Jangan Biarkan Aku Jangan Hilang
“Apakah
ini semua yang saya inginkan dan perlukan? Dan, pertanyaan yang sama juga untuk
pernikahan saya.” Dia menatap mata saya dan saya tak melepas tatapannya. Ia menyeka
air matanya dengan guratan tegar yang tak dilepas dari parasnya. Tatapan itu
terlepas sembari ia mematikan rokoknya di tempat sampah yang kami taruh di
antara kami.
Tempat
sampah tersebut sudah hampir menyentuh batas atas, dipenuhi oleh plastik-plastik
dan ampas kopi yang menumpuk. Saya melempar pandang ke sekitar. Tujuh meter
dari saya, ada dua krat botol kosong yang ditumpuk. Di atasnya, ada tiga sampai
empat gelas berisi kopi yang sudah tidak penuh lagi. Empat orang duduk di atas
bekas keranjang buah atau telur yang diberi alas lagi untuk menyamankan bokong.
Di pojokan lainnya, setting serupa juga terlihat. Di tempat saya sendiri, hanya
ada kursi-kursi seadanya tanpa meja. Satu kursi kami jadikan alas untuk menaruh
dua gelas kopi yang sudah diseduh.
Dalam
jeda pembicaraan itu, satu-dua orang lalu lalang. Mereka menyapa orang-orang
lain dari ujung ke ujung. Mereka yang berlalu di depan melempar senyum. Bahkan,
satu orang mencoba melempar lelucon yang membuat kami tertawa, pun itu pasti
terjadi atas nama interaksi pertama. Segala yang pertama memang memudahkan yang
tak lucu menjadi lucu. Mungkin, sedari tadi banyak yang lewat, tapi tatapan
saya dan dia tak terlepas sehingga tak acuh.
Saya
mengambil satu batang rokok dari kotak. Pendengaran saya menjadi awas. Mencoba
memisahkan deras hujan malam-malam. Ada alunan musik yang membuat saya memutar
lihat untuk mencari asal suara. Persis di depan saya ada satu toko yang ditutup
rapat. Dari kaca yang menutupnya dan celah rolling
door, terlihat satu-dua orang di dalamnya. Berdansa. Ya, berdansa. Begitu
menikmati alunan musik. Saya tersenyum seakan merasakan kebahagiaannya. “Jangan
biarkan aku jangaaan hilaaang”. Demikian alunan lagu “Hilang” dari Rumah Sakit
yang memicu saya memperhatikannya.
Saya
mencoba melihat sekitar lagi. Siapa lagi yang menikmati musik macam ini selain
saya? Beberapa orang yang duduk kira-kira dua meter dari saya terlihat
menggoyang-goyangkan kepalannya. Satu orang di hadapannya menggoyangkan kakinya
mengikuti irama “Hilang”. Di tempat tujuh meter tadi, terlihat tak peduli
dengan musik. Mereka asyik dengan kameranya dan juga tawa-tawa.
Baju
yang mereka kenakan tentu saja selayang mudah ditemui di acara-acara musik atau
acara yang menggunakan kata seni. Entah seni itu apa. Aksesorisnya pun dapat
diterka. Sering terlihat di instagram yang malah seringnya menjadi patokan
adibusana santai. Pakaian memang penting untuk tidak memisahkan manusia dari
kelompoknya atau yang dianggap kelompoknya atau kelompok yang sangat diingini untuk menjadi bagiannya. Dan, tentu saja, pakaian itu kurang sesuai dikenakan di
tempat itu.
Kami
sedang berada di pasar. Tepatnya, di lantai dua Pasar Santa. Sebelum kami naik
tadi, kami melalui ruang-ruang yang diisi dengan mesin jahit, makanan kering,
minyak. Melongok sedikit, kami bisa melihat sayur-sayur yang mulai layu. Kebanyakan ruang sudah tak berisi, kebanyakan lainnya sudah tertutup rolling door.
Di
lantai dua itu, suasana berubah. Orang-orang yang ada berbeda dengan
orang-orang yang saya jumpai di lantai bawah. Pakaian. Aksesoris. Cara bicara
yang saya curi dengar. Wangi. Semenjak dunia berputar di saya, saya melihat
diri saya sendiri. Celana panjang, sepatu teplek, baju tanpa lengan, dan
selilit kain di leher karena hujan yang nyaris marah. Saya pun tidak akan pakai
baju ini untuk datang ke pasar pagi-pagi menemani ibu belanja.
