tak suka baca

Aku tak lagi suka membaca. Dulu, bisa saja kuhabiskan berjam-jam dengan membaca ribuan morfem dalam satu buku tanpa gangguan konsentrasi. Lama-lama, angkuhku mungkin muncul. Baru saja kubaca beberapa halaman, aku malah ingin menyaingi penulis yang pasti jauh lebih bagus dan berpengalaman. Kurangkai segala morfem yang muncul dalam pikiranku. Bahkan, tanpa ide awal. Tak kubuat kerangka pikiran yang menjadi patokan penulis-penulis. Bagus atau tidak hasil tulisan itu nanti saja, aku hanya ingin menumpahkan pikiran yang ada.

Malam ini, aku tiba-tiba teringat seorang teman lamaku. Aku tahu betul kebiasaannya. Bangun tengah malam, membakar sebatang atau beberapa batang rokok dan menonton film. Filmnya pun selalu ia beli yang bajakan, kecuali film-film local. Menurutnya, hasil kreativitas, pemikiran, dan usaha orang lokal harus didukung. Pembelian film atau bahkan musik lokal adalah pencerobohan katanya dengan tegas. Bagusnya, ia termasuk konsisten dengan ucapannya mengenai ini.

Selain menonton, ia juga suka membakar rokok dan diam dalam tenang. Berceloteh saja ia sendirian tanpa suara dengan dirinya. Cipta kisah dan debat seru yang didambanya dengan orang-orang lain. Padahal, itu semua hanya pikiran dari seorang saja. Tak mudah memang untuk membuatnya mengakui kebiasaan itu. Toh, kadang ia suka membagi karangannya itu padaku pada malam-malam lainnya di kedai kopi sederhana di pinggir jalan sana.

Suatu saat, ia menceritakan kekasihnya. Perjuangan yang seru tentang kisah cinta dia. Pertarungan hebat dengan perasaan serta logika. Tak lagi ia bernasihat tentang keseimbangan perasaan dan logika dalam berkisah cinta seperti zaman dulu. Terakhir ia bilang, cara seseorang mencinta harus dipelajari sendiri dengan semua pengalaman segala inderanya. Cara satu orang tentu saja berbeda dengan cara lainnya. Segala kisah dari dulu pun tak membuat kami menemukan satu teori pasti tentang fase cinta. Fase apa yang dialami pertama kali hingga menjadi fase dewasa pun berbeda antara orang satu dengan lainnya.

Kali ini, ia menjalin kisah cinta dengan salah satu laki-laki. Tak ia gunakan pertimbangan yang dulu selalu menjadi tolak ukurnya. Tak pula ada segala tuntutan untuk menyerang laki-laki itu sebagai akibat dorongan sosial yang kadang sering dipertanyakan dan dianggap sebagai keinginan diri sendiri. Tak digambarkan masa depan seperti yang mereka lakukan ketika ingin berhubungan cinta, seolah-olah hubungan itu tidak diberi arah, dibiarkan saja mengambang mengikuti segala arus dan ditantang saja badai yang melanda. Kali ini, ia hanya tahu ia sedang berkisah cinta. Cukuplah, katanya santai dna aku yakin itu memang yang ada di pikirannya. Mungkin karena aku tahu juga apa yang terjadi pada kisah-kisah sebelumnya.

Malam itu, ketika aku datang menghampirinya, ia sedang membakar rokoknya. Baru saja kududuk dan belum sempat memberikan kode untuk mengantarkan pesananku seperti biasanya, ia sudah bilang bahwa ia tersadar hari itu bahwa ia masih saja sama dengan perempuan kebanyakan yang seumuran dengannya. Tadi siang, ia bertemu dengan ibu kekasihnya untuk pertama kali. Ia pikir, ia dapat mengatasi keadaan itu dengan santai. Namun, ia menceritakan dengan berantakan bagaimana pertemuan pertama itu. Segala kata dan pemikiran ditata sedemikian rupa untuk memberikan impresi pertama terbaik. Ia tidak mengerti kenapa ia harus melakukan itu. Kenapa seolah-olah tanpa sadar ia harus merasa diterima? Padahal, ia pun mengakui bahwa tak ada rencana apa pun yang terlintas yang mengharuskan ia merasa diterima.

Satu setengah tahun saja temanku itu mengadu kisah cinta dengan lelaki yang sama. Selama itu, kisah cinta hanya tentang mereka berdua. Yah, mungkin banyak juga tentang teman-teman mereka. Akan tetapi, tidak pernah sekali pun mereka mengusik lingkaran keluarga masing-masing. Baru siang itu mereka menyentuhnya tanpa rencana pula. Bertemu mereka tanpa sengaja di salah satu restoran. Sisanya, ia harus menyimpan segala tanggapan untuk topik yang diajukan ibunya dan membahasi bibir dengan harapan menghilangkan rasa asam di mulutnya karena tidak mau merokok. Jadi, cerita dia bukan tentang pertemuan pertama yang tidak berjalan lancer, tetapi lebih pada kesadaran dirinya. Haha.

Setelah ia selesai berkisah, aku pun terdiam. Sambil mengambil rokok dari kotaknya, kupandang dia. Aku bicara dengan volume pelan, aku merasa sendirian. Ia pun latah ikut mengambil rokok dari kotaknya di atas meja sambil melihatku dengan pandangan yang menunggu alasanku. Entahlah, selesai ia berkisah, aku merasa tidak ada cerita. Bisa saja aku iri dengan pengalaman dia. Bisa saja aku merasa kehilangan. Aku pun enggan untuk menganalisis apa yang kurasakan. Setidaknya, aku tahu, aku sadar. Aku merasa terkikis menjadi bagian dari teman-temanku yang selalu mengisahkan kisah cintanya. Mungkin berdasarkan pengalaman segala inderaku, aku percaya, setiap teman yang menjalin kisah cinta akan menelantarkanku—dalam tanda kutip. Aku menjadi merasa tidak utuh, harus terbagi. Mungkin aku posesif sebagai teman karena hanya pertemanan tempat kubersandar.

Setelah pembicaraan itu, ia mengirim pesan singkat sesampainya di rumah. Aku pun mungkin akan membagi pada saatnya nanti. Dan, aku pula yang akan yakin bahwa pertemanan pun yang paham. Aku meneteskan air mata setelah membacanya. Aku harus paham dan tetap di sini menanti saatku.

Esoknya, kuhubungi teman-teman lama yang kukira melenyapkanku atas nama kisah cinta mereka. Aku masih teman mereka.

Komentar