Postingan

Menampilkan postingan dengan label Kesen(dir)ian

Airportradio Antar ke Ruang Temaram

Gambar
Jika hati dan pikiran ada dalam satu ruangan yang sama, di antaranya terdapat satu ruang dengan pintu kayu menebal dan berjeruji di bagian atasnya. Temaram. Bukan gelap. Setemaram ruangan di Auditorium IFI Yogyakarta pada 24 Oktober 2018 ketika peluncuran album kedua Airportradio, Selepas Pendar Nyalang Berbayang . Sembari masuk ruang, saya ditemani instalasi berbayang. Lorong menggelap dipenuhi asap. Lampu padam. Airportradio menikam. Perlahan. Lahan. Dentingan bel. Satu nada dalam tempo lama. Lagi. Dan, lagi. Dan, lagi-lagi. Tapi, saya bertahan. Dan, semua orang juga bertahan. Apakah artinya kebanyakan dari kita sudah terbiasa dengan pengulangan secara terus-menerus? Sehingga ini terasa begitu mengakrabi. Segala jenis suara—instrumen dan vokal—berpaduan tanpa saling melomba. Ini bukan kompetisi. Tak ada kejar-kejaran. Mereka malah mempersilakan. Saya seakan dipersilakan masuk dalam satu ruangan. Temaram. Bukan gelap. Tidak terkunci, tapi be...

Sisir Tanah, Karya, dan Kipas

Gambar
  Kiri…. Kanan… Kiri…. Kanan… Kiri…. Kanan… Begitu saja kerjaku seharian ini. Semestinya bukan pakai saja ; ini tugas berat. Antibosan. Antipegal. Konsistensi. Demi menunda keringat mereka. Demi memutar asap rokok yang mereka kepul. Demi mengibas rambut mereka di panggung. “Tolong matiin kipasnya. Dingin.” Seorang laki-laki melontarkan kejujuran yang ditangkap sebagai lelucon. Di tengah lagu yang sedang ia nyanyikan. Ya ampun, Mas. Suwun , Mas. Jasamu besar, Mas. Mas siapa tadi? Maklum, aku tidak bisa melakukan dua hal dalam satu waktu yang sama. Aku tak bisa memperhatikan apa-apa yang terjadi ketika ngiri-nganan-ngiri-nganan-ngiri. Tuntas sudah tugasku, sekarang aku bisa melihat sekeliling. Bukan. Bukan sekeliling. Melihat lurus ke depan. Mas Danto, namanya. Sisir Tanah, sebutannya. Dia penyelamatku malam ini.  Foto: Dokumentasi Jaluardi (2017) Dia tidak melantunkan kebisingan, melainkan kelirihan. Suara gitarnya pelan. Suaranya iku...

EITS: Tahu Makna Cukup

Gambar
Ini adalah satu-satunya—sampai saat ini— band favorit yang saya tonton konsernya dan saya tidak berharap ada encore . Cukup. Bahkan, saya memohon dalam hati—yang tiada gunanya itu—jangan sampai ada encore . Mungkin kebetulan, mungkin semesta berbicara, mungkin juga tidak ada hubungannya sama sekali, malam itu, Jumat, 3 Maret 2017, tidak ada lagu tambahan setelah momen dramatis penutup lagu dari Explosion in the Sky. Dada saya sudah tidak muat lagi. “The Only Moment When We Were Alone” menjadi lagu penutup. Lagu yang satu ini memang bukan kepalang. Judulnya sendiri sudah bicara banyak. Rangkaian melodi yang ditawarkan pun bertahap. Tahapannya terasa betul. Kurang lebih, bagi saya, grafiknya begini. Penghujungnya, ketika tempo sedang cepat-cepatnya, rasanya sedang klimaks-klimaksnya, mereka berhenti seketika, bersamaan. Lampu di panggung semua padam. Gelap. Mereka tidak terlihat sama sekali. Ada, tetapi tidak terlihat. Pertunjukan selesai. Mereka tahu apa artinya kata cuk...

SINESTESIA: Antarkan Saya Pulang

Gambar
“Habis bulan puasa,” atau “Tahun depan.” Itulah kalimat yang selalu terlontar dari personel Efek Rumah Kaca. Entah sejak tahun berapa. Omongannya bukan kosong, tetapi memang selalu ada yang keluar, entah Pandai Besi, ERK Remix, kolaborasi dengan musisi lain, merchandise , konser PanBes. Biar, sampai lelah untuk menanyakannya lagi karena terus merasa diakal-akali, celaan yang menghantui malah menjadi hambar saking lamanya. Sebenarnya, ini bukan hanya perkara celaan yang jadi kartu kunci, saya juga menanti betul-betul album ketiga Efek Rumah Kaca. Penantian terjawab dengan album yang dipirit-pirit. Satu single , satu single , konser di Bandung—yang tidak bisa ditonton karena saya sedang ada di Belanda. Saya sudah mempersiapkan diri untuk dua single yang siap diramu Pandai Besi, tapi ternyata tidak bisa setertebak itu. Satu album penuh keluar. Beberapa hari setelahnya, saya membeli melalui iTunes. Sekalinya transaksi pakai kartu kredit, tagihan muncul 600-sekian ribu. Saya kira album...

Kalau Mau Hitung-hitungan, Seberapa Adil Kesenian?

“Creative Court develops art projects and reflects on peace and justice from The Hague, seat of government and international city of peace and justice. Creative Court operates from the understanding that art has the ability to incite reflection, empathy and eventually peace.” ­  Mission of  Creative Court   Kamis, 5 Februari 2015, saya hadir dalam presentasi Creative Court di ISS, Den Haag*. Salah satu artis dan juga kurator, Bradley McCallum, bicara tentang kegiatan yang mereka lakukan. Presentasinya diawali dengan lukisan-lukisan super besar yang terpampang di galeri yang terlihat mewah. Lukisan itu dibuat berdasarkan foto-foto yang diambil dari International Criminal Court di Den Haag. Hasilnya mencengangkan, apalagi dia juga cerita soal  prosesnya  yang memakan waktu tidak sebentar. Proses itu juga diperlihatkan dalam rentetan lukisan yang tidak sepenuhnya menyerupai foto asli, melainkan ada pula yang pewarnaannya membentuk peta-peta terkait pe...

Oleh-oleh dari Rumah Seni Cemeti

Gambar
Laki-laki setinggi kurang lebih satu meter. Bertelanjang dada dan juga kakinya, bercelana pendek, dan tak ada bulu di sekujur tubuhnya—entah di dalam celananya. Itu membuatnya ia terlihat seperti anak-anak. Di punggungnya, terpikul layaknya tas ransel berupa sangkar burung. Dipenuhi dengan burung-burung, mungkin merpati, berwarna putih. Burung-burung yang ada di bawah sangkar tergeletak, mati. Beberapa burung yang masih hidup bertengger di jeruji sangkar. Beberapa burung sejenis juga ada yang bertengger di atas sangkar. Oh iya, apakah saya sudah menyebutkan kepalanya juga mengenakan topeng kepala burung berwarna hijau? Saya melihatnya di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta. Terusik selama beberapa malam ke depannya, saya memutuskan kembali lagi untuk melihat ulang. Entah buat apa. Saya hampiri dan melihat dari jarak yang sangat dekat. Kemudian, bertanya dengan berbisik-bisik, takut si anak laki-laki berkepala burung itu mendengar, “Ini karya siapa?” Saya ini tak a...