Dalam Komat-kamitku, Kusebut Namamu

Selepas diskusi tentang imigran gelap di Belanda hingga lewat tengah malam, kereta sudah tidak beroperasi menuju kota saya. Saya terpaksa menelantarkan diri di kota asing itu. Sebenarnya, kota itu tidak terlalu asing karena kekasih saya tinggal di sana. Namun, saya tahu betul ia senggan menampung saya. Modal dia banyak omong dengan otak yang lumayan encer, sayangnya tidak disertai dengan kecairan membawa orang pulang ke tempatnya.

Tapi, malam itu, sepertinya dia tidak punya pilihan lain. Jadilah itu malam pertama saya tahu tempat tinggalnya. Anggaplah itu kamar seluas empat kali lima meter dengan kamar mandi di dalam. Satu kasur berukuran kecil ada di pojok dengan meja di sebelahnya dan dikelilingi oleh rak-rak buku. Iya, rak-rak, lebih dari dua. Di ujung, ada satu jendela kecil dengan meja belajar kecil menyempil dan hampir tertutup oleh buku-buku.

Seperti biasanya, ketika baru pertama kali ada di ruangan asing, saya langsung menyapu dengan pandangan. Ruangan ini berbeda dari yang pernah dibayangkan. Tentu saya pernah membayangkannya. Bukan karena buku-bukunya, saya sudah bisa menebak itu sejak awal. Di meja kecil sebelah kasurnya, ada rentetan barang yang asing bagi saya. Ada beberapa jenis bunga yang sudah dipreteli, beberapa jenis minyak dan saya yakin itu bukan buat wewangian tubuh, juga beberapa gelas air yang saya juga yakin bukan buat diminum.

“Saya boleh minta waktu sendiri sebentar?” tanyanya sambil melepas jaket tebal dan digantungkan di belakang pintu. “Silakan,” jawab saya tanpa paham dan tak menanyakan lebih lanjut. “Semoga kamu tidak keberatan. Silakan langsung tidur di kasur. Saya akan ambil tempat di karpet nantinya.” Dia berjalan untuk menyalakan pemanas ruangan. Kemudian, dia mulai melakukan ritualnya. Bukan salat, saya tahu dia percaya setengah-setengah akan keberadaan tuhan dari obrolan sewaktu kami ada di coffeeshop suatu siang di kota saya.

Dia komat-kamit di depan meja dengan bahasa yang saya tidak paham. Saya belagak santai, padahal mulai merasa deg-degan. Kurang lebih 17 menit dia menghabiskan waktu sendiri dan saya membiarkannya. Mungkin, ini giliran saya yang tidak punya pilihan lain. Seselesainya, dia mengambil satu bantal kecil dari kursi di hadapan meja belajar, seprai dari lemari bajunya yang menghabiskan dua rak bagian bawah dari rak di dekat kamar mandi, dan mematikan lampu. Bahkan, tanpa menanyakan pilihan saya untuk istirahat dalam keadaan gelap atau terang. Dia kemudian langsung menelantangkan tubuhnya di lantai. Dan, membiarkan saya yang belum berubah posisi dalam duduk di kasurnya gelap-gelapan.

Dia mengambil ponselnya, saya melihat wajahnya dari cahaya ponsel dan masih menebak-nebak apa yang semestinya saya lakukan dalam keadaan ini di kamar pacar saya sendiri. Dia mengetik singkat dan keadaan kembali temaram. Selang satu atau dua detik yang terasa begitu lama, ponsel saya berbunyi. Ada satu satu pesan masuk. Dari pacar saya. “Selamat tidur.” Demikian pesannya. Pesan itu biasanya saya baca dalam keadaan mesem-mesem. Tapi, itu biasanya saya terima di kamar saya sendiri, bukan dalam satu ruangan yang sama. Saya tidak menanggapi pesan itu.

Saya masih merasa tidak punya pilihan lain selain merebahkan diri di kasurnya. Dan, tidak ada satu pun dari kami yang ganti baju. Ketika saya masih melihat atap-atap sambil membiarkan mata saya beradaptasi dengan kegelapan, saya dengar sayup-sayup. “Saya bertahan di sini dengan cara begini. Saya muak belajar tentang ilmu rasional. Saya hancur lebur tak punya pegangan dan menemukan segalanya dalam keadaan tidak pasti dan selalu berubah. Saya ingin membuktikan kepada profesor-profesor bule keparat itu bahwa banyak hal masuk akal dan itu bukan akal mereka. Saya mulai mempercayakan diri dengan hal-hal begini. Dan, membuat kamu menjadi pacar saya adalah bukti nyata bahwa begini-begini memang menjadi begitu bisa menjadi kenyataan, tanpa diimpikan, tanpa rasa.”

Pada saat itu juga, saya merasa dia bisa menjadi apa saja di luar akal pikir saya. Termasuk pembunuh mungkin. Atau pemerkosa. Atau sesuatu yang lebih bangsat dari bajingan-bajingan di Jakarta yang pernah saya temui. Daripada menentang apa-apa yang membuat saya merasa menjadi objek ilusi, saya lebih memilih diam dan bersumpah tidak akan tidur semalaman itu.

***


Dalam perjalan pulang di kereta, saya merutuk, “Bangsat, semalaman tadi saya sama saja kemakan keirasionalannya.” Lalu, saya mencari cara untuk menyudahi hubungan yang tidak romantis itu. Sesampainya di rumah, saya mencari tahu di mesin pencari di internet, “10 cara putus paling ampuh.”

Komentar