**
Pasar
adalah pusat kota. Di tempat itu, orang-orang saling berkenalan. Melalui
sayur-mayur, daging merah, dan kebutuhan pokok. Pun tidak semuanya diawali
dengan tawar-menawar, saya percaya banyak kelebihan yang diberikan kepada
pembeli. Status mulai berubah; dari pembeli menjadi teman karena kedatangan
yang rutin. Sebagian mungkin malah menjadi saudara. Kabar bertukar dengan tatap
muka. Banyak hal yang terjadi di kota dibicarakan lagi di pasar. Kebiasaan
diulang-ulang—tanpa tahu apa itu bosan—di pasar.
Ada
perilaku berulang. Ada interaksi berulang. Ada perubahan berulang. Terjadi
dengan siapa pun. Siapa pun. Maka itu, saya bilang pasar adalah pusat kota.
Lebih mudah mengenal kota hanya dengan datang ke pasarnya.
Saya
mempertanyakan itu kemudian. Apakah masih mudah mengenal kota dengan keadaan
pasar di lantai dua itu?
Ngopi di pasar
adalah sesuatu yang baru di Jakarta, iya. Seksi, iya. Menjadi tempat referensi
baru bagi kelas menengah, iya. Apakah iya juga untuk pertanyaan meleburnya
perbedaan kelas di dalam pasar? Saya pun mungkin tidak baik untuk
membeda-bedakan demikian. Saya justru menegaskan batas yang justru ingin begitu
dihilangkan. Parah juga untuk mengkhawatirkan kebudayaan pasar yang sudah ajeg
berpuluh-puluh tahun. Sangat kacau untuk memasukkan konsep pengancaman dan
mengancam antarkelas akan keadaan di lantai dua pasar itu. Separah-parahnya,
sempat terbersit, jika usaha peleburan ini tidak berhasil, apakah penghuni di
lantai bawah tidak merasa terokupasi dengan lantai dua?
Jika
kebiasaan baru di lantai dua ini berhasil—dan sungguh saya begitu berharap
demikian, itu membuka pintu banyak peluang bagi penghuni semua lantai. Saling
menguntungkan—sejak pasar memang lekat dengan konsep untung-rugi. Membuka ruang
bagi semua penghuni dan pendatang untuk duduk satu meja menikmati kopi. Membuka
pintu bagi semua penghuni dan pendatang untuk menciptakan perilaku dan selera
(terlebih musik) berulang baru.
Usahanya
luar biasa. Ada acara untuk anak-anak di pasar pada hari-hari tertentu yang
diinisiasi sebagian penghuni lantai dua. Ada kopi yang dibayar selayaknya
sendiri dan memungkinkan juga untuk tidak membayarnya. Letaknya yang di atasnya
pun membuat pendatang perlu melalui ruang-ruang di bawahnya dan membuka peluang
menciptakan interaksi.
Mungkin
juga, jika langit masih terang dan lantai bawah sedang terpenuh-penuhnya
terisi, interaksi itu terlihat nyata. Mungkin juga, musik-musik yang dimainkan
bisa lekat di telinga semua penghuni pasar tanpa menilai selera bagus dan tidak
milik siapa.
Setidaknya,
ngopi di pasar dan memainkan piringan
hitam di pasar membuka kemungkinan baru. Pun, ada juga kemungkinan untuk tidak
terjadi apa-apa.
**
Kopi
di hadapan kami belum kami bayar. Kami memasukkan selembar uang di dalam kaleng
merah di dekat mesin kopi. Jumlah lebih dari yang biasa dibayarkan di kafe
ibukota. Toh, menjawab pertanyaan teman saya di awal tadi, ngopi di pasar dan mendengar piringan hitam di pasar adalah sesuatu
yang kami inginkan dan perlukan. Setidaknya, malam itu demikian.
*Dan,
saya mendengar "Hilang"-nya Rumah Sakit menjadi begitu cocok dengan
keadaan di Pasar Santa.
Komentar
Posting Komentar