Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2014

Ayam dan Kambing #1

Ayam                        :                 Dengar? Apakah kamu dengar itu? Kambing                 :                 Derap langkah kuda? Iya, aku dengar. Ayam                        :                 Bukan. Kambing                 :                 Derap langkah turis yang mengejar tram ? Ayam                        :                 Bukan. Bukan lomba kicau burung juga. Kambing                 :                 Kalau begitu, saya tidak dengar apa-apa. Ayam                        :                Kok tidak dengar apa-apa? Tadi kamu dengar derap langkah, katanya. Kambing                 :                 Kata siapa? Ayam                        :                 Kata kamu.  Kambing                 :                 Masa? Ayam                        :                 Iya. Kambing                 :                 Kamu dengar? Ayam                        :                 Dengar kamu ngomong begitu? Kambing                 :                 Bukan.

Medan Merdeka sampai Sukarjo Wiryopranoto

Dan, Anda berada di balik kemudi, saya di sebelahnya. Kendaraan itu melalui jalan medan merdeka. Mendengarkan lagu yang itu-itu saja. Membicarakan hal yang sudah pernah kita bicarakan. Tertawa akan lelucon yang sudah diulang berkali-kali. Kemudian, di lampu merah depan Museum Gajah, Anda bilang, “Kasihan sekali kamu, anak muda,” tentu dengan wajah sekaligus nada yang dibuat bijaksana. Jelang tiga detik, Anda melanjutkan, “Tapi, tahu kan bahwa ini belum seberapa?” Saya dan Anda menanggapinya dengan gelak tak berkesudahan. Sadar betul bahwa ini layak ditertawakan; kesadaran yang tak bisa dibendung. Anda kemudian melihat ke luar dan bertanya patung apa itu di pinggir jalan harmoni. Saya jawab, “Itu patung Hermes. Cocok buat malam ini. Itu dipercaya membawa keberuntungan. Merasa lebih beruntung?” Tawa saya dan Anda lepas lagi. Saya dan Anda sama-sama tahu bahwa dalam keadaan terpuruk, bisa jadi yang dibutuhkan hanyalah keberuntungan. Pada saat yang sama, saya dan Anda j

Mohon Ceraikan Saya, Dik

“Mohon ceraikan saya, Dik.” Kawan Bicaranya langsung memberhentikan tawanya, kemudian memasang mata. Tubuhnya dicondongkan ke depan, mungkin tanpa sadar. Tidak ada kelanjutan. Si Pelontar hanya memasang mata kembali, bisa saja dia juga tidak tahu apa yang seharusnya dia lakukan sesudah mengatakan itu. “Maksudnya?” Kawan Bicaranya masih menanti penjelasan lanjutan. “Mohon ceraikan saya, Dik,” kecurigaan saya besar bahwa Si Pelontar tidak tahu kata lanjutannya, maka ia mengulang saja seakan itu lebih jelas dari kalimat pertama. Memang, itu lebih jelas karena menegaskan bahwa yang didengar Kawan Bicara tidak salah. “Kenapa?” bibirnya bergerak-gerak ingin mengatakan sesuatu yang tak keluar suaranya. Si Pelontar mulai melihat ke arah lain. Merogoh jaket warna hijau tentaranya. Melihat ke bawah seakan ada yang dicari di sebelah sepatu yang biasa digunakan untuk naik gunung. Mengambil sebatang rokok dari kotak yang ada di meja, melihat mata Kawan Bicara, menyeruput kop