Untuk Er

“Dunia itu pincang.” Aku mengatakannya dengan muka memerah, membanting buku catatan ke meja, dan menyegerakan diri untuk duduk di hadapanmu. Aku tidak mendengar adanya tanggapan, maka kutatap matamu. Kamu sedang menopangkan dagu di tangan, senyum merekah, menatap dalam. “Ada apa, adik kecil?” tanyamu dengan senyum tak berhenti-henti. Tatapan serupa tak berubah, bahkan semakin merekah ketika aku mengolah segala kisah yang ogah untuk adil. Tawamu mengunci angkaraku. Muka kubuang ke samping, berikut pandangannya. “Memang pincang, memang tidak adil. Tapi, itu juga bisa jadi kesempatan untuk saling menopang dan membuat keadaan lebih baik,” ia tersadar aku mulai tak bisa dilerai. Kukembalikan tatapanku padanya. Saya siap mendengarkan kelanjutannya. Mari bicara tentang apa saja yang membuat kepincangan dunia: kebobrokan pemerintah dan parlemen, korupsi yang merajalela, konstruksi sosial yang menyudutkan, publik yang disamaratakan, konsep bibit unggul yang menyampingkan bibit tak berakses, virus hasil konspirasi, pembiaran atas pencorengan hak asasi manusia, kekuasaan dominan melalui pengetahuan dan pembangunan, sebut saja semuanya. Baiklah, kali ini, aku mendengarkan celotehanmu. Aku pasang telinga. Pasang mata. Pasang pancaindera. Kalau aku punya indera keenam, aku juga pasti akan mempersiapkannya. Tepat ketika konsentrasiku mulai penuh, kamu melanjutkan. “Tapi, sayangnya, kamu tidak punya sesiapa untuk saling menopang." Tawa kita terlepas.

Duka memang milik masing-masing, layaknya nasib, kata Chairil Anwar. Tapi, aku juga percaya dengan Pram. Segala yang baik belum tentu benar. Kalau segala perih masih bisa jadi jenaka, apakah itu adalah kebenaran tanpa pembiaran? 

*selamat ulang tahun, ES

Komentar

Posting Komentar