Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Merangsang Kekhawatiran

“Ini pertunjukannya interaktif, nggak?” “Maksudnya?” Pertanyaan saya ajukan dengan alasan antara tidak mengerti, menanyakan ulang maksudnya sama dengan yang saya tangkap atau bukan, atau memastikan ia bicara dengan saya. Atau, saya mungkin tidak mendengar jelas dia bilang “penunjukan” atau “pertunjukan” dan hasrat untuk menyunting besar. “Akan ada interaksi antara pemain dan penonton, nggak? Saya duduk di paling depan, nanti bisa ditanya-tanya. Saya takut.” Perempuan itu duduk di depan saya. Kami sudah duduk manis di bagian kanan panggung jika menghadap ke ruang suara di depannya. Ia tidak sendiri, bersama pasangannya. Saya juga. Maksudnya, saya juga tidak sendiri, bersama teman-teman saya di kiri dan kanan saya. Saya memajukan badan saya untuk memastikan kursi di sebelah kirinya masih kosong. “Di sebelah ada orang?” “Nggak ada.” “Wah,” Begitu saja saya merespons. “Oh iya! Jangan-jangan, pemainnya duduk di sini.” Dahinya berkerut. Mulutnya terbuka sedikit. Matanya sed

Tersedak Janji

--> Dari kecil, kita biasanya sudah sering diajarkan untuk berjanji. “Janji, ya, besok sekolah”, “Janji, ya, langsung pulang”. Janji itu menyeramkan. Membuat kita tidak bisa berkelik tanpa tahu apa-apa yang akan terjadi setelahnya. Kita seperti merelakan diri masuk hutan rimba tanpa boleh keluar lagi sampai janji selesai. Di dalamnya, mungkin memang akan ada air terjun yang sejuk, sungai yang jernih, keindahan yang membuat kerasan. Tapi, juga mungkin ada kejar-kejaran dengan beruang, terkaman macan kumbang yang tiba-tiba. Itu bisa jadi masih jauh lebih baik. Kita bisa langsung mati. Selesai. Mati terhormat karena menepati janji. Ada yang jauh lebih menyeramkan. Di dalam hutan itu, bisa juga ada lintah yang menyerap darah diam-diam. Ratusan semut rangrang yang menggerogoti. Malam yang mendung sehingga gelap tak lelap-lelap. Kadar bahaya ada beberapa garis di bawah cerita sebelumnya. Tidak mematikan secara langsung. Hanya menyiksa perlahan-lahan. Luka-lukanya terus memeri

Personalisasi Karakter Agency

--> Saya pesan bintang. Dia pesan sesuatu yang katanya dari Amerika, tepatnya Meksiko. Iya, Meksiko terletak di Amerika. Benua Amerika. Semoga kita cukup bijak untuk bisa membedakan Amerika Serikat sebagai negara dan Amerika sebagai benua. Setengah botol, dia cerita, dalam diri kita, ada setidaknya dua karakter yang terus-menerus ada. Satu karakter terus menenangkan kita. Satu karakter lagi terus membantai kita. Biasanya, karakter itu begitu personal. Mereka bisa berupa orang-orang yang memang kita kenal. Ada pula yang menyerupai orang dengan karakter tertentu. Misalnya, bagi dia, si karakter bijaksana selalu berupa seorang nenek tua yang terus menenangkan dirinya, “Maafkan diri kamu, Nak. Terima dirimu apa adanya.” Karakter satu lagi menyerupai ayahnya yang kerap bilang, “Kamu masih saja mengecewakan.” Bagi saya, ceritanya masuk akal. Saya sering menjadi pengamat pembicaraan serupa itu. Di dalam kepala saya; pun kadang suka keceplosan untuk saya katakan lantang. Ada ma

