Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2017

Mimpi di Jakarta

--> Jakarta menyimpan segerombolan mimpi yang tersembunyi dalam kekhawatiran—kalau belum sampai ketakutan. Mimpi-mimpi itu seperti tidak pernah ditemukan kembali ketika sedang bermain petak umpet; entah karena penghitungan yang terlalu lama atau pemilihan tempat bersembunyi yang semakin piawai. Mimpi itu menakutkan, seperti merencanakan kekecewaan. Mimpi yang menjadi nyata diceritakan berulang kali tanpa pernah dialami, seperti mitos yang ditawarkan turun-temurun.   Apakah mimpi perlu dikabulkan? Berita yang berceceran menunjukkan bahwa mimpi hanya untuk orang-orang yang bisa memilih, punya kelebihan hingga memunculkan kesempatan. Bagaimana dengan orang-orang yang bukannya tak sanggup bermimpi, tapi tak ada waktu untuk melakukannya? Setiap detiknya dihabiskan untuk berjibaku dengan strategi bertahan hidup: makan apa, tidur di mana, lupakan baju menguning yang tinggal tunggu waktu sobek, apalagi kesendirian yang sudah akut. Beberapa tahun lalu, seseorang yang dibesar

Selamat Tinggal di Teras Rumah

Kalau ini sudah pasti terjadi, mengapa kita terus membicarakan ini? Kami bertemu di satu teras rumah. Saya sudah menunggu sedari pagi. Ketika matahari mulai condong ke barat, itulah saat pintu pagar terbuka tanpa aba-aba. Saya hanya bersandar di tembok depan pintu melihat kedatangan dia. Saya tanya, “Bawa apa?” Dia kemudian menjawab, “Bawa calon sampah. Kaleng, plastik, dan karton. Kita belum bisa menolak sampah,” sambil tertawa. Saya tahu, itu adalah tawa ledekan. Dia menaruh dua kaleng minuman, dua camilan asin berbungkus, dan satu camilan manis berkotak di meja teras. Kemudian, kami sama-sama duduk bersebelahan di kursi teras yang memang hanya dua buah. Kami saling menatap dan mengakhirinya dengan tawa. Saya siap memulai pembicaraan, “Jadi, apakah ini bentuk suap?” Dia kemudian mengeluarkan rokok dari kantong jaketnya. “Mungkin. Saya perlu bantuanmu.” Sambil menunggu dia membakar rokoknya, saya menimpali, “Ah, pasti ini kesusahan. Tidak ada…” saya memberhentikan lanjutannya

Galaksi Kosong

--> Kemudian terbanglah ke galaksi Menempa sunyi yang sepi Dibebat dingin Tanpa hujan angin Redup… redup… biar hilang segala degup Henti… henti… sampai tiada napas dan mati Melangkahlah dari bumi Tak ada lagi yang alami Kerja hanya bungkusan budak Peduli hanya janji yang mengudak Biru ini semakin melebam Menatap harapan menenggelam Meredam pendar sampai mati Menjadikan segala jadi nisbi Rindu dan puisi sama-sama kosong Manusia dan cahaya menggosong