Tembok Tai Dai

Ada satu tembok tinggi menghadang. Dari semen. Sebagian sudah retak-retak. Tapi masih kokoh, jauh dari rubuh.

 



Tok-tok-tok.

Tembok semen diketuk-ketuk hanya untuk berulang kali meyakinkan seberapa tebalnya tembok menghalang. Ingatan tentang tembok-tembok berlin yang berhamburan mengelabuinya. Siapa tahu tembok ini tidak perlu martil, kematian, pembunuhan, kerinduan, dan perayaan untuk dirubuhkan.

 

Duk-duk-duk.

Berkali-kali, ia membenturkan kepalanya ke tembok. Tidak kencang. Penakut juga ia untuk merasa kesakitan. Tapi, mau merasa berani dengan semangat menyakiti diri sendiri. Mungkin kepalanya bisa lebih kuat untuk merubuhkannya. Rubuhnya surau kami, ia teringat cerita itu. Bukan cerita, hanya judul. Ia sama sekali tidak ingat ceritanya. Ia hanya ingat buku itu diberikan oleh temannya ketika ia keluar musholla di kampus dulu.

“Biar lebih sering datang ke musholla,” pesannya kala itu.

 

Sejak itu, ia merasa ritual hanyalah bagian dari transaksi. Penghargaan agar kembali lagi. Perayaan dirasakan terlebih dulu untuk sesuatu yang diharapkan terjadi. “Saya memberimu buku supaya kamu datang lagi ke sini.”

 

Tapi, belakangan, ia malah merasa kedunguan sedang membuntutinya. Coba lagi, siapa tahu kali ini berbeda. Siapa tahu? Siapa yang tahu?

Apakah itu sama juga, “Saya memberimu peluang supaya kamu berulang kali merasa tidak bisa memanfaatkannya?”

Tumpukan kegagalan ini mematikan api yang rasanya memang tak perlu dijaga. Angan-angan yang direndam sampai kelunturan, tak jadi tai dai.

 

Komentar