Kurasi Ingatan Cahaya

Sore itu, Bapak Tua duduk di beranda. Rambut putihnya sudah tumbuh berdekatan sejak lama. Bengongnya tidak kosong. Terasa benar pada teduh matanya yang kalem. Beliau menoleh ke belakang ketika menyadari keberadaan saya yang mengamatinya dari belakang. Beliau meminta saya untuk duduk dengan menepuk-nepuk bangku yang ada di sebelahnya. Saya manut. “Bapak Tua tidak kepanasan duduk di sini? Sinar matahari langsung ke tempat duduk kita.” Beliau menggeleng, dia bilang, saat ini, beliau sedang belajar untuk mengakrabi cahaya. Peluhnya menetes. Saya menunduk. “Waktu itu, gelaaaap sekali. Sangat gelap. Jelang beberapa langkah, saya hanya melihat gelap. Hitam. Hitam pekat. Saya memutar tubuh saya (sambil ia praktikkan) untuk lihat sekeliling. Tidak ada. Tidak ada apa-apa yang terlihat. Hanya hitam. Hitam pekat.” Bapak Tua ini pernah hilang, entah berapa lama. Bapak Tua selalu cerita, beliau masuk dalam kegelapan. Kemudian, beliau jarang sekali melanjutkan ceritanya. Ini adalah saat lang

Orang Tua dan Anak Muda #1

WARUNG KOPI TEGAR RASA Itulah nama yang terpampang di papan depan gubuk sederhana yang aku lalui. Aku berdiri di depannya, melongok untuk memastikan situasi di dalam cukup aman dan nyaman bagi pejalan kaki yang sendirian. "Masuk sini, Anak Muda. Jangan ragu untuk minum jika kehausan." Suara itu datang dari meja yang agak di dalam, seorang tua berambut putih agak kehitaman sedikit memanggil tanpa menggerakkan bokongnya sedikit pun. Tidak ada sesiapa lagi selain ia dan perempuan penjaga warung. Aku terpanggil, berjalan mengarah kepadanya. "Apa yang mau dilihat, apalagi dirasakan, jika hanya melongok dari luar saja? Duduk sini. Pesan minum sebelum jalan lebih jauh lagi," ia merayu terus. "Mbakyu, boleh pesan satu kopi?" Perempuan yang sedari tadi sedang kipas-kipas dengan tatapan kosong berdiri menghampiriku. "Gulanya habis," jawabnya singkat. "Tanpa gula tidak apa-apa," aku balas. "Kopinya juga habis." Aku menolehkan pandanga

Kalah Mati di Medan Perang Sendiri

Kenapa diam saja? Kenapa diam saja? Kenapa diam saja? Bisikan-bisikan itu. Tanpa aba-aba. Seketika. Dan, lagi. Lagi. Lagi. Belum berhenti. Perempuan itu meringkuk di sofa. Ini adalah kali pertama ia merasa dilecehkan oleh laki-laki itu, teman lamanya. Tindakan tanpa persetujuan. Kejadian yang membuat dirinya merasa terhina. Ia tidak berani masuk ke dalam kamarnya sendiri setelah pelukan dari belakang dan ciuman tanpa consent . Bencana seakan menanti di sana. “ Cepat pagi. Cepat pagi. Cepat pagi,” ia merapal mantra. Sayang sekali, waktu memang bukan penyembuh yang baik. Seharusnya, ia belajar dari pengalaman. Dan, ia memilih melakukan hal yang sama: diam. *** Avery (1990) menulis, “ We live in in a conspiracy of silence. ” Dan, itu adalah bagian dari petaka yang berkelanjutan. Selain memang bisa menjadi strategi dalam beberapa kasus, diam bisa jadi pembenaran atas hal-hal yang tidak berkenan. Pem

