my dear cousin

Aku mengosongkan beberapa hari terakhir untuk ada di sana. Mungkin tidak ada di sampingnya tapi aku ada di sana untuk dia, tak dapat dihindari untuk keluarga dia. Yakinlah, semua untuk dia.
Aku enggan membicarakan hari-hari itu kembali. Tapi hari ini aku harus meluangkan sejenak waktu untuk berkisah tentang hari-hari itu. Semoga saja ini dapat menenangkan malam-malamku karena sejak malam itu, bayangannya selalu hadir.
Jujur, aku sama sekali tidak tahu apa yang harus aku lakukan, pikirkan, bahkan aku rasakan ketika pertama kali berada di rumah sakit itu. Aku masuk dan tak lama segera keluar dari kamar itu. Aku tidak tega. Sungguh, aku langsung membuang segala pikiran tentang apa yang pernah terjadi dan berdoa. Yakinlah, hanya untuk dia.
Aku memohon segala maaf dan mengikhlaskan apa yang harus diikhlaskan. Yakinlah, hanya untuk dia. Siapa tahu, bisa membantu kepergian yang semestinya.
Dua hari. Lebih lelah dari latihan fisik walaupun keringat yang dikeluarkan tak seberapa. Hanya pikiran yang lelah untuk mencoba memahami segala tingkah laku manusia yang sedang panik, berjuang, berperasaan, dan sangat berusaha menghadirkan logika yang sedang entah ke mana. Ada di sebelah yang sedang menangis penyesalan, memberikan tangan untuk digenggam, menyediakan bahu untuk disandarkan, mengingatkan makan, berdoa, mengelus pundak. Aku memang tak bisa apa-apa, hanya sedikit itu aku ada untuk kalian.
Dia adalah salah satu orang yang ada pada momen ketika aku jatuh dan trauma. Pembela. Pelindung pada malam hari Ibu tahun lalu yang sangat enggan untuk aku ingat kembali.
Terima kasihku belum terucap padamu. Terima kasih. dan maafkan atas apa yang pernah aku pikirkan padamu. Maklumkanlah itu.
Sekali lagi, terima kasih.
Selamat jalan, saudaraku.

Komentar