Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2014

Trims, Tukang Pos

Dua bulan lalu, kakak saya memberikan pandangan yang sering saya dapatkan ketika saya sedang menulis surat. Dahi sedikit berkerut, menatap tajam agak lama, lalu tak acuh melanjutkan kegiatannya, entah berjalan, mengambil minum, atau memakai jaket. Pandangan itu sudah lama saya dapatkan, pun belakangan itu, sudah tidak ada pertanyaan lagi di ujungnya. Itu saya kira akan menjadi pandangan terakhir yang saya terima. Saya sudah  memutuskan untuk berhenti menulis surat. Hitungan tahunan, saya kerap menulis surat. Tujuannya sama. Isinya berbeda. Kalau isinya sama, maka sayalah yang pantas untuk dikirimi surat; surat rekomendasi dengan tujuan Rumah Istirahat Pemalas. Ah, kenapa itu tidak saya lakukan sedari dulu? Saya suka pemalas! Apalagi, menjadi malas itu sendiri. Beberapa bulan sebelumnya, kakak saya mengajukan pertanyaan, “Untuk apa menulis surat yang tak pernah mendapat balasan?” Saya menoleh untuk melihat wajahnya, “Kata siapa ini semua tidak pernah dibalas?” Dia ja

Katanya, Sesat Pikir

Saya merasa dihajar berkali-kali dari berbagai arah. Babak belur. Ini bukan bicara soal keadaan fisik, lebih pada apa yang sudah dipupuk untuk menumbuhkan arti. Arti memang diciptakan masing-masing, tapi pertanyaan selanjutnya: untuk apa. Kepercayaan saya digerogoti terus-menerus. Tidak diberi waktu untuk membalutnya, pun membiarkan lapisan-lapisan terluar memperbaiki dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan menggerayangi saya. Mengganggu setiap rongga dalam pikiran. Tanpa kenal tempat, tidak juga dipikirkan waktu untuk hadir. Terus-menerus, tanpa berhenti, dan saya semakin merasa digerogoti seperti yang dilakukan rayap: membuat rapuh perlahan-lahan. Dan, hari ini, pertahanan saya tidak cukup kuat. Saya lunglai. Hampir menyerah pada sesuatu yang saya pertahankan. Maknanya menipis. Sudah cukup juga menyumpahserapahkan apa yang ada di luar saya. Toh, setelahnya, bisa apa? Saya tidak mempermasalahkan kebabakbeluran ini. Jika itu memang harus terjadi, setidaknya ini p

Lorong Sua

Anakkecil lari-lari kecil menghampiri Wajahnya sumringah minta didekap Lelaki ini akhirnya merasa begitu diingini Setelah lama jiwanya padam tersekap Dipeluk dengan erat-erat Tak lama, hanya beberapa detik Anakkecil melepas dan lari ke barat Mata yang ditinggal diam merintik

Pemandangan Kota Begitu Magis

Ada sesuatu yang magis dalam pembicaraan di mobil. Orang kerap menunjukkan dirinya dalam jeda pembicaraan. Berbicara—yang awalnya dimaksudkan—asal untuk mengisi kekosongan justru menjadi penukik bagi dirinya sendiri. Kami kerap bicara tentang kerusakan sistem dengan carut-marut. Menuding orang-orang yang hidup tanpa mencari arti. Pun saya tidak setuju, arti ada dalam masing-masing. Macam seni, bagi saya yang tidak paham sama sekali, begitu personal. Dan, ketika menyentuh kehidupan pribadi, tidak ada salah maupun benar; hanya ada antara. Kemudian, kami juga bicara bagaimana semua begitu saling berkesinambungan. Satu bidang akan bersentuhan dengan bidang lain hingga membentuk satu jaring rumit yang saling berkelindan. Menjalani kehidupan dengan menuai arti bagi kami masing-masing. Dan, di ujung pembicaraan itu, kami diam-diam sepakat bahwa ada arti dalam keseharian kami. Apa yang dilakukannya begitu penting dan saya juga mendapat pengakuan keseharian saya begitu penti