EITS: Tahu Makna Cukup

Gambar
Ini adalah satu-satunya—sampai saat ini— band favorit yang saya tonton konsernya dan saya tidak berharap ada encore . Cukup. Bahkan, saya memohon dalam hati—yang tiada gunanya itu—jangan sampai ada encore . Mungkin kebetulan, mungkin semesta berbicara, mungkin juga tidak ada hubungannya sama sekali, malam itu, Jumat, 3 Maret 2017, tidak ada lagu tambahan setelah momen dramatis penutup lagu dari Explosion in the Sky. Dada saya sudah tidak muat lagi. “The Only Moment When We Were Alone” menjadi lagu penutup. Lagu yang satu ini memang bukan kepalang. Judulnya sendiri sudah bicara banyak. Rangkaian melodi yang ditawarkan pun bertahap. Tahapannya terasa betul. Kurang lebih, bagi saya, grafiknya begini. Penghujungnya, ketika tempo sedang cepat-cepatnya, rasanya sedang klimaks-klimaksnya, mereka berhenti seketika, bersamaan. Lampu di panggung semua padam. Gelap. Mereka tidak terlihat sama sekali. Ada, tetapi tidak terlihat. Pertunjukan selesai. Mereka tahu apa artinya kata cuk

Mimpi di Jakarta

--> Jakarta menyimpan segerombolan mimpi yang tersembunyi dalam kekhawatiran—kalau belum sampai ketakutan. Mimpi-mimpi itu seperti tidak pernah ditemukan kembali ketika sedang bermain petak umpet; entah karena penghitungan yang terlalu lama atau pemilihan tempat bersembunyi yang semakin piawai. Mimpi itu menakutkan, seperti merencanakan kekecewaan. Mimpi yang menjadi nyata diceritakan berulang kali tanpa pernah dialami, seperti mitos yang ditawarkan turun-temurun.   Apakah mimpi perlu dikabulkan? Berita yang berceceran menunjukkan bahwa mimpi hanya untuk orang-orang yang bisa memilih, punya kelebihan hingga memunculkan kesempatan. Bagaimana dengan orang-orang yang bukannya tak sanggup bermimpi, tapi tak ada waktu untuk melakukannya? Setiap detiknya dihabiskan untuk berjibaku dengan strategi bertahan hidup: makan apa, tidur di mana, lupakan baju menguning yang tinggal tunggu waktu sobek, apalagi kesendirian yang sudah akut. Beberapa tahun lalu, seseorang yang dibesar

Selamat Tinggal di Teras Rumah

Kalau ini sudah pasti terjadi, mengapa kita terus membicarakan ini? Kami bertemu di satu teras rumah. Saya sudah menunggu sedari pagi. Ketika matahari mulai condong ke barat, itulah saat pintu pagar terbuka tanpa aba-aba. Saya hanya bersandar di tembok depan pintu melihat kedatangan dia. Saya tanya, “Bawa apa?” Dia kemudian menjawab, “Bawa calon sampah. Kaleng, plastik, dan karton. Kita belum bisa menolak sampah,” sambil tertawa. Saya tahu, itu adalah tawa ledekan. Dia menaruh dua kaleng minuman, dua camilan asin berbungkus, dan satu camilan manis berkotak di meja teras. Kemudian, kami sama-sama duduk bersebelahan di kursi teras yang memang hanya dua buah. Kami saling menatap dan mengakhirinya dengan tawa. Saya siap memulai pembicaraan, “Jadi, apakah ini bentuk suap?” Dia kemudian mengeluarkan rokok dari kantong jaketnya. “Mungkin. Saya perlu bantuanmu.” Sambil menunggu dia membakar rokoknya, saya menimpali, “Ah, pasti ini kesusahan. Tidak ada…” saya memberhentikan lanjutannya

Galaksi Kosong

--> Kemudian terbanglah ke galaksi Menempa sunyi yang sepi Dibebat dingin Tanpa hujan angin Redup… redup… biar hilang segala degup Henti… henti… sampai tiada napas dan mati Melangkahlah dari bumi Tak ada lagi yang alami Kerja hanya bungkusan budak Peduli hanya janji yang mengudak Biru ini semakin melebam Menatap harapan menenggelam Meredam pendar sampai mati Menjadikan segala jadi nisbi Rindu dan puisi sama-sama kosong Manusia dan cahaya menggosong