Bicara di Depan Publik

Tet, tet, teeeetttt, tet, tet, tet.

“Masuuukkk! Gak dikunci.”

Hanya orang-orang dengan tingkat keakraban lemah atau baru datang pertama kali yang saya bukakan pintu.

 

Saya mendengar: suara pintu dibuka, suara tas bergesekan dengan daun pintu bersamaan dengan langkah sepatu. Dia pasti pakai Vans hitamnya, saya hapal suaranya. Saya juga mendengar “Duh” kecil. Itu pasti dia kesulitan masuk. Ada banyak barang di belakang pintu: rak sepatu dan gantungan baju yang beralih fungsi jadi gantungan macam-macam, mulai dari baju, celana, jaket, syal, tas, masker, sampai kantung belanja. 

 

Saya cukup mengingat kebiasaan orang-orang masuk pintu tempat saya tinggal, meskipun saya membelakangi pintu masuk, duduk bersandar di sofa menghadap televisi dengan volume kecil. 

 

Saya memperhatikan suara lagi: tas yang ditaruh lantai dekat rak sepatu, bangku ditarik, sepatu yang dilempar ke rak sepatu, pintu kamar mandi terbuka, air keluar dari keran wastafel, dan air dari shower. Ah, kebiasaan pandemi, dia cuci tangan dan cuci kaki setiap kali baru datang. 

 

Dia berdiri di hadapan saya, menghalangi pandangan ke arah televisi, “Abis nyikat apa? Kok ngondoy gitu?”

“Tadi abis ikut webinar. Tiga hari berturut-turut begini terus.”

“Ikutan doang?”

“Presentasi juga sialannya.”

“Tenar, dong?”

Paha dia saya tendang. Dia tertawa.

 

Setiap kali terlibat dalam kegiatan yang mengharuskan saya untuk bicara di depan orang lain, badan saya langsung kelelahan. Bukan hanya setelahnya, sebelumnya juga demikian. Saya tidak bisa mengerjakan hal lain, pikiran saya tertuju pada satu kegiatan hari itu. Padahal, bukan berarti saya membaca materi atau latihan bicara terus-menerus selama seharian itu. Saya merasa perlu untuk lebih menyiapkan diri untuk berbicara di depan orang lain, tetapi terlalu gugup untuk bisa duduk diam berkonsentrasi. Demam panggung, ceunah.

 

Kadang, saya suka berharap supaya hari itu cepat selesai. Toh, apa pun yang sudah terjadi tidak bisa berubah dan saya akan bisa menerima situasi itu. Jemawa! Begitu selesai, misalnya yang hari pertama lalu, saya tidak bisa berhenti mengulang-ulang kejadiannya. Slide presentasi tidak bisa ditampilkan pada awal-awal. Kalimat-kalimat yang saya haturkan bisa jauh lebih baik, lebih deskriptif, dan lebih menggugah, walaupun semuanya sudah saya tulis sebelumnya. Ada seratus peserta dalam kegiatan itu dan 85 di antaranya bertahan hingga akhir. Saya merasa bisa menjawab satu pertanyaan penting, tetapi saya tidak melakukannya. Ini berputar terus. Bahkan, sebelum tidur, ketika saya sedang asyik berkhayal untuk bisa main air laut, tiba-tiba ada satu scene dari webinar hari itu yang terlintas. Melesat cepat. Satu momen yang begitu ingin saya ulang dan saya perbaiki cara menjawabnya. Dan, pemandangan lautan lepas langsung sirna. Kegagalan merajalela di kepala. Saya semakin ogah tidur karena besok bisa jadi sama saja.

 

Hari kedua, saya menganggap persiapan lebih matang. Situasi diskusi hari itu juga lebih santai, setidaknya saya berharap demikian. Saya sudah menyiapkan satu pertanyaan santai sebagai pembuka untuk bisa mencairkan suasana. Saya melanjutkan presentasi satu slide, kemudian mereka memberikan tanggapan. Ah, ini pasti bisa memancing partisipasi. Mereka sudah bicara depan umum di awal dengan pertanyaan ringan dari saya. Jumlah slide saya ada tiga. Slide pertama selesai. “Bagaimana, teman-teman? Ada komentar?” Semua ikon mic masih merah, tandanya mereka mute. Tidak ada satu pun peserta yang angkat bicara. Berat. Saya terpaksa tanya satu per satu. Ini sebenarnya saya hindari betul dalam webinar ataupun diskusi langsung. Saya tidak suka menempatkan orang dalam posisi yang mengharuskan bicara. Tidak semua orang nyaman untuk bicara di depan banyak orang dan mereka memang perlu dibiarkan dengan caranya sendiri, setidaknya saya sendiri berkaca demikian. Slide kedua, tidak jauh berbeda. Slide ketiga, satu teman saya membantu memberikan pertanyaan. Suasana menjadi lebih baik. Sesudahnya, saya tidak sanggup mencoret daftar kerjaan di agenda. Ini terlalu melelahkan. Saya memutuskan menonton film. Di tengah film, ada satu scene di kepala saya yang tak berhubungan dengan film, malah berasal dari kesunyian diskusi daring siangnya. Momen itu menyergap sigap. Saya kewalahan.

