukan. Bukan sekeliling. Melihat lurus ke depan. Mas Danto, namanya. Sisir Tanah, sebutannya. Dia penyelamatku malam ini.  Foto: Dokumentasi Jaluardi (2017) Dia tidak melantunkan kebisingan, melainkan kelirihan. Suara gitarnya pelan. Suaranya ikut-ikutan.

Gagal Cerai

“Aku gagal cerai.” “Lagi?” “Lagi!” Ini sudah ketiga kalinya ia ingin menceraikan suaminya. Dan, gagal. Kejadian ketiga ini terjadi dua hari lalu. Gara-garanya suaminya menolak ajakan buka puasa bersama keluarganya. Keluarga perempuan—yang berambut bondol dan sering dijumpai mengenakan rok lebar selutut—merencanakan tradisi buka puasa bersama di restoran-makan-sedikit-atau-banyak-bayar-sama-mahal. Pengunjung harus datang ke rak penuh daging. Mereka perlu memilih beberapa tampan daging pilihan untuk dibakar sendiri di mejanya. Menu lainnya terbatas: kentang, nasi, dan lalapan—kata orang Sunda. Restoran favorit keluarga Si Istri. “Bisa makan daging impor secara berlebihan dengan bayaran setimpal.” Begitulah alasan yang selalu dielu-elukan. “Ini ‘kan cuma setahun sekali. Kapan lagi kita bisa kumpul bareng keluargaku?” “Minggu depan pas lebaran.” “Kamu bukan cuma menikah sama aku, tapi juga sama keluarga aku. Kamu harus jadiin ini prioritas kamu juga, dong. Kala

Argumentasi Aborsi: Senjata Makan Puan?

Gambar
Senjata adalah teman karib. Ia tidak mendadak akrab, hanya dimulai dari chemistry . Kadang, tanpa pengalaman yang sama. Ia perlu diasah terus-menerus. Bukan uji coba, melainkan demi semakin paham celah-celahnya. Bisa dijadikan andalan. Dan, siap dihubungi kala canda, juga kala genting. Kadang, siap dipertanyakan, tapi mencari tahu lagi dan lagi menjadi cara untuk paham. Salah satu teman karibnya adalah pengalaman perempuan. Ke mana pun perginya, teman karibnya selalu diajak. Kadang dibiarkan untuk memperkenalkan diri sendiri, kadang dikenalkan dengan lantang. Seringnya, namanya tidak disebut alih-alih privasi. Salah satu senjatanya adalah argumentasi. Hukum di Indonesia seakan-akan membolehkan aborsi. Padahal, aksesnya begitu susah. Untuk kasus perkosaan, mereka harus pakai surat dari polisi, dokter. Tidak lupa menyebutkan, polisi atau dokter akan mempertanyakan kejadiannya yang rentan seksis. Dan, mereka cuma dikasih waktu 40 hari. Padahal, butuh waktu unt

Benalu Publik

Gambar
Apa keberhasilan Anda selama seminggu terakhir? Pertanyaan tersebut sering saya tanyakan dalam pelatihan, lokakarya, atau bentuk forum lainnya. Sering kali, kita* mengalami kesulitan menjawab itu. Kita malah cenderung lebih mudah menjawab pertanyaan, “Apa masalah yang Anda hadapi selama dua hari ke belakang?” Kita menganggap keberhasilan sebagai suatu hal yang begitu besar. Prestasi. Penuh perjuangan. Keseharian kita tidak dianggap sebagai bentuk keberhasilan-keberhasilan kecil yang mengajak kita menuju sesuatu yang lebih besar. Lagipula, apa pula yang membuat besar terasa lebih adekuat? Kita menganggap keberhasilan memberikan pengaruh terhadap banyak orang. Kesibukan setiap hari dianggap miskin pengaruh. Apakah memberikan ASI setiap hari tidak memberikan pengaruh terhadap anaknya? Apakah berkata dan bertindak jujur setiap hari tidak memberikan pengaruh terhadap orang-orang yang kita temui? Mengaku-aku keberhasilan merupakan bentuk dari kepongahan. Dan, kita diajarkan di

Dunia Pembangunan bagi Orang yang Tidak Lihai Bicara

Perempuan berambut kecokelatan ini perlu makan waktu lebih dari 20 jam untuk sampai di Jakarta. Jauh-jauh terbang dari New York, ia datang di ruang rapat berukuran kurang lebih empat kali enam meter untuk menjelaskan penelitian yang sedang diusungnya. Selepas penjelasannya, orang-orang pilihan yang ada di dalam ruang itu menimpalinya dengan masukan dan komentar. Saat itu lah, ia berbisik kepada saya, “ Speak up .” Dunia pembangunan ini mungkin memang bukan tempat nyaman bagi orang-orang yang tidak punya kelihaian berbicara. Di aksi Kamisan, orang-orang bergantian memegang mic atau toa. Di Bundaran HI, orang-orang naik ke atas mobil atau panggung. Di depan Gedung KPK atau Gedung DPR, mereka berteriak lantang. Mereka menyuarakan keadlian dengan urat di lehernya yang mengeras. Saya beberapa kali hanya memegang poster atau membagikan selebaran kepada orang yang berlalu-lalang. Lebih sering, saya hanya hadir. Ada. Suatu kali, di salah satu aksi, orang-orang setengah dipaksa