Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2015

Dari Den Haag, Untuk Jakarta

Gambar
Senja kemerah-merahan dari Dorus (pukul 20.22 CEST) Saya mengutuk jarak sesiangan. Apakah jarak memang menimbulkan kerak? Jarak membuat rasa ketakberdayaan, kekalahan yang semestinya tidak terjadi, pun belum tentu demikian. Ada kekuatan untuk merasa melakukan lebih banyak hal yang membumbung ketika mengakrabi jarak. Ingat, hanya merasa, belum tentu demikian. Saya menanyakan diri saya sendiri. Apa yang bisa dilakukan dengan jarak yang tak bersekat? Sayangnya, saya tidak bisa memberi jawaban lebih. Sama saja, tidak banyak yang sanggup saya lakukan. Jadi, saya menarik rutukan saya terhadap jarak. Mungkin, saya memang bukan jagoan hiburan. Saya tidak punya kepandaian dalam meredam duka nestapa orang lain, jua diri sendiri tentu saja. Tapi, biarlah luka saya dibicarakan nanti-nanti saja, kalau ada waktu yang berlebihan. Satu kalimat yang saya keluarkan hanyalah, “Kesenangan orang lain bukanlah tanggung jawab kita. Berdamailah dengan itu.” Kira-kira, itu adalah kalimat andalan. Tapi

Lunar

Saya bertanya-tanya, apakah hubungan kita memang dipengaruhi jarak? Di sini maupun di sana, kamu tampak sama anggunnya Pembicaraan kita pun tentang itu-itu saja Di Noordeinde, ada keputusasaan yang saya bagi Kamu menenangkannya, “segalanya ada waktunya, hadirku pun ada waktunya” Saya melawan malam itu, “tapi, hadirmu juga pasti” “hadir semuanya juga pasti, pun kamu tidak percaya,” tegasmu dengan lembut

Rumah Dua Tingkat

Semenjak saya datang di Jakarta, saya selalu menanyakan kesempatan untuk bertemu dengannya. Pun kami sama-sama sedang dalam keterburu-buruan tanpa jeda, tapi saya akan melakukan usaha lebih untuk berada di depannya. Mungkin, saya berani bilang bagaimana pun caranya. Saya tahu risiko yang terpapar, juga sekalian ketenangan yang akan didapat. Namun, bagi dia, rasanya banyak hal jauh lebih penting. Banyak kepentingan berdesakan tanpa mempertimbangkan keterbatasan waktu yang kami punya. Juga, tentu saja, kemungkinan-kemungkinan lain. Kamis malam, saya sedang bergegas mengarah ke Menteng. Keluar pintu rumah, saya mendapat pesan singkat dari dia. “Aha, malam ini kosong dadakan. Hanya malam ini. Bagaimana?” Pun dia memberikan pertanyaan di ujung, rasanya itu demokrasi asal-asalan karena tidak ada pilihan lain juga yang bisa diberikan. Ini juga tanpa usaha berlebih dari dia untuk memang menyediakan waktunya buat saya. Tentu saja, dengan segala rasa bersalah, saya izin undur diri dari rapa

Jakarta - Juanda

Selamat siang, Jakarta. Ini kota bukan soal Soekarno-Hatta belaka. Saya enggan berbagi senyum di bandar udara, terlalu nestapa. Itu mengingatkan kita bahwa pertemuan kait-mengait dengan perpisahan. Kita sama-sama suka berada di antaranya; setelah pertemuan dan sebelum perpisahan. Tapi, kenapa kita begitu takut akan perpisahan? Saya teringat bapak teman saya pernah bilang, “Dia yang pergi dan kembali memang bermakna untuk saling-menyaling”. Pun, kita juga sama pengalaman bahwa itu tidak selalu demikian. Karena kembali bukan untuk satu seorang. Lupakan bahwa kita adalah orang yang tergila-gila pada satu. Ceritakan kembali tentang cara bertahan hidup bertahun-tahun hanya dengan seratus ribu di kantung. Jangan lupakan kegagalan untuk menjadi ahli tata kota yang beralih ke dunia kata yang tak kalah suram semata. Boleh juga beri saya canda tentang cerita kolektif di warung kecil yang membuatmu merasa gagal melakukan bunuh diri kelas. Atau, kisahkan kembali ketika kepercayaan ditelantark