 

Hari ini adalah hari ketiga saya perlu bicara di depan banyak orang. Pernah sekelebat saya berharap bahwa ada satu hal di luar kontrol saya yang terjadi. Mati lampu sekota. Peristiwa Indihome mati se-Indonesia, tapi provider saya juga bukan Indihome. Setidaknya, saya merasa perlu diselamatkan dari bicara depan banyak orang tanpa menjadikan saya sebagai subjek yang mudah untuk disalahkan. Anda tahu apa yang terjadi? Semesta mendengar bisikan yang tidak pernah diucapkan. Selama diskusi itu, suara saya terputus-putus karena koneksi internet yang tidak stabil. Mengganggu betul. Alih-alih merasa terselamatkan, saya malah semakin merasa terpuruk. Ini tidak membuat saya terhindar dari kejatuhan kegagalan, malah semakin menyelaminya. Kali ini, bukan hanya adegan suara terputus-putus, tetapi mulai dari kalimat yang seharusnya lebih tertata rapi pada dua hari sebelumnya, juga cara menjadi fasilitator yang jauh lebih baik pada hari kedua. Kombo! Saya memutuskan membiarkan saya tenggelam sambil ditonton televisi dengan volume kecil sambil menyandarkan punggung ke sofa.

 

“Bagi, dong, Neng. Abis minum atau makan apa, sih? Kok kayaknya enak betul bengongnya. Ada orang lain di sini atau enggak seperti tiada beda.”

“Hah? Kirain dari tadi sudah cerita apa yang terjadi selama tiga hari belakangan.”

“Kamu diam saja dari tadi!”  

“Aduh, untuk mengulangnya, saya harus mengingat-ingat runtutan kejadian itu semua. Padahal, rasanya baru saja selesai cerita.”

“Bangsat! Kamu sudah terbiasa memikirkan semuanya sendirian.”

Kami tertawa.

“Bukan hanya memikirkan, tapi juga merasakan.”

Tawa tadi disambung dengan gelak.

 

Dia mengambil sisa puntung di asbak sebelah saya, membakarnya dan menghisapnya. “Saya senang melihat nama kamu mulai ada di poster-poster kegiatan itu. Setidaknya, kamu tidak hanya menjalankan apa yang kamu suka dan bisa, tapi juga bertanggung jawab dengan profesi dan pengetahuan yang kamu punya untuk dibagikan kepada publik.”

Saya menolehkan kepada untuk melihatnya lebih jelas, bukan hanya dari ujung mata. “Kata-kata siapa itu? Agak janggal mendengar pemikiran itu darimu.”

“Hahaha. Kata Karlina siapa? Kamu kasih tahu pidato kebudayaan dia waktu itu.”

“Karlina Supeli. Bangsat! Ambil omongan orang diam-diam. Kasih kredit, dong.”

Gelak tadi berlanjut jadi bahak.

Saya meminta puntungan yang sedang dia pegang untuk bergantian.

 

Ngapain bawa tas gede?”

“Kok tahu, sih? Kan enggak lihat saya masuk tadi.”

“Tahu dari suaranya, lebih berisik dari biasanya.”

“Bawa beban hidup yang enggak bisa saya ceritakan. Kayak Si Mas-Mas Pagar.”

“Mas-Mas Pagar? Siapa itu?”

“Orang yang ada di tulisan kamu yang terakhir. Itu fiksi atau nyata, sih? Orang Pemarah itu, lho. Yang kamu lepas kepergiaannya di pagar.”

“Hahaha. Pagarnya saja enggak ada. Adanya meja sekurit kalau mau datang ke sini.”

“Artinya, kamu kemakan tulisan sendiri. Itu ada benarnya juga. Kita enggak cerita ke orang dekat kadang bukan karena enggak percaya, tapi justru untuk melindungi.”

“Idih, apa-apan, tuh? Bisa-bisanya bawa tulisan orang. Itu adalah pendapat yang sangat egois. Itu justru menunjukkan bahwa saya tidak bisa menyikapinya dengan baik.”

“Bilang gitu, dong, ke Mas-Mas Pagar. Kamu beraninya sama aku saja. Misalnya, saya sekarang sedang dikejar-kejar Polisi. Kamu sebaiknya tidak tahu. Jadi, nanti kalau saya tertangkap dan kamu ditanya-tanya, kamu memang benar tidak tahu. Daripada nanti kamu harus mempertanyakan nilai-nilai di pidato Karlina yang kamu imani. Mengatakan sejujurnya.”

 

Tet, tet, teeeetttt, tet, tet, tet.

“Kamu benar lagi dikejar Polisi?”

“Enggak. Mungkin Tentara.”

 

 

Komentar